Pendahuluan
AL-QURAN adalah wahyu yang diturunkan dari langit oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril a’s. Sejarah penurunannya selama 23 tahun secara berangsur-angsur telah memberi kesan yang sangat besar dalam kehidupan seluruh manusia. Di dalamnya terkandung berbagai ilmu, hikmah dan pengajaran yang tersurat maupun tersirat.
Sebagai umat Islam, kita haruslah berpegang kepada Al-Quran dengan membaca, memahami dan mengamalkan serta menyebarluaskan ajarannya. Bagi mereka yang mencintai dan mendalaminya akan mengambil I’tibar serta pengajaran, lalu menjadikannya sebagai panduan dalam meniti kehidupan dunia menuju akhirat yang kekal abadi.
Namun jika kita menilik lebih jeli lagi tentang apa yang ada dalam Islam dan masyarakat Islam Indonesia, sadarkah kita bahwa aqidah kita sedang dibredel dan dibobol habis-habisan? Banyak tulisan yang mengatasnamakan agama tentang; keraguan Al-Qur’an, bahwa mushaf Al-Quran yang ada di tangan kita saat ini tidak sama dengan al-quran yang di wahyukan tuhan kepada nabi Muhammad. mereka menuding proses pembukuan Al-Quran oleh kholifah abu bakar usman R.A. banyak mengalami kesalahan dan distoras. Masihkah kita tertidur pulas di ranjang kemunafikan zaman? Ataukah kita masih tetap menjadi umat manja yang mau bangkit jika Allah telah menegur? Tersadar atau tidak, agama tinggallah agama, aqidah tinggallah aqidah.
Sebelum membahas banyak hal tentang al-quran yang di jadikan dalil syar’i kami akan mengenalkan dulu apa-apa yang berhubungan dengan Al-Quran sebagai titik awal memasuki kajian lebih dalam mengenai Al-Qur’an.
Ta’rif (definisi ) Al-Quran
Al-Quran secara etimologi adalah masdar dari lafadz قرأ قراءة وقرأنا yang artinya "membaca" Allah berfirman dalam Al-Quran :
إن علينا جمعه وقرأنه ، فاذا قرأنه فاتبع قرأنه (17-18 القيامة)
"Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya"(17-18)
Adapun secara terminology syari’at Al-Quran merupakan kalam Allah yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW berupa lafadz yang berbahasa arab beserta ma’na-ma’nanya, yang fungsinya supaya di jadikan hujjah bagi Rasulullah dalam pengakuannya menjadi rasul, yang sekarang ditulis dalam beberapa mushaf yang diriwayatkan mulai pertama kali hingga sampai pada kita semua dengan cara mutawatir,dan hanya dengan membacanya sudah bisa dibuat taqarrub (beribadah) kepada Allah, yang mendapat jaminan langsung dari Allah atas keotentikannya sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya QS.AL Hijr -(15):9:
( إِنَّا نَحْنُ نزلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ ) (سورة الحجر: 9).
"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an), dan kamilah yang akan menjaganya’"(3)
Keistemewaan Al-Quran:
Semua sifat-sifat yang telah di sebutkan di atas merupakan keistimewaan-keistemewaan yang paling menonjol yang bisa membedakan Al-Quran dengan yang lain
1. Menjadi kalam Allah baik lafadz nya atau ma’na nya, Al-Quran paketan langsung dari Allah, dan lafadz Al-Quran semuanya berbahasa arab Rasulullah hanya membaca dan menyampaikannya, berpacu dari keterangan ini mengecualikan hadis qudsi(yaitu hadis yang di riwayatkan oleh Rasulullah dari Allah berupa ma’na adapun lafaz nya dari Rasulullah ) dan juga tidak termasuk Al-Quran penafsiran pada satu surat atau ayat denga bahasa arab dengan kata-kata muradif (sinonim) yang sudah bisa menunjukkan ma’na dari surat atau ayat tersebut.
2. termasuk keistemawaannya lagi adalah Al-Quran di riwayatkan secara tawatur sehingga kemungkinan permalsuan akan semakin mengecil dan lebih rumit, karena istilah tawatur biasa digunakan pada pengumpulan informasi dari berbagi sumber dan perbandingan di mana jika sebagian besar menyetujui suatu bacaan, maka hal yang demikian memberi keyakinan akan keaslian bacaan itu sendiri, ". .dari keterangan ini kita bisa memahami bahwa bacaan yang tidak mutawatir (qiroah syadzah) tidak bisa dikatan Al-Quran dan juga tidak bisa dihukumi sebagaimana Al-Quran
3. Dibuat hujjahnya Al-Quran didalam pengakuan Rasulullah menjadi nabi, jadi Al-Quran menjadi bukti pamungkas yang tak terkalahkan, karena Al-Quran muncul dikalangan syu’aro’-syu’aro'(ahli sastra arab) dan di bawakan oleh orang yang ummi (Rasulullah) dengan tanpa ada yang bisa menandinginya.
