Ayat Kauniyyah Allah SWT yang ada di sekitar kita dalam satu waktu bisa bernama Rohmah dan Adzab sekaligus. Ia menjadi Adzab, tetapi bukan untuk seluruh umat manusia, melainkan khusus bagi kalangan orang-orang yang berbuat dosa.

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. As-Syuro: 30).

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ ۚ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا

“Apa saja ni’mat yang pernah kamu peroleh adalah dari Allah dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (QS. An-Nisa’: 79).

Sedangkan bagi orang Mu’min, maka semua itu adalah Rohmah, cobaan, dan itu merupakan satu dari beberapa tanda wujud-eksistensi tadi. Dikisahkan dari Ummu Salmah, ra. berkata: saya mendengar Rasulullah bersabda: “Jika kemaksiatan yang dilakukan umatku semakin jelas (terbuka), Allah SWT akan menimpakan adzab kepada mereka semua (umatku).” Saya (Ummu Salmah) bertanya; termasuk mereka yang saleh, wahai Rasul?, Rasulullah menjawab: “Tentu”. Saya bertanya (lagi): Lalu apa yang dilakukan orang-orang sholeh itu?, Rasulullah menjawab: “Mereka tertimpa cobaan (yang merupakan bagian dari bencana atas menusia secara umum) dan mereka senantiasa mengharapkan pengampunan dari Allah SWT.” (HR. Ahmad).

Seorang penyair mengatakan; ‘Adzab yang diturunkan oleh Allah SWT untuk orang-orang yang berbuat dosa, dan juga kemudian menimpa orang-orang saleh, sebab jika adzab ditimpakan maka ia akan meliputi seluruh orang yang ada, termasuk orang-orang yang dikasihi oleh Allah SWT.’ Dalam Shohih al-Bukhori, Bab Idza Anzala Allahu bi-Qoumin ‘adzaban, disebutkan; Rasulullah SAW bersabda, “Jika Allah SWT menurunkan adzab atas suatu kaum, maka adzab tersebut menimpa (juga) orang-orang yang ada (di sekitar) kaum tersebut, kemudian mereka semua akan dibangkitkan sesuai dengan amal perbuatan mereka.”

Ibnu Hajar rohimahullah (dalam Syarhnya atas hadits tersebut) menyatakan: “……dalam Shohih Ibnu Hibban diriwayatkan dari Aisyah ra, secara marfu’, bahwasanya Allah SWT tatkala menurunkan didalamnya ada orang-orang sholeh, maka Allah SWT (juga) menimpakannya kepada mereka (orang-orang shaleh). Kemudian mereka semuanya akan dibangkitkan sesuai dengan amal perbuatan mereka. Ditambahkan juga oleh Ibnu Hibban, bahwa jika kemaksiatan sudah nyata (terbuka) di bumi, maka Allah SWT menimpakan adzab kepada pelaku-pelakunya. Ditanyakan kepada Rasulullah SAW, apakah (adzab itu) juga menimpa orang-orang shaleh?, dijawab; “Benar”, dan mereka semua akan dibangkit-kan untuk mendapatkan kasih sayang Allah SWT.

Tentang hal tersebut di atas, Ibnu al-Qoyyim – juga para Ulama salaf – mengatakan, Allah SWT terkadang memberikan izin kepada bumi dan terjadilah gempa yang dahsyat, yang mengakibatkan munculnya perasaan-perasaan takut, trauma, rasa penyesalan dan ingin taubat, serta menjauhi dari kemaksiatan dan segera tunduk kepada-Nya. Dan telah terjadi gempa …(bumi berkata): “Sesungguhnya Tuhan kalian sedang menguji memberikan adzab kepada kalian.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Shofiyah: telah terjadi gempa di kota Madinah pada era Umar ra. (saat itu) Umar berkata: wahai orang-orang, apakah ini? Betapa dahsyatnya apa yang menimpa kalian. Kalau saja terulang lagi maka kalian akan mendapatiku ada di dalamnya.

Ibnu Abi ad-Dunya menyebutkan, dari Anas bin Malik; seorang laki-laki menemui Aisyah dan berkata, Wahai Ummil Mu’minin, ceritakan kepadaku mengenai gempa (az-Aizalah). Aisyah menjawab; Ketika orang-orang telah terbiasa dengan perzinaan, minuman keras dan berhura-hura, maka Allah SWT marah dan berfirman kepada kami; Gempalah atas mereka supaya mereka taubat dan kembali, jika tidak timpalah mereka. (laki-laki itu) bertanya lagi; Wahai Ummil Mu’minin, apakah hal itu merupakan adzab atas mereka? Aisyah menjawab: Itu semua merupakan cobaan dan ujian bagi orang-orang mu’min dan merupakan adzab bagi orang-orang kafir.

