Sudah jelas bahwa pernikahan dalam Islam ketika sudah memenuhi syarat-syarat yang telah ada seperti ada mempelai wanita dan laki-laki tanpa memandang adanya usia, apakah itu sudah tua atau masih kecil, wali, mahar, serta ijab qabul itu sudah sah. Tapi mengapa sekarang muncul berita yang begitu menghebohkan, yaitu penikahan Syeh Puji saudagar kaya asal Semarang dengan gadis belia yang baru berumur 12 tahun bernama Lutfiana Ulfah yang baru duduk dibangku 2 SMP. Padahal pernikahan mereka telah sah menurut syari’at Islam.

Di Indonesia undang-undang yang menjelaskan tentang usia calon pengantin sudah lama ada, yaitu UU No 1/1974 yang menyebutkan bahwa usia mempelai minimal 21 tahun. Dan ketika belum mencapai usia 21 tahun dia harus izin kepada orang tua (pasal 6 ayat 2). Perkawinan hanya diizinkan jika perempuan berumur 16 tahun dan laki-laki 19 tahun (pasal 7 ayat 1).

Namun mengapa masalah tersebut baru muncul sekarang ini, apakah ini semua ini ada kaitannya dengan politik atau cuma untuk sensasi agar pamor diri seseorang terangkat di publik. Karena dalam masalah ini hanya melibatkan orang-orang tertentu saja. Kita lihat saja sosok syeh Puji yang notabene pengusaha sukses serta mempunyai pondok pesantren.

Padahal, kalau kita mau menelusuri diberbagai penjuru daerah yang ada di Nusantara, misalkan daerah Sukabumi, Madura atau daerah pesisir lain, kita akan menemukan pernikahan dini dilangsungkan. Dimana antara pengantin laki-laki dan perempuan belum memikili kemampuan untuk hidup mandiri. Mengapa semua ini tidak pernah disorot oleh pemerintah daerah lebih-lebih dari publik. Dan mengapa publik malah mengusung pernikahan syeh Puji dengan Ulfah? mengapakah pernikahan syeh Puji menjadi kontroversial?

Banyak orang yang berpendapat bahwasanya syeh Puji sedang ngelakoni berdasar kepercayaan tertentu agar kekayaannya meningkat. Ada juga yang berpendapat perbedaan usia mereka yang sangat jauh. Ulfa yang baru berusia 12 tahun yang menurut para dokter atau psikolog sangat belum siap secara fisik dan psikis untuk berumah tangga, dan syeh Puji yang berumur 43 tahun. Berapa selisih umur keduanya? Ada juga yang berpendapat bahwasanya ada kelainan tentang masalah seksual syeh Puji, yaitu Paedofil dengan lebih menyukai anak-anak kecil.

Terlepas dari hal-hal tersebut, coba kita melihat aspek perlindungan dan hukum positif yang terkait dengan hak-hak anak. Setiap anak memiliki hak sesuai dengan harkat, martabat kemanusiaan yang melekat secara kodrati. Tidak ada satu pihakpun yang boleh mencabut ataupun mengurangi hak-hak tersebut, dengan dalih apapun, dan untuk kepentingan siapapun. Karena Masa kanak-kanak adalah masa dimana sebuah kreasi atau bakat yang belum muncul dari diri anak tersebut akan muncul ketika tidak ada seseorang atau sesuatu yang mencegah ataupun melarang anak tersebut untuk melakukan apapun yang diinginkannya. Misalkan ada anak yang setiap hari usil dengan memotong-motong kertas atau apapun yang ada ditangannya. Sebagai orang tua seharusnya bukan melarang apa yang dilakukan oleh anak tersebut kerena akan menjadikan psikologi anak tersebut yang pada mulanya sangat mudah mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya, seorang anak yang kreatif dengan apa yang dilakukannya, menjadi seorang anak yang tertutup, sulit untuk mengembangkan data yang ada dalam pikirannya atau dengan kata lain mengeluarkan sebuah inspirasi yang ada dalam otaknya. Orang tua cukup mengarahkan apa yang sudah dilakukan oleh anak tersebut agar menjadi sebuah kreasi yang berguna, agar pikiran anak tersebut menjadi terbuka dalam melakukan apa yang ada dalam otaknya. Karena pikiran anak-anak lebih mudah untuk menyerap apa yang pernah ia lihat.

BACA JUGA :  Mengenal Tafsir Sunni

Sejak konvensi hak anak PBB di ratifikasi melalui Keppres No. 36 / 1990 sejak itu Indonesia terikat secara moral dan yuridis untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak anak, serta adanya sebuah UU yang mewajibkan serta memberikan tanggungjawab kepada Negara, pemerintah, masyarakat, orang tua, keluarga terhadap hak anak, yaitu UU no 23 /2002.

Pasal 23 UUPA (undang-undang perlindungan anak) menyebutkan bahwasanya Negara dan pemerintah wajib menjamin perlindungan pemeliharaan juga kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua atau wali.

Tapi banyak sekali pelanggaran-pelanggaran terhadap anak yang tidak mendapatkan hukuman atau sanksi terhadap pemerintah padahal sudah ada secara jelas UU yang melindungi anak-anak. Itulah hukum yang ada di Indonesia. Hanya ada dalam buku tapi kenyataannya nol. "Tong kosong nyaring bunyinya". Inilah yang pas untuk hukum Indonesia pada saat ini yang rentan dengan sebuah manipulasi atau masalah yang menyangkut dengan yang namanya UANG.

Ini semua adalah sebuah wacana yang dimana hal tersebut kalau kita lihat dari kacamata agama Islam apakah pernikahan antara syeh Puji dengan gadis belia yang bernama Lutfiana Ulfah itu bisa dibatalkan atau tidak karena adanya sebuah undang-undang yang melarang adanya pernikahan dini tersebut serta putusan hukum dari pengadilan agama yang menyuruh untuk pisah ranjang dulu sampai umur Ulfah sudah cukup untuk melakoni kehidupan berrumah tangga.

Artikulli paraprakHIKMAH 60 : Kehinaan adalah benih tamak
Artikulli tjetërHIKMAH 61 : JANGAN BERANGAN-ANGAN

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini