بسم الله الرحمن الرحيم
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah dengan tabi’at yang suka akan sesuatu yang indah dan menyenangkan sebagai penenang hati, penghibur di kala duka ataupun motifator dalam menjalani kehidupannya. Syari’at Islam datang tidak untuk menghancurkan tabi’at tersebut, akan tetapi untuk menjadikannya teratur dan mengarahkan insan pada sesuatu yang tidak mendatangkan bahaya dan penderitaan di dunia ataupun di akhirat.2
Alat musik atau dalam istilah Ulama’ Fiqih klasik disebut alat malahi bukan merupakan hal yang baru dalam materi kajian Ulama’ Fiqh. Sejak zaman dahulu, para Ulama’ sudah saling silang pendapat tentang hukum alat musik dengan berbagai macam bentuknya. Sebagian dari mereka pendapatnya keras dan sebagian yang lain lebih lentur dalam menyikapi hal ini. Perbedaan ini bukannya tanpa dasar hukum, tetapi metode ijtihad masing – masing para pembawa panji syari’at dalam menganalisa sebuah dalil, menelurkan hukum yang memang terkadang berbeda atau bahkan berseberangan satu dengan lainnya. Oleh karena itu, dalam uraian singkat ini mari kita telusuri indahnya pemikiran – pemikiran mereka yang dilandasi keikhlasan dan tanggungjawab dalam menanggapi penggunaan instrument – instrument musik yang terjadi di tengah – tengah masyarakat.
A. Pendapat Ulama yang Keras
Mayoritas Ulama madzhab Syafi’I dan madzhab Hanafi cenderung lebih keras dalam menanggapi penggunaan instrument musik. Mereka mengkategorikan Alat musik menjadi tiga kelompok:3
Instrumen musik yang haram didengarkan dan dibunyikan. Yang termasuk dalam kategori ini ialah alat musik yang suaranya merdu, yang dengan sendirinya sudah enak didengarkan. Seperti gitar dan semua jenis alat musik petik, terompet dengan segala macamnya, semua jenis drum, piano dll. Imam Abul Abbas Al Qurthubi mengatakan : Aku tidak pernah mendengar ulama’ yang diperhitungkan pendapatnya, mempermasalahkan keharaman alat musik tiup, alat musik petik dan drum. Hal ini karena alat – alat itu merupakan syiar dan budaya orang – orang fasiq, dan dapat membangkitkan syahwat dan senda gurau. Sudah barang tentu, siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka orang itu termasuk golongan tersebut.4
Instrumen musik yang makruh. Para Ulama’ memasukkan dalam kategori ini semua instrumen musik yang tidak mengeluarkan nada yang merdu sebagaimana dalam kategori pertama, namun alat ini apabila digunakan untuk mengiringi sebuah lagu akan menjadikan lagu tersebut lebih enak dinikmati, seperti simbal dan seruling bambu. Instrumen musik yang dilegalkan Syara’. Kategori ketiga ini adalah jenis peralatan musik yang sudah dialihfungsikan dari fungsi utamanya, yakni sebagai media penghibur yang bisa menjadikan terlena orang yang mendengarnya. Contohnya adalah terompet sangkakala yang dialihfungsikan menjadi instrumen komando perang, rebana dalam memeriahkan pesta pernikahan, gong yang digunakan sebagai media pengumuman berita dan lain sebagainya.5
Dari uraian di atas bisa kita simpulkan bahwa, acuan penetapan hukum mayoritas Ulama’ Syafi’iyyah dan Hanafiyyah adalah suara yang dikeluarkan sebuah instrumen. Setiap instrumen yang menimbulkan suara merdu dan menjadikan terlena orang yang mendengarnya sebagaimana kebanyakan instrumen modern, maka penggunaannya tidak mendapatkan legalitas dari syara’.
Adapun dasar – dasar hukum yang digunakan golongan ini antara lain:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ(6)
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan"6.
Ibnu Abbas dan Hasan Al Bashri menafsirkan kata لهو الحديث pada ayat di atas dengan menggunakan arti alat musik.7
Artinya Allah akan memberikan adzab bagi mereka yang menggunakan alat musik untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah.
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ
"Dan hasutlah (wahai iblis) siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu",8
Ayat ini menurut Mujahid diartikan dengan mengajak manusia pada kesesatan dengan media nyanyian dan seruling.9
B. Pendapat Ulama yang Lentur
Di kalangan madzhab Syafi’i, tidak semuanya menanggapi permasalahan ini dengan pendapat yang keras. Kita bisa melihat Imam Al Ghozali, beliau dalam mengkategorikan alat musik yang haram cenderung bersifat lentur. Dalam pandangan beliau, alat musik yang diharamkan adalah hanya mencakup tiga jenis alat musik, yaitu terompet model Irak, semua jenis alat musik bersenar dan kendang jenis kaubah, yaitu kendang / drum yang berbentuk panjang, bagian tengahnya menyempit dan kedua ujungnya lebih lebar, baik salah satu sisinya berlubang ataupun tidak.10
Adapun selain tiga jenis alat musik di atas hukumnya adalah boleh.11
Keharaman tiga alat musik di atas bukanlah karena suara merdu yang keluar dari instrument – instrument tersebut. Karena seandainya larangan itu berdasarkan kenikmatan yang didapat dari alat tersebut, niscaya semua banda apapun yang mendatangkan kenikmatan bagi manusia juga diharamkan syara’. Padahal faktanya, tidak semua perkara yang menyenangkan diharamkan Syara’. Namun keharaman alat musik tersebut adalah efek dari larangan minum khomr (minuman yang memabukkan), yang ketika Islam datang, khomr adalah penyakit social yang sudah mendarah daging dengan manusia pada umumnya dan bangsa Arab waktu itu khususnya. Sehingga agar manusia benar – benar bisa meninggalkan khomr secara total, Syara’ mengharamkan juga hal – hal yang berkaitan erat dengan minum Khomr yang di antaranya adalah alat musik yang berjenis terompet buatan Irak (karena terompet jenis ini merupakan terompet yang biasa digunakan para peminum khomr waktu itu) dan semua jenis alat musik bersenar (seperti gitar, biola dll.).
Jadi, keharaman instrument di atas adalah sejalan dengan keharaman minum khomr berdasarkan tiga hal:
- Alat tersebut mampu menghipnotis pendengarnya untuk minum khomr.
- Bagi orang yang baru lepas dari jeratan khomr, instrument tersebut mengingatkan kenangan mereka waktu masih bergulat dengan minuman haram tersebut dan membangkitkan keinginannya untuk menikmatinya lagi.
- Berkumpul – kumpul mendengarkan instrument tersebut adalah budaya orang – orang fasik (orang yang sudah terus menerus melakukan perbuatan dosa). Sedangkan melakukan hal yang sudah menjadi kebudayaan mereka adalah haram.12
Alasan ketiga inilah yang juga menjadi alasan keharaman instrument musik drum berjenis Kaubah. Hal ini karena Kaubah merupakan instrument yang digemari dan menjadi kebanggaan para pria bergaya wanita (waria). Seandainya alat ini dahulu tidak menjadi syiar bagi mereka, niscaya hukumnya boleh sebagaimana hukum jenis drum / kendang yang lain.13
Dalam menanggapi hujjah kelompok yang mengharamkan semua alat musik, Imam Ghozali tidak salut jika ayat dari Surat Luqman di atas hanya untuk mengharamkan nyanyian ataupun alat musik secara mutlak. Tapi hukum haram yang timbul pada kasus di atas adalah karena ada unsur mengkomersilkan agama untuk menyesatkan umat manusia.14
Di kalangan Ulama’ sebenarnya ada yang bersikap lebih lentur lagi dari pendapat di atas. Fuqoha’ Ahli Madinah dan para pengikut Imam Dawud Al Dhohiri berpendapat bahwa, mendengarkan alat musik jenis gitar adalah boleh, karena dalam hal ini tidak ada hadits Shohih yang yang menerangkan keharamannya. Adapun instrument musik jenis terompet dan lainnya, jelas ada hadits shohih yang menjelaskan diperbolehkan mendengarkannya. Banyak riwayat yang menerangkan Nabi ataupun para Shahabat dan Sholihin setelahnya pernah hadir dalam tempat yang ada alat musiknya yang tentunya tidak tercampur dengan hal – hal yang konyol dan diharamkan.15
Menurut Ibnu Hazm, mendengarkan alat musik adalah tergantung tujuan pendengarnya. Kalau ia bertujuan untuk membantu kemaksiatan, maka hukumnya haram, dan apabila untuk memberi semangat dalam melakukan kebaikan dan ketaatan kepada Allah maka termasuk amal kebaikan. Dan kalau tidak ada tujuan sama sekali, maka termasuk perkara yang mubah16.
Dari kedua opini di atas, Syeikh Abdul Ghoni An Nabulisi, seorang ulama’ madzhab Hanafi yang hidup pada abad ke-11 dalam makalahnya yang berjudul Idlohud dilalat menyebutkan, sesuai kontekstual hadits – hadits yang menerangkan alat malahi, mendengarkan alat – alat musik hukumnya haram apabila terdapat salah satu dari tiga hal: Pertama, terdapat sesuatu yang diharamkan oleh syara’ seperti minum minuman memabukkan. Kedua, instrument tersebut dijadikan sebagai sarana untuk kemaksiatan seperti berjoget dengan wanita – wanita. Yang ketiga, instrument tersebut menjerumuskan pendengarnya pada perbuatan maksiat, seperti menjadikan seseorang lupa melakukan kewajiban Sholat.17
Adapun memainkan dan mendengarkannya dalam semisal pesta pernikahan, menyambut tamu istimewa dan memberi motifasi kerja hukumnya adalah boleh.18
C. Kesimpulan
Dari uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwasanya perbedaan yang tersisa di kalangan Ulama’ adalah dalam menanggapi instrument musik yang suaranya merdu dan menjadikan seseorang terlena, yang menjadi karakter dari kebanyakan instrument musik modern seperti gitar, piano, bass, dan lain sebagainya. Kalau kita membaca dengan lebih bijak akan penggunaan instrument tersebut yang terjadi di sekitar kita, dalam realitanya kita akan mendapatkan fakta berikut:
- Perkumpulan-perkumpulan yang biasa menggunakan dan tidak bisa lepas dari instrument tersebut adalah orang – orang yang terbiasa melakukan perbuatan dosa (orang yang fasiq) bahkan tidak lagi menghiraukan halal dan haram. Jadi instrument tersebut sudah layak dikatakan sebagai kebanggaan dan budaya orang – orang fasiq.
- Permainan tersebut menjadikan orang lalai akan kewajibannya baik dengan sang kholiq ataupun dengan sesama.
- Permainan tersebut sangat melekat dengan perbuatan – perbuatan dosa dan menjadikan orang lupa harga dirinya, sehingga terbiasa berjoget di tepi jalan, menyanyikan lagu – lagu jorok bahkan minum minuman keras.
Kalau fakta memang demikian adanya, tidak ragu lagi kita katakan bahwasanya memainkan ataupun mendengarkan instrument-instrument musik tersebut hukumnya adalah haram. Wallahu a’lam bis showab
- Penulis adalah santri PP.Al-anwar Karangmangu Sarang, lulusan PPTM (Program Pasca Tamatan Madrasah) PP Al Anwar tahun ajaran 1427 – 1428 H, aktif dalam team mauqufah Lajnah Nadwah Ilmiah PP. Al Anwar
- Syaikh Syaltut, Fatawa hal.375
- Ibnu Hajar Al Haitami, Az Zawajir vol. II hal. 430 dan Al Hashkafi, Ad Durr al Mukhtar vol.IV hal. 398
- Ibnu Hajar Al Haitami, Az Zawajir vol. II hal. 337
- Ibid
- QS. Luqman : 6
- Ibnu Hajar Al Haitami, Az Zawajir vol. II hal. 336
- QS Al Isra’ : 64
- Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkam al Qur’an vol. 10 hal. 288
- Ibnu hajar Al Haitami, Kaff al Ru’aa’ hal. 294 dan 269
- Imam Al Ghazali, Ihya’ Ulum al Din vol. II hal. 272
- Ibid dan Ibnu hajar Al Haitami, Kaff al Ru’aa’ hal. 294
- Al Zabidi, Ithaf al Sadat al Muttaqin vol.VI hal. 516
- Fatawi al Azhar vol. VII hal. 263. mufti Jad al Haq
- Ibnu Hazm, Al Muhalla vol. IX hal. 60
- Dr. Ahmad As Syarbashi, Yasalunaka fil Hayah waddin vol. II hal. 513
- Fatawi Al Azhar vol. VII hal. 263. mufti Jad al Haq