4. I’jaz artinya memperlihatkan kebenaran Nabi didalam pengakuan-Nya menjadi Rasul dengan melakukan sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan yang berlaku. Adapun bahasa I’jaz ini bisa diwujudkan ketika ada tiga perkara: al-tahaddi (bertanding dengan menantang terlebih dahulu), ada perkara yang menyebabkan (perkara yang menuntut untuk) bertanding, dan tidak adanya sesuatu (alasan) yang bisa dibuat untuk menolak pertandingan tersebut. Dan Ketiga-tiganya ini sudah terdapat pada Al-Quran, tahaddi misalnya, Rasulullah berkata pada ahlu makkah : Saya ini utusan Allah, bukti kalau Aku ini benar-benar diuts oleh Allah itu Al-Quran yang Aku baca ini, ketika mereka mengingkari atas kebenarannya kemudian Rasulullah berkata pada mereka : kalau kalian meragukan perkataan-Ku maka datangkanlah satu surat yang bisa menyamai Al-Quran yang telah Aku baca ini, Allah berfirman:
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (البقرة23)
" Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar ".
Untuk syarat yang kedua, dengan datangnya Rasulullah membawa agama yang menganggap batal agama mereka ini sudah bisa menjadikan sebab untuk bertanding, untuk yang terakhir sudah sangat jelas bahwa Al-Quran diturunkan dikalangan syu’aro’ (ahli bahasa dan sastra arab) yang menyebabkan tidak adanya alasan bagi mereka untuk tidak melawan. Adapun kalau tidak melawan berarti memang mereka tidak bisa melawan.
Sudut pandang ke I’jazan Al-Quran
Ke I’jazan Al-Quran bisa kita tilik dari sebagian sudut (sisi), yang pertama dari segi tatanan bahasa, arti yang dikandungnya, dan hukum-hukum didalamnya.
Yang pertama, Al-Quran kurang lebih ayatnya berjumlah enam ribu, jelasnya (6226) semuanya di ibaratkan dengan ibarat yang berbeda-beda dan gaya bahasa yang berbeda juga sasarannya berbeda. Terkadang membahas I’tiqod, terkadang syariah, dan terkadang akhlaq, serta tidak ditemukan di antara ibarat satu dengan yang lain ibarat yang lebih baligh, bahkan semuanya dalum satu tingkatan (drajat tertinggi). Dan yang terakhir, walaupun Allah mengibaratkan dengan ibarat yang berbeda-beda akan tetapi tidak ada ayat yang bertentangan dari satu ayat dengan yang lainnya(tujuannya sama) oleh karenanya Allah berfirman:
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا [سورة النساء: 82]
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.(AN Nisaa’ 82)
Yang kedua, kita pandang dari sisi Al-Quran menceritakan kabar-kabar, kejadian-kejadian yang tidak ada yang tahu selain Allah ((المغيببات, Al-Quran menceritakan kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa depan, contoh firman dalam surat Ar-Rum:
قوله تعالى 🙁 الم (1) غُلِبَتِ الرُّومُ (2) فِي أَدْنَى الأرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ (3) فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الأمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ (4) بِنَصْرِ اللَّهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ (5) )
Alif Laam Miim.[.1] Telah dikalahkan bangsa Rumawi, [2] di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, [3] dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, [4] karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. [5]
وقال الله:( لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِنْ دُونِ ذَلِكَ فَتْحًا قَرِيبًا (الفتح 27)
Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidilharam, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat (al-fath 27)
Dari sudut pandang yang lain Al-Quran tidak pernah ketinggalan zaman di dalam kancah ilmiah selalu cocok dengan kenyataan yang terjadi, ketika kita angan-angan ma’na dari ayat-ayatnya akan mendatangkan pandangan baru yang sesuai dengan zamannya. Oleh karenanya Allah memerintahkan kita agar selalu bertafakkur untuk membuktikan kebenaran apa yang di kandung Al-Quran. Seperti ayat :
قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا تُغْنِي الْآَيَاتُ وَالنُّذُرُ عَنْ قَوْمٍ لَا يُؤْمِنُونَ (سورة يونس101)
"Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman". (yunus101)
Satu contoh ayat yang memberikan isyaroh pada kejadian yang sesuai dengan keilmuan zaman sekarang :
قوله تعالى 🙁 وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ (النمل88))
"Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (an naml 88)
Ayat ini menunjukkan bahwa bumi ini berputar pada porosnya.
مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ (19) بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَا يَبْغِيَانِ (20 [سورة الرحمن: (2019]،
Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, .(19) antarakeduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing [.20]
Ayat ini menunujukkan bahwa air yang rasanya asin tidak bisa menyatu dalam satu tempat dengan air yang rasanya tawar.
Sesuatu yang terjadi di dunia ini memang salah satu fungsinya adalah menafsiri (menjelaskan) Al-Quran. Allah berfirman:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (سورةفصلت53)
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?"(Al-fushshilat 53)[1]
Kandungan Al-Quran
Al-Quran mengandung berbagai macam unsur hidayah yang menjamin kebahagiaan manusia baik lahir maupun batin baik di dunia mapun di akhirat, jika manusia mampu mengamalkan dengan ikhlas konsisten dan menyeluruh (kaffah) karena materi yang terkandung didalamnya sangat banyak dan beragam dari hubungan manusia dengan Allah, hubungan antara manusia dengan alam semesta. Sebagian ulama’ ada yang membaginya menjadi tiga hal yaitu:
- Pengetahuan tentang Dzat Allah (Dzat yang di sembah) ma’rifatul ma’bud
- Pengetahuan tentang cara beribadah (ma’rifatu kaifiyatul ibadah)
- Pengetahuan tentang kehidupan antar manusia.
Sebagian ulama’ juga ada yang mengatakan bahwa kandungan Al-Quran ada tiga macam yaitu Akidah, syari’ah dan akhlak . Untuk syari’ah juga masih ada dua hal:
- Tentang ibadah (hubungan hamba pada Tuhannya) seperti sholat, puasa, zakat, haji
- Tentang muamalat, hubungan yang terjadi pada sesama hamba seperti hukum ke keluargaan, hokum pemerintahan, hukum yang menerangkan hukuman-hukuman suatu jarimah(kejahatan)
Kisah singkat sejarah pengumpulan Al-Quran
Al-Quran adalah nama bagi kitab suci umat islam yang berfungsi sebagai petunjuk hidup (hidayah) bagi seluruh umat manusia diwahyukan oleh allah kepada Nabi Muhammad setelah Beliau berumur 40 tahun, di turunkan kepada beliau secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23tahun. Mushaf Al-Qur’an yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu pelu selalu diingat bahwa jaminan atas keotentikan Al-Qur’an langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam firman-Nya QS.Al- Hijr -(15):9:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ [الحجر : 9 ,15]
"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an), dan kamilah yang akan menjaganya"
Pengumpulan Al-Quran, istilah ini mempunyai dua arti: mengumupulkan di dada dalam arti menghafalkannya, kedua menuliskan di benda-benda yang bisa di tulis. Pengumpulan Al-Quran dalam bentuk yang pertama telah berlangsung sangat baik mengingat orang arab pada saat itu masih ummi (tidak bisa membaca dan menulis) andalan mereka satu-satunya dalam mengumpulkan informasi adalah hafalan, betapapun demikian tidak semua sahabat hafal Al-Quran. Sedangkan dalam artian yang kedua di jelaskan pada bagian berikut :
Al-Quran pada zaman Rasulullah SAW.
Memandang wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke Madinah, kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya, dimana Rasulullah SAW setiap kali turun wahyu kepada-Nya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis Beliau karena khawatir akan bercampur dengan Al-Qur’an. Rasul SAW bersabda "Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya " (Hadis dikeluarkan oleh Muslim dan Ahmad pada Bab Zuhud (hal 1). kita dapat menarik anggapan bahwa pada masa kehidupan Beliau seluruh Al-Qur’an sudah tersedia dalam bentuk tulisan.
Al-Quran pada zaman Khalifah Abu Bakar As-Siddiq
Meski Nabi Muhammad telah mencurahkan segala upaya yang mungkin dapat dilakukan dalam memelihara keutuhan Al-Qur’an, akan tetapi Beliau tidak merangkum semua surah ke dalam satu jilid, sebagaimana ditegaskan oleh Zaid bin Tsabit dalam pernyataannya,
قبض النبي صلى الله عليه وسلم ولم يكن القرأن جمع في شيئ .
"Saat Nabi Muhammad wafat, Al-Qur’an masih belum dirangkum dalam satuan bentuk buku "
Di sini kita perlu memperhatikan penggunaan kata ‘pengumpulan’ bukan ‘penulisan’. Berarti memang sebenarnya Kitab Al-Qur’an telah ditulis seutuhnya sejak zaman Nabi Muhammad, hanya saja belum disatukan dan surah-surah yang ada juga masih belum tersusun."Sepeninggal Rasulullah SAW, pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a baru terjadilah Jam’ul Quran yaitu pengumpulan naskah-naskah atau manuskrip Al-Qur’an yang susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).
Adapun yang menyebabkan adalah kehawatiran sahabat umar ketika banyak sahabat yang mati shahid pada peperangan yamamah jika hal ini berlangsug maka akan banyak Al-Quran yang hilang dengan meniggalnya para shahabat. Terpacu dari sebab ini (menyelamatkan teks Al-Qur’an) Abu Bakar belum mensosialisasikan mushaf ini kepada kaum muslimin, tapi masih membiarkan kaum muslimin menggunakan mushaf yang ada pada mereka.
Al-Quran pada zaman khalifah Utsman bin ‘Affan
Suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan muslim untuk wilayah Syam (sekarang syiria) mendapat misi untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan (dulu termasuk soviet) dan Iraq menghadap Usman dan menyampaikan kepadanya atas realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan Al-Qur’an yang mengarah kepada perselisihan.Ia berkata : "wahai utsman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Al-Qur’an, jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai kaum yahudi dan nasrani "..Utsman merespon perkataan Hudzaifah Lalu Utsman meminta Hafsah meminjamkan Mushaf yang di pegangnya untuk disalin oleh panitia yang telah dibentuk oleh Utsman yang anggotanya terdiri dari para sahabat diantaranya Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al’Ash, Abdurrahman bin al-Haris dan lain-lain. Dan juga Utsman berpesan mereka apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku Quraisy karena Al-Qur’an diturunkan dengan gaya bahasa mereka .
terdapat banyak lagi laporan tentang masalah ini.
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan perlu senantiasa diingat. Pertama, Al-Quran pada dasarnya bukanlah ‘tulisan’ (rasm atau writing) tetapi merupakan ‘bacaan’ (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Proses pewahyuannya maupun cara penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan ‘membaca’ Al-Quran adalah "membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin, atau to recite from memory)." Adapun tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. Sebab ayat-ayat Al-Quran dicatat, yakni dituangkan menjadi tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun, dan lain sebagainya – berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’muqri’.
Proses transmisi semacam ini, dilakukan dengan isnaad secara mutawaatir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian Al-Quran sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibrial a.s kepada Nabi sallallaahu ‘alaihi wa-sallam dan diteruskan kepada para Sahabat, demikian hingga hari ini.
Jadi seluruh kekeliruan dan kengawuran orientalis bersumber dari sini. Orientalis, libral, misalnya, berangkat dari sebuah asumsi keliru, menganggap Al-Quran sebagai ‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’ . Dengan asumsi keliru ini mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism.
Akibatnya, mereka menganggap Al-Quran sebagai karya sejarah (historical product), sekedar rekaman situasi dan refleksi budaya Arab abad ke-7 dan 8 Masehi. Mereka juga mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang ini tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti), dan karenanya perlu membuat edisi kritis (critical edition), merestorasi teks Al-Quran dan menerbitkan naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada.
Jadi Dari semua keterangan-keterangan di atas kita bisa katakan bahwa Al-Quran sangat layak dan sudah tidak diragukan lagi untuk dijadikan sebuah pijakan hukum -hukum syar’i(dalil syar’i) karena Semua nas-nas Al-Quran itu qot’iy dari segi datangnya kepada kita (qot’iy as tsubut) karena di pandang dari sejarah yang ada, mengindikasikan sulitnya terjadi pemalsuan dan kebohongan. Akan tetapi dari arah menunjukkan pada suatu hukum masih dibagi menjadi dua :qot’iy al-dilalah dan dzoniy al-dilalah.
a. qot’iy al-dilalah adalah ayat yang menunjukkan hukum pasti, yang tidak ada celah untuk menta’wil dan tidak ada celah untuk memasukkan pemahaman-pemahaman selain pemahaman yang pertama.contoh firman Allah:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ [النساء : 12]
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Ayat ini secara jelas menunjukkan zauj dalam hal ini mendapatkan bagian nisf ketika zaujah tidak mempunyai anak,dan hukum -hukum seterusnya tanpa ada celah pemahaman yang lain.
b. sebaliknya, dzoniy al-dilalah artinya ayat tersebut menunjukan pada suatu hukum akan tetapi masih mungkin untuk di ta’wil dan di arahkan pada ma’na (hukum)yang lain contoh permasalahan lafadz qur’ pada ayat:
قوله تعالى : وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ ( النمل 228 )
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru(albaqoroh228)
Karena secara bahasa lafal qur’ ini digunakan untuk dua ma’na terkadang ma’nanya thuhr terkadang haid adapun nas yang ada ini menunjukkan bahwa orang perempuan yang di tholaq melakukan iddah selama tiga qur’ padahal quru’ disini masih mungkin di beri makna thuhr dan masih mungkin di beri arti haid tanpa ada kejelasan dari salah satunya.
Kesimpulan
Dengan datangnya Al-Quran secara tawatur maka sudah tidak di ragukan lagi keotentikan Al-Quran dan kelayaannya untuk di jadikan dalil utama dalam pencarian suatu hukum hanya saja nash-nash yang menunjukkan pada suatu hukum terkadang qot’iy al-dilalah dan terkadang dzoniy al-dilalah.