Ciri khas yang paling mencolok dalam tradisi intelektual pesantren adalah jaringan, silsilah, sanad, ataupun geneologi ( yang bersifat pertalian darah ), musalsal (berkesinambungan) untuk menentukan tingkat efisoterisitas dan kualitas keulamaan seorang intelektual. Hal ini pula yang membedakan tradisi intelektual pesantren dengan-misalnya-tradisi intelektual di lingkungan kampus, dan bahkan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya. Tradisi intelektual pesantren seperti ini boleh dibilang melampui batas eksotologis pengetahuan Islam, yang biasa disebut dengan �Ilm Jally dalam perspektif (sudut pandang) Ibn Qayyim Al-Jauzi

Hal ini cukup bisa dimaklumi, mengingat tingkatan eksotolagis intelektual pesantren, selain menekankan sisi faktualitas ( berdasarkan kenyataan) antropogesis pengetahuan, juga menyisipkan sisi efisoterisitas intelektual. Makanya dalam tradisi pesantren , orang yang pandai agama tidak bisa dengan serta merta disebut Kiai atau Ulama, kalau ilmunya tidak jelas sumbernya dari mana. Kalau ditelusuri, rupa-rupanya hal ini sangat terpaut dengan prinsip pengajaran pesantren, bahwa "murid yang belajar tanpa dengan guru (meskipun ada kitab / buku), maka gurunya adalah setan".

Mungkin ini yang disebut primordialisme (paham yang paling dasar) pesantren, tapi yang jelas keberadaan jaringan intelektual sangat menentukan penerimaan dan pengakuan massa terhadap seorang Ulama atau Kiai. Hal ini disebabkan penerimaan massa terhadap ajaran Kiai bukan hanya dilandasi prinsip otentisitas (kebenaran) melainkan-yang terpenting lagi- orisinilitas (kemurnian) ilmu yang diajarkan. Biasanya tanpa diverbalkan (dilisankan), dalam tradisi pesantren memang ada semacam keharusan kejelasan. Kiai yang bersangkutan belajar kepada siapa, guna bisa dipastikan bahwa ajaran yang diberikan memang betul-betul bermuara kepada "Si empunya" otoritas (penguasaan ilmu) agama. Begitupun tanpa harus di minta, Kiai biasanya juga menjelaskan ia pernah berguru dengan siapa dan belajar apa kepadanya.

Untuk mempertahankan tradisi ini, dalam wacana kekiaian dan keulamaan juga telah dipasang "jaring-jaring pengaman", berupa rumus orang alim. Yaitu, alim karena memang belajar dan mempunyai guru (thalib)-dalam terminologi (istilah) Ibn Qoyym Al-Jauzy (Madarij al-Salikin) disebut â€?Ilm Jally, atau menurut Al-Ghozali (Ihya’ Ulum al-Din) disebut bi al-ta’alum, atau seorang alim karena laduni, berupa kepandaian yang langsung dianugrahkan oleh Tuhan kepada orang-orang terpilih. Dalam bahasa Al-Ghazali disebut bi al-taqorub, yaitu ilmu yag diperoleh langsung oleh karena spiritual impact (dampak yang kuat dari spiritual). Kepandaian yang terakhir ini biasanya dimiliki oleh keturunan Kiai atau ulama yang biasa menjalani laku tirakatan (spiritual exercise) dan dikenal sangat kharismatik. Kebiasaan keturunan Kiai yang punya keahlian ini dimulai dengan perilaku aneh dan cenderung nakal di masa remajanya, tapi kemudian berubah total menjadi alim ketika menginjak dewasa.

Hingga kini, belum ada yang dapat membuktikan rahasia di balik kepandaian orang-orang yang mempunyai ilmu laduni tersebut. Namun yang pasti, ajaran yang dibawakannya dianggap otentik layaknya Kiai yang mempunyai jaingan intelektual. Walhasil, mereka bisa diterima di lingkungan pesantren dan masuk jaringan intelektual pesantren, karena toh kepandaian seperti ini hanya dimiliki oleh keturunan Kiai, yang sudah barang tentu mempunyai jaringan intelektual.

Realitas tradisi pesantren tersebut, setelah menelusuri data-data Kiai pesantren secara umum geneologi (silsilah pertalian darah), intelektualisme pesantren memang dapat diketahui secara pasti. dan kalaupun ada sebagian kecil Kiai yang tidak diketahui secara jelas geneologi intelektualnya, mereka adalah termasuk golongan Kiai yang memiliki ilmu laduni. Dengan demikian, persepsi yang menyebutkan tradisi intelektual pesantren sangat memperhatikan aspek jaringan, silsilah, dan sanad keilmuan, memang benar adanya.

BACA JUGA :  Kesuksesan Diperoleh dengan Bimbingan Guru

Titik tekan inilah, sekaligus yang menjadikan studi tentang intelektual pesantren menjadi pekerjaan yang tidak mudah. Hal ini disebabkan, meskipun akar-akar tradisi intelektualisme pesantren relatif sama dan tradisional, namun ekspresi yang ditampillkan oleh tokoh intelektual pesantren ternyata sangat beragam, sehingga harus banyak melibatkan banyak elemen dan variable-variabel tertentu. Di dunia pesantren terdapat, misalnya, Syeh Siti Jenar, Hamzah Fansuri, Syams Al-Din Al-Sumatrani, dan Abd. Al-Hamid Abulung, yang secara ideology bersebrangan dengan wali songo, Nur Al-Din Al-Raniri, maupun Muhammad Arsyad Al-Banjari, dan sebagainya, dimana masing-masing kutub mempunyai jaringan tersendiri. Inilah yang menyebabkan intelektualisme pesantren menjadi tidak gampang.

Kesulitan itu kembali bertambah dikarenakan kajian intelektualisme pesantren tergolong kajian yang terlantar. Mungkin karena sudah terlanjur penyitraan pesantren sebagai komunitas tradisional, sehingga kalaupun ada penelitian tokoh-tokoh pesantren, hal itu hanya terbatas dalam sudut pandang kapabelitas (kesanggupan) mereka dipanggung politik dan kekuasaan. Ini dapat dibuktikan dengan banyaknya buku dan karya-karya tentang tokoh-tokoh pesantren dalam pergulatan politik dan kekuasaan. Sementara karya yang mengulas tentang jaringan intelektualisme pesantren relative sangat sedikit.

Tapi tidak menutup kemungkinan kalau intelektualisme pesantren tidak sepenuhnya tradisional, karena dalam sejarah intelektualisme pesantren, pernah berdiri sederet "tokoh bersarung"tapi intelektualitasnya sangat caliber (tinggi) internasional dan menjadi "guru besar" di pusat Islam, Haramain (Makkah-Madinah). Sebutlah, Syeh Nawawi Al-Bantani, Syeh Mahfudz Al-Tirmasi, Syeh Yasin Al-Fadani, dan sebagainya.

Sosok Syeh Nawawi Al-Bantani memang sangat fenomenal. Konon, ia pernah "dideportasi (dikucilkan / diusir )"dari Haramain karena "kecemburuan"ulama setempat atas prestasi dan karier akademisnya sebagai pengajar di Masjid Al-Haram. Kepulangannya ke Jawa (Banten) sempat membuat resah penguasa (imam) daratan Haramain karena banyaknya desakan dari para pelajar di Haramain, yang menghendaki agar Syeh Nawawi diperbolehkan mengajar mereka. Atas desakan ini, akhirnya Syeh Nawawi dipanggil kembali dengan syarat ia mampu menjawab pertanyaan "gampang-gampang susah" yang tercantum dalam surat panggilan itu.

Menurut cerita Syeh Mushlih Al-Maraqi, murid Syeh Yasin Al-Fadani, dalam surat panggilan yang berisi satu halaman itu disebutkan Syeh Nawawi Al-Bantani Harus bisa Menjawab pertanyaan seputar makna dari kata "la-siyama". Surat panggilan itu, oleh Syeh Nawawi dibalas dengan 15 halaman, hanya untuk menjabarkan secara tuntas tentang asal-usul kata, kedudukan I’rab, sekaligus makna dari kata "la-siyama"tersebut. Semenjak peristiwa itulah, kepopuleran Syeh Nawawi semakin meroket, praktis di eranya, Syeh Nawawi Al-Bantani pernah mereprentasikan sebagai pioneer (perintis) madzhab Syafi’I yang disegani oleh ulama dunia.

Syeh Nawawi Al-Bantani adalah contoh sekaligus bukti bahwa ulama Islam pinggiran -seperti Indonesia- sebetulnya tidak terlalu ketinggalan jauh secara intelektual dari pusat Negara Islam. Dengan demikian, dari hasil eksplorasi ini diharapkan bisa menjadi pemicu bagi ulama, kaum terpelajar, dan bahkan masyarakat serta pemerintah untuk memberikan perhatian lebih terhadap tradisi intelektual pesantren. Dalam hal ini, ulama dan kaum terpelajar diharapkan mampu mengikuti jejak-jejak ulama masa dahulu dalam berpikir dan berkarya. Sedangkan masyarakat dan pemerintah diharapkan memberikan perhatian lebih terhadap khazanah dan karya yang telah dihasilkan oleh para ulama. Terlebih lagi, jika memperhatikan rumor yang pernah menjelaskan ada sekapal kitab dan karya ulama Madura yang terdampar di Singapura, maka realitas ini tentunya patut menjadi perhatian tersendiri. Kalau ulama Madura saja mempunyai kitab sekapal, bagaimana dengan ulama-ulama di daerah lain, seperti Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan sebagainya?

Artikulli paraprakHIKMAH 62 : KEBEBASAN MANUSIA
Artikulli tjetërHIKMAH 63 : COBAAN ALLAH

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini