Analisis ?´Urf Dalam Perspektif Syar?´i

Perpaduan antara syari’at Islam dengan berbagai dinamika kehidupan manusia adalah keniscayaan. Sebab syari?´at Islam diturunkan ke muka bumi ini bukan tanpa sebab, melainkan untuk dijalankan umat manusia yang memiliki beragam etnis ras dan suku yang beraneka ragam. Mereka semua memiliki berbagai kebiasaan, adat istiadat (ur’f) dan tradisi yang berbeda. Semuanya hidup tumbuh dan berkembang di wilayah masing-masing.

Islam adalah agama suci yang digariskan Allah untuk seluruh umat manusia, namun Islam tidak hadir dalam sekejap, sebagai sajian praktis dan cepat saji [instant], atau turun dalam ruang hampa, tapi Islam hadir melalui proses pertemuan dan persinggungan dengan realitas sosial yang mengitarinya. Hal ini menjadikan Islam sebagai agama yang asalnya hanya bersifat transenden [wahyu], karena diturunkan kepada manusia yang berwatak sosial dan menempati ruang dan waktu, akhirnya pun bisa terkandung sisi historitas kemanusiaan. Tak heran bila banyak ayat-ayat Al-Quran, maupun hadis Nabi Muhamad SAW, yang sebenarnya merupakan jawaban dari berbagai peristiwa yang terjadi waktu itu. Jarang sekali nash-nash syar’i yang diturunkan tanpa adanya sabab musabab yang menyertainya. Gambaran ini jelas memberikan bukti nyata bahwa Allah dan RasulNya tidak pernah menafikan berbagai realitas sosial, yang hidup dan terus berkembang di belahan bumi di mana Islam pertama kali diperkenalkan.

Dalam generasi berikutnya, para sahabat tabi’in maupun ulama salaf, tidak pernah meminggirkan berbagai kultur yang ada. Mereka selalu berusaha memahami ur’f atau adat yang telah mengakar di berbagai lapisan masyarakat. Semuanya dipelajari untuk kemudian dijadikan bahan konsiderensi ( pertimbangan) dalam mengangkat kebijakan hukum.

Hasilnya adalah apa yang kemudian lahir dari fatwa-fatwa mereka, terkesan mewakili ranah adat masing-masing. Contoh kecil adalah Imam Malik yang berpegang teguh mengunakan urf ahli Al-Madinah sebagai dalil istinbat. Sedangkan tiga imam setelah beliau, tidak menggunakanya, ini karena beliau Imam Malik hidup di kurun pertama hijriyah, sebuah masa dimana dalam kurun ini. Madinah adalah kota pertama yang berhasil dibangun oleh Rasulullah. Dengan segala aspek pendidikan yang beliau terapkan telah mampu merubah tatanan sosial yang ada dan membentuk komunitas baru yang sanggup mengemban etos kenabian, pendidikan yang beliau ajarkan mampu merasuk ke dalam tulang sum-sum dan mendarah daging serta mampu dihafal di luar kepala, sehingga apa yang mereka lakukan adalah reflek dari apa yang pernah beliau ajarkan. Keadaan ini berlangsung terus menerus dan mempengaruhi perilaku mereka yang pada akhirnya perilaku dan kebiasaan ini telah mampu membentuk pribadi-pribadi yang taat. Dari masing-masing individu inilah orang Madinah mampu menciptakan suatu ur’f yang bisa dijadikan rujukan dalil istinbat, karena keislaman mereka masih orisinil sesuai apa yang diajarkan oleh Rasulallah.

Secara metodologis pun kita dapat melihat, bagaimana para intlektual Islam begitu memperhatikan unsur adat dan ‘urf sebagai penyempurna kajian. Dalam literatur khasanah ulumul Qur’an misalkan, seorang mujtahid ataupun mufassir, disyaratkan terlebih dahulu menguasai asbabbun-nuzul, dan tata letak antara ayat Madaniyah dan Makiyyah secara persis sebagai modal dasar periwayatan. Sementara di kedua wilayah tersebut muncul berbagai karateristik dan kehidupan masyarakat yang berbeda. Imam Shuyuthi dalam kitabnya Al-Itqoon, menuturkan beberapa ciri ekslusif untuk mengetahui perbedaan di atas, diantaranya adalah untuk ayat madaniyyah diawali dengan ???§???‡?§ ?§?„?°???† ?¢?…?†?ˆ?§ dan begitu juga sebaliknya ayat makiyyah diawali dengan ???£???‡?§ ?§?„?°???† ?ƒ?§???±?ˆ?§ ayat pertama turun untuk orang mu’min Madinah dan yang kedua untuk orang kafir Makkah. Dengan ini, terbuktilah secara otentik, akan adanya hubungan dialektis antara nash syari’ah dan realitas sosial yang berkembang. Selain dalam kajian ulumul Qur’an, para ulama fiqh pun memberikan apresiasi yang cukup besar pada adat, tradisi dan budaya, masing masing menggunakanya sebagai landasan istinbat baik dalam porsi besar maupun kecil.

KLASIFIKASI ADAT/’URF

Dari berbagai adat-istiadat yang berlaku di masyarakat, tidak semuanya bisa diadopsi dengan bebas oleh Islam. Semuanya harus diseleksi, difilter dipilih dan dipilah, untuk dijadikan partner dalam mengambil keputusan selanjutnya. Para pendahulu kita [fuqoha’] telah berhasil menseleksi dengan ketat, berbagai jenis kebudayaan yang ada, kemudian membangun kembali ke dalam dua kategori umum. Yang pertama adalah adat shahih, dan yang kedua adalah adat fasid. Untuk kategori yang pertama adalah sebuah tradisi yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i, tidak menghalalkan yang haram, atau menggugurkan kewajiban, mendorong adanya maslahah, dan mencegah timbulnya destruksi social. Perlu diketahui bahwasanya adat ini pada awalnya adalah syariat hanifah yang dibawa Nabi IbrahimAS dan diajarkan kepada masyarakat Arab seperti praktek haji, had zina, rajam dan lain sebagainya, karena ulah orang Arab jahiliyyah telah menyebabkan adanya desekresi syariat dan menjauhkannya dari kesan Islami, maka keluarlah ia dari identitas asalnya dan menjadi tradisi jahiliyyah. Contoh adat shahih lainya adalah kebiasaan masyarakat feodal Arab, yang memberlakukan syarat kafa’ah [kesepadanan pasangan] dalam perkawinan. Atau sifat â€?ashobah [jalur laki-laki] dalam perwalian dan waris-mewaris, karena adat ini tidak bertentangan dengan konsep dasar syari’ah, maka ia pun ia pun dijadikan pertimbangan dalam mengangkat hukum. Sedangkan untuk yang kedua [adat fasid], adalah kebalikan yang pertama, dengan kata lain ia adalah sebuah tradisi, yang tidak berlandaskan dalil-dalil syari’at, menghalalkan yang haram serta mendorong akan timbulnya mafsadah.

BACA JUGA :  AJAKAN IMAM TASAWWUF MENGAPLIKASIKAN SYARIAH

Diantara contohnya adalah kebiasaan buruk orang Arab jahiliyyah yaitu mengubur anak perempuan hidup-hidup. Atau mewaris wanita yang ditinggal mati suaminya. Adat seperti ini jelas tidak akan mendapatkan legitimasi dari Islam. Sebab dengan memelihara tradisi kedua ini hanya akan merusak fondasi hukum-hukum Islam, dan menghancurkanya dari dalam. Sementara ajaran Islam memuat citra maslahah ?´amah, tidak subyektif dan parsial. Walaupun adat fasid memuat citra maslahah, biasanya hanya didasari kepentingan sesaat, seperti kebiasan orang Mesir yang menenggelamkan anak gadis mereka ke dalam sungai Nil, untuk mendapatkan perlindungan sesaat dari penunggunya. Diantara dua tradisi diatas ada tradisi yang berlaku di kehidupan masyarakat, tapi syara’ tidak memuat ketetapan yang spesifik mengenainya, tidak jelas apakah melarang atau menganjurkan. Seperti memperingati hari kemerdekaan, hari pahlawan, dan lain sebagainya, masalah tersebut merupakan kumpulan daari tradisi masing-masing bangsa. Maslahah dan kebaikannya juga diserahkan pada penilaian syara’ tergantung sisi madhorot atau manfaat yang ditimbulkannya. Para ulama dalam mengapresiasikan tradisi ini menggunakan dalil antara lain:

?…?§ ?±?¢?‡ ?§?„?…?¤?…?† ?­?³?†?§ ???‡?ˆ ?¹?†?¯ ?§?„?„?‡ ?­?³?†

Atau sudah ada ketetapan dari syara’, namun tak adanya setandarisasi khusus yang mengikat untuk dijadikan refrensi hukum yang statis, maka semuanya dilarikan kepada uruf masing-masing. seperti awal haid, baligh, dan nifas. Disinilah uruf, harus berbicara dan sangat diperlukan, keberadanya, ia bisa menjadi bahan rujukan yang dapat memecahkan beberapa persoalan seperti diatas, dan Pengunaan uruf, ini disesuaikan dengan kaidah fiqhiyyah yang berbunyi:

?§?„?…?¹?±?ˆ?? ?¹?±???§ ?ƒ?§?„?…?´?±?ˆ?· ?´?±?·?§

Beberapa contoh adat

Dari beberapa persoalan yang dikupas dan diulas, secara mendalam oleh para fuqoha’ kita, banyak diantaranya terdapat unsur-unsur pertimbangan adat, yang mana semuanya dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman yang berlaku. Imam Syihabuddin Al-Qorofi menuangkan beberapa contoh dan ulasan yang diungkap dalam kitab Wajiz fi ushul fiqh nya Abdul Karim Zidan, Diantaranya adalah tradisi menggunakan naqdain (emas dan perak) yang sudah dikenal beribu-ribu tahun sebelum Masehi, sebagai alat tukar di berbagai transaksi jual beli. Tradisi ini terus bertahan hingga masa datangnya Islam, dan Rasulullah sama sekali tidak pernah melarang umatnya untuk menggunakannya sebagai alat tukar yang sah. Namun setelah memasuki periode-periode berikutnya dimana zaman semakin canggih, umat manusia mulai menyingkirkan tradisi penggunaan uang dari emas dan perak. Kemudian menggantinya dengan uang kertas, dan selama berabad-abad pula, umat Islam tidak pernah mempermasalahkan peralihan tradisi ini, sebab proses transisi ini dianggap tidak akan merubah sendi-sendi ajaran Islam. Ia dapat digunakan tanpa harus dipersoalkan panjang lebar.

Contoh lainnya adalah tradisi proses belajar mengajar Al-Qur’an pada masa hidupnya Imam Abu Hanifah. Beliau melarang para muallim [pengajar] kalam Allah, untuk mengambil upah. Larangan ini bukannya tak mendasar, beliau mempertimbangkan bahwa pada saat itu para pengajar sudah mendapatkan tunjangan hidup dari baitul mal, namun pada generasi berikutnya di mana lembaga keuangan negara sudah tidak mampu lagi untuk memberikan tunjangan, disebabkan banyaknya alokasi dana yang harus dikeluarkan, maka para ulama’ Hanafiyyah pun mulai membuat reaksi yang berbeda dari sebelumnya dengan memberikan fatwa diperbolehkannya para muallim mengambil upah. Dan fatwa itu absah adanya, walaupun tidak sesuai dengan fatwa yang pernah dikelurkan Imam Abu Hanifah. Ijtihad seperti ini memang baik untuk waktu itu [masa Imam Abu Hanifah], sikap ini bisa dirubah sesuai dengan tuntutan zaman selama tak ada dalil syar?´i yang melarang atau menganjurkannya secara wajib. Contoh selanjutnya adalah tradisi kodifikasi hadist yang pada zaman Rasulallah SAW proses pembelajaran dan pemeliharaanya hanya dihafal, bahkan beliau sendiri melarang penulisanya karena beliau khawatir akan terjadinya pencampur adukan antara Al-Quran dan Hadist, tapi setelah kehawatiran itu hilang maka diperbolehkanlah penulisannya. Dari setiap contoh yang ada setidaknya kita memahami dan memaklumi, bahwa setiap perubahan hukum itu wajar, seperti kewajiban zakat uang kertas misalkan, hal ini wajar melihat berbagai tuntutan yang ada. Namun ijtihad ini hanya bisa dilancarkan, ketika tidak berseberangan dengan ketentuan dasar dan berbagai hukum baku Islam lainya, dan jika hukum baru ataupun tradisi telah melancangi nash-nash syar’i maka tak ada justifikasi lagi pada adat yang berlaku, bahkan adat ini harus dibuang jauh kedalam limbah sejarah.

Dari sekelumit contoh di atas dapat kita ma’lumi, mengapa para ulama’ khusunya fuqoha dirasa perlu menarik kesimpulan untuk merumuskan berbagai kaidah fiqh seperti ”?§?„?¹?§?¯?© ?…?­?ƒ?…?©” yang berarti ”adat-istiadat adalah hakim yang dapat dijadikan rujukan guna mencetuskan suatu hukum” . Kaidah ini merupakan prinsip dasar dan rumus umum yang dapat memecahkan berbagai permasalahan yang erat kaitannya dengan adat-istiadat dengan segala varianya. Dengan memahami kaidah ini diharapkan kita tidak memandang dengan sebelah mata dalam memahami tradisi dan budaya, atau kita bisa melihatnya dengan artian yang lebih luas. Namun yang perlu diketahui pemberlakuan prinsip umum ini tidak berarti mensejajarkan budaya dengan nash syariat, akan tetapi lebih mengajukan pada asumsi pokok bahwa ajaran Islam, tak pernah beranggapan atau pun memandang adat sebagai sampah yang tak bernilai. Adat adalah realitas histories dari kehidupan umat manusia, ia telah mencampur dan mendarah daging beratus-ratus tahun lamanya dengan umat manusia itu sendiri. Wallohu a?´lam.

Artikulli paraprakHIKMAH KE-105 SIAPAKAH KEKASIH ALLAH?
Artikulli tjetërAth-thib an-Nabawi Solusi Dalam Ilmu Kedokteran Ala Islam

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini