PENDALAMAN MATERI BAB LAQITH
KOMISI A
Deskripsi masalah:
Sebagaimana dijelaskan di dalam kitab Fathul Qarib bahwa orang gila yang terlantar dan tidak ada pengurusnya termasuk dari pada laqith (orang yang terlantar) yang harus dirawat dan dijaga. Adapun redaksinya/ibarahnya sebagaimana berikut:
"(فصل): في أحكام اللقيط وهو صبي منبوذ لا كافل له من أب أو جد أو ما يقوم مقامهما، ويلحق بالصبي كما قال بعضهم المجنون البالغ (وإذا وجد لقيط) بمعنى ملقوط (بقارعة الطريق فأخذه) منها (وتربيته وكفالته واجبة على الكفاية) "
Pertanyaan:
Sebatas manakah kewajiban orang yang mengambil orang gila yang terlantar?
Urain Jawaban:
Termasuk dari pada hal yang diperhatikan di dalam agama Islam adalah melindungi nyawa dan harga diri manusia, maka dari itu di dalam literatur fiqih dijelaskan tentang hukum laqiit, yaitu anak kecil yang terlantar dan tidak diketahui siapa pengasuhnya. Disamakan dengan anak kecil adalah orang gila yang terlantar sebagaimana yang dijelaskan di dalam ibarah yang ada di deskripsi.
Di dalam lieteratur fiqih Madhab Syafi’i dijelaskan bahwa ada beberapa kewajiban secara fardhu kifayah atas orang yang mengetahui kondisi orang gila yang terlantar, yang artinya harus ada salah satu dari mereka yang bersedia melaksanakan kewajiban tersebut sampai orang gila tersebut sembuh. Adapun kewajibannya sebagai berikut:
1. Mengambilnya, yang dimaksud adalah tidak membiarkannya terlantar hal ini berdasrkan ibarah yang ada di dalam kitab Fathul Qarib, karangan Syech Ibnu Qasim al-Ghazi, ibarahnya sebagai berikut:
"(وإذا وجد لقيط) بمعنى ملقوط (بقارعة الطريق فأخذه) منها (وتربيته وكفالته واجبة على الكفاية)"
2. Menjaganya, yang dimaksud adalah menjaga jiwa dan hartanya kalau memang mempunyai harta sebagaimana dijelaskan didalam ibarah:
ووظيفة الملتقط حفظه وحفظ ماله . روضة الطالبين – (5 / 421)
3. Mengasuhnya sebagaimana juga di jelaskan di dalam ibarah di atas. Adapun yang dimaksud dengan mengasuh adalah mengurusi segala hal yang berhubungan dengan kebaikan kondisinya orang gila tersebut. hal ini di dasari ibarah:
( فأخذه وتربيته ) وهي تولية أمر الطفل بما يصلحه . الإقناع للشربيني – (2 / 375)
Sedangkan masalah biaya kebutuhan orang gila tersebut bukanlah menjadi kewajibannya orang yang mengambilnya, melainkan semua biaya kebutuhan orang gila tersebut di ambil dari hartanya sendiri kalau memang ada. Apabila tidak ada, maka diambilkan dari harta zakat atas nama fakir miskin kalau dia sudah balig dan diambilkan dari baitul mal (kas negara) kalau dia belum balig. Apabila tidak ada semua, maka pemerintah harus mewajibkan orang-orang yang mampu untuk mencukupi kebutuhannya atas nama menghutangi yang nantinya bisa menagihnya kepadanya kalau sudah sembuh atau kepada keluarganya kalau sudah ditemukan. Tapi sebagian pendapat mengatakan bahwa harus ada dari orang Islam yang mencukupi kebutuhan orang gila tersebut bukan atas nama hutang tapi atas nama nafkah. Hal ini berdasarkan ibarah:
وقال الشافعية : إن تعذر الإنفاق من بيت المال اقترض له الإمام من المسلمين في ذمة اللقيط كالمضطر إلى الطعام ، فإن تعذر الاقتراض قام المسلمون بكفايته قرضا حتى يثبت لهم الرجوع بما أنفقوا على اللقيط ويقسطها الإمام على الأغنياء منهم ويجعل نفسه منهم ، فإن تعذر استيعابهم لكثرتهم قسطها على من رآه منهم باجتهاده ، فإن استووا في اجتهاده تخير ، فإن ظهر له سيد رجعوا عليه ، وإن كان حرا وظهر له مال أو اكتسب مالا فالرجوع عليه ، فإن لم يظهر له مال ولا قريب ولا كسب ولا للعبد سيد فالرجوع على بيت المال من سهم الفقراء أو الغارمين بحسب ما يراه الإمام ، وفي قول يقوم المسلمون بكفايته نفقة لا قرضا لأنه محتاج عاجز ، وإن قام بها بعضهم اندفع الحرج عن الباقين. (الموسوعة الفقهية الكويتية – (35 / 323)
Memandang bahwa hal-hal yang berkenaan dengan orang gila yang terlantar, mulai dari mengambilnya sampai menafkahinya merupakan kewajiban pemerintah dan masyarakat sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, sudah semestinya pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama semaksimal mungkin dalam melaksanakan kewajiban tersebut.
KOMISI B
Deskripsi masalah:
Di dalam bab laqiit (anak yang terlantar), dijelaskan bahwa orang yang ingin memungut dan mengasuh laqiit mempunyai kewajiban untuk membuat saksi (isyhad) atas pungutannya, sebagaimana dijelaskan di dalam kita Fathul Qarib:
فإذا التقطه بعض ممن هو أهل لحضانة اللقيط سقط الإثمُ عن الباقي؛ فإن لم يلتقطه أحدٌ أَثِم الجميعُ. ولو علم به واحدٌ فقط تعيَّن عليه، ويجب في الأصح الإشهاد على التقاطه. (ص: 211( دار ابن حزم ، بيروت – لبنان ط : 1، 1425 ه
Pertanyaan:
Apakah kewajiban isyhad termasuk syarat iltiqat (memungut) atau tidak?
Uraian Jawaban:
Di dalam literatur ilmu Usul Fiqh dijelaskan bahwa, syarat adalah sesuatu yang ketiadaannya menetapkan akan ketiadaaan yang lain, sedangkan eksistensinya (wujudnya) tidak menetapkan eksistensi yang lain dan tidak menetapkan ketiadaan yang lain, semisal balig, balig disebut sebagai syarat dari wajibnya sholat sebab orang yang tidak balig tidak wajib sholat, yang artinya ketiadaan balig menetapkan ketiadaan wajibnya sholat dan hal ini cocok dengan definisi dari pada syarat. Penjelasan ini berdasrkan ibarah:
وأما الشرط فهو الذي يلزم من عدمه العدم ولا يلزم من وجوده وجود ولا عدم لذاته ولا يشتمل على شيء من المناسبة في ذاته بل في غيره.
(أنوار البروق في أنواع الفروق – 1 / 230)
Berdasarkan defenisi di atas, bisa dipahami bahwa untuk menjawab pertanyan di atas, maka harus dikaji “Apakah ketiadaan membuat saksi menetapkan ketiadaan “mengambil” atau “iltiqaat”, atau dengan kata lain menetapkan ketidak bisaan atau ketidak bolehan mengambil anak yang terlantar?”. Ada dua gambaran masalah yang bisa menjawab pertanyaan ini.
Pertama yaitu masalah tentang hukum kewajiban “mengambil” atau “iltiqaat”. Sebagaiman diketahui bahwa kewajiban “mengambil” atau “iltiqaat”adalah kewajiban yang bersifat fardhu kifayah, yang artinya harus ada salah satu dari orang Islam yang melakukannya ketika mengetahu laqiit. Di dalam literatur fiqih disebutkan bahwa, kalau andaikan yang tahu dan yang menemukan laqiit hanya satu orang maka orang tersebut harus mengambilnya. Hal ini berdasarkan ibarah:
فإذا التقطه بعض من هو أهل لحضانة اللقيط الإثم عن الباقي، فإن لم يلتقطه أحد أثم الجميع، ولو علم به واحد فقط تعين عليه. (إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين (3/ 294)
Dari permasalahan ini bisa dipahami bahwa, orang yang menemukan laqiit ketika tidak menemukan orang lain untuk menjadi saksi, maka dia tetap berkewajiban untuk mangambilnya (iltiqaat). Hal ini mengindikasikan bahwa, ketiadaan membuat saksi tidak menetapkan ketiadaan “mengambil” atau “iltiqaat”sebab kalau andaikan menetapkan ketiaadaan “mengambil” atau “iltiqaat”, seharusnya hukumnya bukan wajib karena kalau wajib bukannya mentiadakan “mengambil” atau “iltiqaat”, tapi mewujudkan “mengambil” atau “iltiqaat”, seharusnya hukumnya tidak bisa atau tidak boleh.
Yang kedua adalah masalah tentang sekumpulan orang-orang fasik yang menemukan laqiit sedangkan tidak ada seorangpun yang tahu tentang laqiit tersebut kecuali mereka. Apakah mereka tidak bekewajiban mengambilnya? Ternyata jawabannya adalah mereka tetap wajib mengambilnya (iltiqaat) walaupun setelah itu, mereka harus menyerahkannya kepada orang yang berhak menjaga laqiit tersebut, sebagaimana yang dijelaskan di dalam Ibarah:
قوله( فرض كفاية ) أي ولو على فسقة علموه فيجب عليهم الالتقاط ولا تثبت الولاية لهم أي بمعنى أن للغير انتزاعه منهم. (حاشية الجمل-15 / 148)
Permasalahan ini juga mengindikasikan bahwa ketiadaan membuat saksi tidaklah menetapkan ketiadaan “mengambil” atau “iltiqaat” karena kalau andaikan menetapkan ketiadaan “mengambil” atau “iltiqaat”, dalam masalah di atas ini tidak mungkin orang-orang fasik tersebut berkewajiban mengambilnya karena mereka tidak bisa membuat saksi sebab yang mengetahuin tersebut hanya mereka, sedangkan diantara mereka tidak ada yang patut dijadikan sebagai saksi karena tidak ada yang adil.
Sehingga bisa disimpulkan, bahwa isyhad atau membuat saksi tidaklah menjadi syarat dari kewajiban mengambil anak yang terlantar atau laqiit. Hanya saja, kalau andaikan orang yang mengambil laqiit mau menjaga dan mengasuhnya maka dia harus adil dan harus membuat saksi kalau tidak maka dia berdosa dan tidak dianggap adil lagi sehingga hakim harus mengambil laqiit tersebut untuk diserahkan kepada orang yang adil, sebagaiman dijelaskan di dalam ibarah:
(وَيَجِبُ الْإِشْهَادُ عَلَيْهِ) أَيْ الِالْتِقَاطُ وَإِنْ كَانَ الْمُلْتَقِطُ مَشْهُورَ الْعَدَالَةِ (فِي الْأَصَحِّ) لِئَلَّا يُسْتَرَقَّ وَيَضِيعَ نَسَبُهُ الْمَبْنِيُّ عَلَى الِاحْتِيَاطِ لَهُ أَكْثَرَ مِنْ الْمَالِ وَوُجُوبُهُ عَلَى مَا مَعَهُ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ فِي الْمُخْتَصَرِ وَقَعَ بِطَرِيقِ التَّبَعِ لَهُ فَلَا يُنَافِي مَا مَرَّ فِي اللُّقَطَةِ وَمَتَى تَرَكَ الْإِشْهَادَ لَمْ تَثْبُتْ لَهُ وِلَايَةُ الْحَضَانَةِ إلَّا إنْ تَابَ وَأَشْهَدَ فَيَكُونُ الْتِقَاطًا جَدِيدًا مِنْ حِينَئِذٍ كَمَا بَحَثَهُ السُّبْكِيُّ مُصَرِّحًا بِأَنَّ تَرْكَ الْإِشْهَادِ فِسْقٌ. (تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي (6/ 342)
ويحب الإشهاد على التقاطه خوفا من أن يسترقه اللاقط، ولو كان ظاهر العدالة، وفارق الإشهاد على التقاط اللقطة حيث لم يجب بأن الغرض منها المال غالبا والإشهاد في التصرف المالي مستحب ولأن الغرض منه حفظ حريته ونسبه فوجب الإشهاد عليه، كافي النكاح، فإنه يجب الإشهاد عليه لحفظ نسب الولد لأبيه وحريته، وبأن اللقطة يشيع أمرها بالتعريف ولا تعريف في اللقيط. ويجب الإشهاد على ما معه من المال تبعا له، وإن كان لا يجب الإشهاد على المال وحده، فلو ترك الإشهاد لم تثبت له ولاية الحفظ، بل ينزعه منه، وجوبا، الحاكم دون الآحاد. (إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين (3/ 294)
Semoga bermanfaat.
Hasil FKFQ (Forum Kajian Fathul Qorib)