Di sini, saya ingin menegaskan bahwa Syari’at kita melengkapi apa yang nyata di sekitar kita. Sedangkan apa yang ada di balik tabir itu kita serahkan kepada Allah SWT, dan kita berhak (untuk menjustifikasi kepada siapa saja musibah itu diturunkan). Bahkan kita sejatinya tidak akan mampu untuk melakukan hal yang telah menjadi kekuasaan-Nya. Kita (hanya bisa) menjustifikasi kepada orang-orang yang sholat (Ahlul Qiblat) dan orang-orang yang menyatakan kalimat bahwa mereka semua mu’min. Dan kita (tidak perlu) untuk mencari-cari hakekat keimanan mereka, juga keikhlasan mereka dalam ber-Taukhid. Semua itu hanya urusan Allah SWT. Jika demikian, maka apa yang kita saksikan sekarang ini, bahwa mayoritas korban dari bencana-bencana itu adalah orang-orang yang ber-Kalimat Taukhid, semua ini membutuhkan perenungan-perenungan (ta-ammuh).

Jika kita menjustifikasi mereka atas apa yang nyata kepada kita bahwa mereka adalah Mu’minin-Muslimin, maka hal itu tidak berarti bahwa mereka adalah benar-benar mu’minin-muslimin di hadapan Allah SWT, karena justifikasi versi Allah SWT berdasarkan kepada batin manusia. Apalagi, Rasulullah SAW telah memberikan petunjuk dalam sabdanya;(jika ada bencana) segeralah untuk melakukan amal kebaikan, karena (kemungkinan) berubahnya keimanan, subuh seseorang masih beriman dan sore menjadi kafir, sore beriman dan paginya menjadi kafir. Dia menjual agamanya dengan urusan dunia.

Dan dalam riwayat Anas bin Malik: “Tanda-tanda kiamat adalah terjadinya fitnah-fitnah, seperti berubahnya keimanan seseorang, yaitu subuh dia beriman dan sore menjadi kafir dan sore beriman lalu subuh menjadi kafir. Mereka menjual agamanya dengan urusan dunia.” Dikatakan juga, Tidak ada seorang Nabi kecuali didampingi pengikutnya yang ikut memberikan petunjuk dan mengikuti sunnahnya. Lalu, setelah itu ada generasi yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan, dan mereka melakukan apa yang mereka ingkari. Maka barang siapa yang menghadapi (generasi itu) dengan tangan (kekuatan)-nya maka ia termasuk Mu’min, barang siapa yang menghadapi mereka dengan lisan-nya maka ia termasuk mu’min, barang siapa yang menghadapi mereka dengan hati-nya maka ia termasuk mu’min.

Jadi, apa yang (sebenarnya) dilakukan oleh umat islam dengan keimanan mereka, sehingga Allah SWT menurunkan Ayat kawniyyah-nya? Pertanyaan ini muncul dari lubuk hati untuk introspeksi dari segala hal yang telah (kita) lakukan. Introspeksi-introspeksi itu memunculkan pemahaman bahwa musibah itu merupakan adzab bagi orang-orang yang berbuat kerusakan dan cobaan yang berbuat kebaikan. Hal ini karena orang-orang, sebagaimana pernah diterangkan para ulama, itu bermacam-macam jenisnya. Saya berharap dan berdoa kepada Allah SWT semoga umat kita tidak termasuk dua kelompok yang akan saya terangkan ini.

Manusia bermacam-macam, ada yang cukup (diberi petunjuk) melalui isyarat, dan ada yang tidak dapat memahami kecuali dengan keterangan yang detail. Ada juga orang yang tidak mau tunduk kecuali jika dibentak, dan lainnya lagi ada yang tidak mau introspeksi kecuali jika dia melihat bencana yang menimpa rumahnya atau rumah tetangganya. Ada lagi dua macam bagian dari manusia yang berlaku buruk, salah satunya adalah orang yang tidak mau kembali (di jalan Allah)

…أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ ۗ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِن قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا ۗ قُلِ انتَظِرُوا إِنَّا مُنتَظِرُونَ

“…atau kedatangan Tuhanmu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Tuhamnu tidaklah bermanfaat bagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah; “Tunggulah olehmu sesungguhnya kami pun menunggu (pula).” (QS. Al-An’am:158).

Kita bisa mengambil contoh dari peristiwa yang menimpa Fir’aun:

…حَتَّىٰ إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“…hingga bila Fir’aun itu telah hamper tenggelam berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidaklah ada Ilah melainkan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Yunus;90).

BACA JUGA :  Ayat Kauniyyah dan Quraniyyah

Pintu iman dan taubat ketika masa sekarat dan setelah mati telah di tutup. Allah SWT berfirman:

آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ (91) فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً ۚ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ (92)

“Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.(91) Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.(92)” (QS. Yunus;91-92).

Dan yang kedua; adalah orang yang hatinya membatu dan selalu melakukan kemaksiatan serta hidup di dalamnya. Maka Allah SWT menyesatkannya ke jalan sesat dan menutup hati, pendengaran dan penglihatannya. Manusia macam ini sama saja, apakah akan ditakut-takuti atau tetap sama, mereka tidak akan beriman. Allah SWT telah memberinya cobaan berupa hal-hal baik dan hal-hal buruk (yang ada disekitarnya), tetapi dia tidak kembali (untuk berfikir). Ayat baik Sam’iyyah maupun Kauniyyah (bencana-bencana yang terjadi di depannya), akan tetapi dia tetap saja menjauh untuk mengingat Allah SWT.

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَىٰ أُمَمٍ مِّن قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُم بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ (42) فَلَوْلَا إِذْ جَاءَهُم بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَٰكِن قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (43) فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّىٰ إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ (44) فَقُطِعَ دَابِرُ الْقَوْمِ الَّذِينَ ظَلَمُوا ۚ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (45)

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.(42) Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.(43) Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.(44) Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.(45)”(QS. Al-An’am;42-45).

Guna menghindarkan umat kita dari macam-macam tersebut di atas, maka kita wajib untuk selalu mengingatkan mereka dan memberikan pengertian bahwasanya bencana yang diturunkan oleh Allah SWT disebabkan oleh adanya kemungkaran-kemungkaran dan kemaksiatan, kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yang dilakukan oleh orang-orang, serta keluar dari jalan yang benar yang telah ditempuh oleh para ulama yang merupakan pewaris risalah kenabian. Bagi orang yang beriman, bencana merupakan cobaan.

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. As-Syuro: 30).

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah suatu ni’mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal; 53).

Kemudian, orang-orang tetap wajib untuk bertaubat, dengan cara segera meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa itu, serta berniat untuk tidak mengulanginya dengan penuh penyesalan.

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengajak mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengajak mereka, sedang mereka meminta ampun.”(QS. Al-Anfal:33).

Taubat dan Istighfar adalah 2 faktor yang melahirkan adanya rohmah serta barokah (bertambahnya kebaikan). Nabi Nuh as. pernah bersabda kepada kaumnya:

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُم بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَارًا (12) مَّا لَكُمْ لَا تَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَارًا (13)

“…maka aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun”, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?”(QS. Nuh; 10-13).

Orang-orang itu juga wajib untuk senantiasa rendah diri dan benar-benar kembali kepada jalan Allah SWT, selalu mengikuti para ulama dari berbagai generasi. Seyogyanya setiap elemen muslim menempati posisi dan statusnya. Seorang kiai memiliki statusnya sendiri, tidak berstatus seperti masyarakat umum, demikian juga para pejabat pun memiliki statusnya sendiri yang tidak sama dengan elemen-elemen lain. Masing-masing elemen harus kembali kepada statusnya. Rendah diri bukanlah dengan mendirikan pusat-pusat pertolongan di berbagai tempat (namun lebih ke dalam, yaitu introspeksi menyeluruh).

Lihat dan renungkanlah apa yang telah dikisahkan oleh Allah dalam surat al-A’rof berikut:

وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِّن نَّبِيٍّ إِلَّا أَخَذْنَا أَهْلَهَا بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَضَّرَّعُونَ (94) ثُمَّ بَدَّلْنَا مَكَانَ السَّيِّئَةِ الْحَسَنَةَ حَتَّىٰ عَفَوا وَّقَالُوا قَدْ مَسَّ آبَاءَنَا الضَّرَّاءُ وَالسَّرَّاءُ فَأَخَذْنَاهُم بَغْتَةً وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ (95) وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (96) أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَن يَأْتِيَهُم بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ (97) أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَن يَأْتِيَهُم بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ (98) أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ ۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ (99)

“Tidaklah Kami mengutus seorang nabi pun kepada suatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan itu), melainkan Kami timpakan kepada mereka kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri. (94)

Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata, “sesungguhnya nenek moyang kami pun telah merasai penderitaan dan kesenangan”, maka Kami timpakan siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong, sedang mereka tidak menyadarinya.”(95)

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (96)

Maka, apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka dimalam hari di waktu mereka sedang tidur?. (97)

Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain?. (98)

Maka, apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.(99)”

Demikianlah, dan saya benar-benar berharap bahwa segala bencana yang terjadi di depan kita akan memunculkan kebaikan kepada umat kita. Yang demikian itu bias dibaca dari adanya gerakan-gerakan kebangkitan Islam yang selalu bertahan untuk mensyiarkan syari’at-syari’at agama, baik secara individu maupun kolektif. Seperti yang dapat kita saksikan, bahwasanya gerakan-gerakan Islam di Negara kita semakin maju dan berkembang sedikit demi sedikit kea rah semakin baik. Berbagai madrasah, sekolah keagamaan didirikan, dan mempelajari ilmu agama di sekolah-sekolah negeri atau swasta menjadi materi pokok. Nyaris di setiap sekolah, gedung-gedung dan lembaga pemerintah atau swasta telah ada musholla. Bangunan (musholla) dan syiar agama bagaikan spririt dan materi. Semakin sempurnanya syiar agama tersebut tidak lain karena kerja keras aktifis keagamaan dan juga para ulama. Dengan terjadinya bencana-bencana, maka itu semua tidak lain merupakan teguran dari Allah SWT, sekalipun syiar agama telah pesat masuk ke berbagai tempat di negeri ini.

Bersambung ke : Tsunami, Adzab atau Musibah (?) { Bagian 3 }

Artikulli paraprakTsunami, Adzab atau Musibah (?) { Bagian 1 }
Artikulli tjetërTsunami, Adzab atau Musibah (?) { Bagian 3 }

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini