Suku-suku bangsa pengembara gurun di Hijaz sejak dahulu telah melahirkan penyair-penyair Arab terbaik. Bangsa Arab, yang dikenal ahli dalam seni retorika (metode berpidato), memandang kemampuan berpidato sebagai salah satu bakat mulia yang patut dikembangkan. Mempunyai seorang penyair dalam sebuah keluarga adalah hal sangat membanggakan. Karena itu, keluarga bangsawan kota biasa mengirimkan anak-anak mereka untuk tinggal bersama suku badui yang nomaden (hidup berpindah-pindah) di gurun pasir dengan tujuan agar setiap generasi baru, sambil mengakrabi alam dan cara-caranya, dapat mempelajari bahasa ibu mereka yang murni dan dalam bentuk asli.
Munculnya kitab suci Muslim pada permulaan abad VII menandai berakhirnya masa kejayaan seluruh ragam puisi Arab. Alqur’an sering memuji diri memiliki keunggulan literatur, menyediakan polemic tajam tentang kepenyairan. Baik selama masa hiidup Nabi maupun sesudahnya, kitab suci Islam itu telah dikagumi secara luas – sering terlihat keunggulannya dalam mengungkapkan tema dan daya tariknya dibandingkan dengan segala puisi yang ada sekarang ini. Muhammad telah mambawa, jika ini diizinkan, "PUISI DARI LANGIT".
Al-qur’an mempunyai peranan yang amat penting dalam Islam, menjadikan agama Muslim sebagai agama intelektual yang tak tertandingi. Alqur’an dengan kurang pantas, dijuluki "Kristusnya Islam". Walaupun, tentu saja, umat Islam tidak menyembah Alqur’an (karena itu, julukan ini tidak akurat), kitab suci itu bagi pemeluk Islam bukan sekadar sebuah dokumen yang berisi misi Nabi Muhammad di tengah bangsa Arab pagan atau bahkan, lebih luas lagi, misi ini dalam konteks yang lebih luas dari sejarah suci terdahulu. Lebih dari pada itu, Alqur’an adalah realitas yang diungkapkan yang arahnya tertuju kepada Sang pengungkap, Allah, yang menjadi pembicara dalam kitab suci itu. Jadi, tidak seperti Kristenitas dan Buddhisme, dalam Islam – seperti Yudaisme dan Sikhisme – si pembawa pesan hanya merupakan sarana yang penting dari wawasan yang diwahyukan. Inilah alasan mengapa umat Muslim menolak penyebutan "Muhammadanisme". Patut disayangkan, beberapa kritikus dari kalangan Kristen dan non-Muslim dengan tegas menolak untuk alasan-alasan yang bagus untuk penolakan penyebutan ini.
Tentang pengulangan, Alqur’an, sebagaimana diperlihatkan, dialamatkan kepada manusia yang mempunyai sifat lalai (gafil); tujuannya untuk menyentakkan kesadaran manusia dari sifat yang merasa puas kepada diri sendiri yang penuh dengan dosa, mendesak mereka untuk mengumpulkan dan mengingat kembali warisannya yang benar (Q.S. 38:1; 36:11; 41:41; dan seringkali diulang). Tentang tiadanya struktur, mungkin kekuatannya dirusak oleh lingkungan bahasa dan pola yang kaku. Setelah mempertimbangkan semuanya, orang mungkin berkata bahwa Alqur’an adalah hasil kesusastraan soidisat (berpola halus) yang dengan luar biasa mempertahankan konsistensi tema yang luas seraya merahasiakan standar artistiknya sendiri. Memang pengarangnya menggunakan suatu metode yang kasar: agitasi (hasutan), kemudian pendidikan. Tetapi jika kesesuaian sebuah metode Alqur’an adalah metode yang sempurna.
Alqur’an sering menunjukkan kepada wujud non-insani, selain Allah dan Malaikat-malaikat-Nya, juga ada wujud insani lain yang diciptakan Allah dari api, yakni jin (jinn). Mereka adalah makhluk gaib yang menghuni alam dunia ini juga. Makhluk-makhluk yang dikenal oleh orang-orang Barat melalui dongeng-dongeng dari negeri Arab ini dan figur yang paling menonjol dalam kitab suci barangkali menjadi paling terkenal karena memiliki para penyair dan mengilhami puisi bermutu rendah. Dari Surah Muhammad (Q.S. 47) kita dapat menarik kesimpulan bahwa makhluk halus ini juga keranjingan mendengar kalimah suci Allah yang terakhir itu, mempunyai kebebasan untuk menerima atau menolak beriman, dan sebagaimana juga manusia, mereka ditakdirkan mempunyai harapan dan rasa takut melewati alam kubur. Bangsa jin adalah bagian yang utuh dari pandangan Alqur’an. Bahkan, kitab suci itu juga ditujukan kepada mereka sebagaimana halnya manusia.
Penolakan manusia terhadap kekuasaan Allah adalah salah satu perhatian utama Alqur’an. Sebagian isi kitab suci Muslim tersebut adalah dokumen mengenai konsekuensi-konsekuensi menolak doktrin (ajaran) yang penting tentang kemaha-esaan Allah. Tuhan, tak putus-putusnya memperingatkan, bukan sesuatu yang berlebih-lebihan. Apapun opini-opini pribadi mereka tentang suatu persoalan, manusia tetap membutuhkan Allah. Didalam dunia yang tampak berjalan dibawah beban suatu pembalasan yang adil (nemesis) yang kondusif karena tertunda, anggapan bahwa orang dapat melakukan dosa tanpa mendapat ganjaran merupakan sebuah khayalan tragis yang berbahaya.
Kekufuran (kufr), menurut Alqur’an, adalah suatu bentuk yang sangat merusak dari kedurhakaan yang dilakukan dengan sengaja kepada aspek yang lebih tinggi dari alam manusia. Tidak beriman berarti dengan sengaja menolak kebenaran sejati yang secara diam-diam diakui manusia ("kufr" secara harfiah berarti â€?menyembunyikan atau menutupi kebenaran’). Karena kecongkaan dan kesesatannya, manusia lebih suka pada ketidaktahuan yang merusak dirinya sendiri pada kebijaksanaan Tuhan Yang Maha Pengasih dan dengan demikian, menempatkan diri mereka diluar karunia-Nya. Dalam Alqur’an sama dengan Kitab Perjanjian Lama dan Injil, kekufuran muncul sebagai sebuah fenomena yang hampir tidak masuk akal: paling jauh dianggap sebagai kebodohan yang amat sangat, dan paling buruknya dianggap sebagai kegilaan. Orang kafir adalah orang yang bodoh: dia seharusnya mengtahui yang lebih baik. Sekurang-kurangnya, dia berada didalam "kesalahan yang nyata" (dhalal-mubin).
Dengan agak mendetail, Alqur’an msndiskusikan keadaan kekafiran – pelbagai sikap yang mencerminkan ketidakberimanan ditemukan pada bangsa Arabnya Nabi Muhammad maupun didalam sejarah suci sebelumnya. Kekafiran atau kekufuran tidak pernah dipandang sebagai sesuatu yang terjadi karena ketidakpercayaan atau ketidaktahuan yang jelas. Ia disebabkan, secara bervariasi, oleh ketakpedulian, ketakacuhan, atau ketidakperhatian, suatu rasa puas terhadap diri sendiri yang sudah berakar didalam penilaian yang terlalu optimistic tentang potensi manusia, pemberontakan yang penuh dosa, serta kekeraskepalaan, kesesatan dan kedangkalan spiritual. Ia memperlihatkan dirinya, dengan berbagai cara, sebagai suatu pengabaian terhadap peraturan-peraturan Allah, sebagai penyelewengan dan kemunafikan yang ditandai dengan keimanan yang kadang-kadang saja, suatu kelalaian yang disengaja dan pembangkangan terhadap Ilahi, dan bahkan, dalam banyak hal, – contohnya pada kaum Quraisy dan Fir’aun – sebagai suatu penolakan yang militant untuk mengetahui realitas-realitas yang menghancurkan kepentingan-kepentingan keduniaan yang tetap.
Alqur’an adalah sebuah dokumen yang pengaruhnya tak terhingga. Kitab suci itu dapat membanggakan haknya yang unik, yakni secara langsung telah mengilhami sebagian besar peradaban dunia yang didasarkan pada sebuah sikap menghargai, yang secara religius diizinkan, kemampuan membaca serta menulis, dan menghargai pengetahuan. Alqur’an masih memasok dukungan kesusastran bagi peradaban bangsa Arab di beberapa negeri tradisional, yang seringkali hanya mengajarkan satu buku. Dan kita dapat dengan mudah mengetahui mengapa kitab suci itu mempunyai pengaruh yang luas semacam itu. Alqur’an ditulis dengan kerendahan hati yang membuatnya dapat dipahami oleh orang yang membaca dan merenungkannya. Tetapi, walaupun kitab suci itu tidak megah dalam pengertian kesusastraan manapun, dalam hal kandungannya Ia berisi sesuatu yang sangat besar. Pembaca ataupun pendengarnya serta merta terlibat dengan tema yang dibincangkannya sehingga keindahan bahasanya menjadi tidak berarti, dan ini membuat seorang seniman mennjadi sadar. Dia menemukan dirinya dalam genggaman sebuah realitas, yakni setidaknya sebagai unsur dan sama hebatnya dengan pekerjaan manusia.
Alqur’an mempunyai suatu pancaran keyakinan yang penuh gairah. Pancaran itu tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa berkunjung ke negeri Muslim, lebih disukai negeri di Arab, saat bulan Ramadhan, bulan yang secara tradisional dianggap sebagai saat "turunnya" Alqur’an dan bulan yang ditandai dengan ibadah intensif. Bilamana Alqur’an dibacakan di depan khalayak ramai dengan satu gaya, atau lebih, yang penuh hiasan yang disukai oleh para qori’ Arab terkenal, seorang pendengar yang beriman akan mendengarkannya dengan ketenangan hati penuh dedikasi (pengabdian) yang harus merasa iri karena keyakinan-keyakinan yang kurang dalam dipertahankan. Seorang muallaf berkebangsaan Inggris bernama Marmaduke Pickthall – Muslim yang pertama kali menerjemahkan Alqur’an kedalam bahasa Inggris – barangkali tidak sekadar menurutkan kata hatinya dalam semangat agama yang baru ditemukannya ketika dia melukiskan kitab suci Muslim sebagai "simponi yang tak dapat ditiru, rangkaian bunyinya mampu menggerakkan orang untuk menangis dan merasakan kegembiraan yang luar biasa".
Sesungguhnya akan sulit membesar-besarkan dampak dramatis Alqur’an atas pendengarnya yang pertama. Mereka adalah generasi yang luar biasa yang memecahkan keheningan pada setiap bulan Ramadhan dengan melantunkan Ayat-Ayat suci Alqur’an. Dampak dokumen suci ini begitu kuat dan menimbulkan rasa takut yang luar biasa pada sifat-sifat Tuhan hingga menyebabkan manusia runtuh, pingsan, sekarat, dan sekurang-kurangnya manusia akan benar-benar binasa selagi menikmati pesonanya yang mematikan itu.