hikmah ke-157
Tersesatnya memperlihatkan keistimewaan
(?§?³???´?±?§???ƒ ?§?† ???¹?„?… ?§?„?®?„?‚ ?¨?®?µ?ˆ?µ?????ƒ ?¯?„???„ ?¹?„?‰ ?¹?¯?… ?§?„?µ?¯?‚ ???‰ ?¹?¨?ˆ?¯?????ƒ)
Artinya : "Perhatian kamu agar makhluk tahu akan kekhususan (ibadah) mu merupakan dalil atas ketidak benaranmu dalam ‘ubudiyyah ".
Hikmah ini masih berhubungan erat dengan hikmah sebelumnya, yang merupakan penjelas hikmah sebelumnya.
Beliau Ibnu â€?Athoillah rahimahullah memaparkan bahwa seorang hamba masih dikatakan sebagai orang yang pamer (?…?±?§?¦?????‹?§) walaupun ketika ia sedang beribadah tidak sedang disaksikan oleh orang lain dikarenakan perhatian dan keinginannya agar orang lain tahu akan kekhususiahan dan ibadahnya.
Kalimat (?§?„?§?³???´?±?§??) adalah ungkapan yang berarti perhatian/pandangan nafsu kepada sesuatu hal (kesenangan-kesenangannya) dan mengharapkan akan hasilnya sesuatu tersebut. Tidak ada sesuatu yang bisa mendorong hamba agar orang lain tahu akan kekhususiahannya dalam beribadah kecuali kesenangan nafsunya tersebut.
Dari sini bisa diketahui bahwa selama masih ada istisyrof (?§?„?§?³???´?±?§??) didalam hatinya hamba yang sedang beribadah menunjukkan tidak adanya kejujuran dan kebenaran dalam ‘ubudiyah kepada Allah, karena apabila dikatakan sudah benar dalam ‘ubudiyahnya maka samarnya ibadah dari manusia pastinya lebih lezat dari pada dhohirnya ibadah dihadapan manusia.
Diriwayatkan dari Ahmad bin Abil Hawari :
?…?† ?£??¨ ?§?† ???¹?±?? ?¨?´???¦ ?…?† ?§?„?®???± ?£?ˆ ???°?ƒ?± ?¨?‡ ???‚?¯ ?£?´?±?ƒ ???‰ ?¹?¨?§?¯???‡, ?„?£?† ?…?† ?®?¯?… ?¹?„?‰ ?§?„?…??¨?© ?„?§ ????¨ ?§?† ???±?‰ ?®?¯?…???‡ ?????± ?…?®?¯?ˆ?…?‡
.
Artinya : "Barang siapa yang senang akan diketahui / disebutkan kebaikannya, maka sungguh ia sudah menyekutukan Allah didalam ibadahnya, karena orang yang berkhidmah atas nama mahabbah/cinta tidak senang apabila selain orang yang dikhidmahi tahu akan khidmahnya".
Jadi, seorang hamba masih belum dikatakan benar dalam ‘ubudiyahnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala kecuali jika ia sudah bisa menundukkan nafsunya kepada tuntutan-tuntutan ubudiyah kepadaNya dan memurnikan mahabbah/cintanya kepada Allah serta menghilangkan perhatian dan perasaan ingin diketahuinya kekhususiahan ibadah oleh orang lain.
Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara hamba yang masih dalam awal suluknya kepada Allah dengan yang sudah sampai pada derajat makrifat dan muroqobah kepadaNya, hanya saja sesugguhnya tuntutan-tuntutan dakwah (menyampaikan syari’at)lah yang mewajibkan bagi setiap muslim untuk berdakwah dengan tawadhu’ dan ikhlas setelah ia mampu melepaskan diri dari istisyrof (?§?„?§?³???´?±?§??) tadi.
Hamba yang sudah benar Islamnya, yang faham akan rukun-rukunnya dan hakikat keimanan, ia diharuskan untuk berdakwah sekuat mungkin, karena dalil yang menunjukkan akan hal ini sudah jelas termaktub dalam dalil-dalil syar’i.
Adapun hal yang paling penting dan bisa dijadikan pegangan oleh seorang da’i agar sukses dalam menyampaikan dakwahnya adalah ia harus mampu memposisikannya dirinya sebagai Qudwah Hasanah (Panutan Ummat yang baik). Hal ini sangatlah tidak mudah, karena Qudwah hasanah bisa wujud apabila seorang da’i mampu merealisasikan nilai-nilai ajaran Islam, akhlak yang mahmudah, bisa mempraktekkan sabar ketika ditimpa musibah, mampu mempraktekkan mahabbahnya seorang hamba kepada Robnya dan mampu menepis kesenangan-kesenangan nafsu yang mengotori hatinya dan menghijabnya dari musyahadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Jadi, jika ini semua bisa terealisasi dan dipegang teguh, maka seorang da’i boleh memperlihatkan amal baiknya dihadapan orang lain.
Adapun dalil syar’i yang menerangkan hal ini adalah riwayatnya Imam Muslim didalam kitab shohihnya dari Jurair bin Abdullah Al Bujali, disana diceritakan bahwa ada salah satu sahabat anshor yang datang membawa sekarung harta untuk disedekahkan, kemudian orang lain yang tahu akan hal ini mengikuti perilakunya tersebut (bersedekah). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Memperlihatkan kekhususiahan ibadah ini adakalanya dengan memperlihatkan amal ibadah dihadapan orang lain secara dhohir seperti riwayat diatas dan adakalanya dengan membicarakannya kepada orang lain setelah selesai melakukan amal tersebut.
Dalam dua haliyah ini seorang hamba harus selalu waspada dalam menjaga hatinya dari godaan syaitan dan kesenangan nafsu yang selalu ikut andil dalam merusak amal ibadah, lebih-lebih waspada akan munculnya istisyrof (?§?„?§?³???´?±?§??) yang telah digambarkan oleh Ibnu ‘Athoillah rahimahullah.
Al Imam Al Ghozali rahimahullah berpendapat bahwa menceritakan amal ketaatan kepada orang lain lebih bahaya dan cenderung kepada sifat riya’ serta lebih dekat dengan menuruti kesenangan nafsu, dari pada memperlihatkan amal secara dhohir didepan mereka. Ini dikarenakan beban lisan untuk mengucapkan sesuatu itu sangatlah ringan dan mudah, dan bagi nafsu sendiri bisa merasakan kelezatan didalam memperihatkan kekhususiahan suatu ibadah, hanya saja ketika hatinya akan dimasuki sifat riya’ tidak akan merusak ibadah yang sudah selesai dilakukan.
Bagi hamba yang hatinya sudah kuat, sempurna ikhlasnya, dan dihadapannya pujian ataupun ejekan dari manusia sama saja, maka ia diperbolehkan menyebut dan menceritakan amal ibadahnya dihadapan mereka seraya mengharapkan agar mereka bisa meniru amal kebaikannya, bahkan ini disunnahkan apabila niatnya benar-benar suci dan selamat dari penyakit-penyakit hati.
Dari kalangan salaf sendiri banyak riwayat yang menceritakan tentang menyebutkan amal ibadah yang telah dikerjakan oleh mereka, diantaranya riwayat yang diceritakan dari Sa’d bin Mu’adz, beliau berkata :
?…?‚?ˆ?„ ?„?‡?§ ?ˆ?…?§ ?³?…?¹?? ?§?„?†?¨?? ?µ?„?‰ ?§?„?„?‡ ?¹?„???‡ ?ˆ?³?„?… ???‚?ˆ?„ ?‚?ˆ?„?§ ?‚?· ?¥?„?§ ?¹?„?…?? ?£?†?‡ ??‚.
Artinya : Saya tidak pernah sholat satu sholat pun sejak aku masuk Islam kemudian aku berbicara tentang selain sholat, aku tidak pernah ikut mengiring satu jenazah pun kemudian aku berbicara tentang selain Jenazah, dan sama sekali aku tidak pernah mendengarkan ucapan Rosul shallallahu ‘alaihi wa sallama kecuali saya tahu bahwa sesungguhnya ucapan beliau adalah Haq (benar).
Diriwayatkan juga dari Sayyidina Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
Artinya : Saya tidak perduli apakah ketika menjelang pagi saya dalam keadaan sulit (payah) atau dalam keadaan mudah, karena sesungguhnya aku tidak tahu mana dari kedua haliyah ini (sulit dan mudah) yang lebih baik bagiku.
Beliau umar bin abdul ‘aziz rahimahullah juga pernah berkata :
Artinya : "Allah tidak memberikan kepadaku satu putusan pun, kemudian aku senang apabila Ia memberikan putusan lain selain keputusan tadi dan saya tidak merasa senang kecuali jatuh dalam lingkup qodarnya Allah.
Semua riwayat ini merupakan dalil yang membolehkan memperlihatkan haliyah-haliyah yang terpuji, apabila haliyah tersebut keluar dari orang yang sudah menjadi qudwah hasanah, dan ia mengharapkan agar perilakunya ditiru bagi orang yang melihatnya. Maka dari itu pintu untuk memperlihatkan amal tidaklah tertutup.
Adapun sifat yang masih dikatakan riya’ dan merupakan penyakit hati adalah (?§?„?§?³???´?±?§??) istisyrofnya hamba yang sedang dikarunai oleh Allah khususiyyah dan amal-amal ketaatan, ia ingin agar orang lain tahu akan muroqobahnya kepada Allah, sebagaimana hikmah yang telah disampaikan oleh Ibnu ‘Athoillah As Sakandary diatas. Wallahu A’lam.
?
?