“Orang yang banyak membaca tapi tak pernah menulis, itu adalah orang yang sakit. Seperti orang yang banyak makan, tapi tak buang air besar.” Habiburrahman al-Shirazy.
Jika kita mau menengok sejarah bangsa Indonesia dan umat-umat terdahulu yang kaya akan budaya dan peradaban, niscaya kita akan mengetahui betapa besarnya perhatian mereka terhadap perkembangan hasanah intelektual. Kita bisa mengetahui semua itu lewat peninggalan-peninggalan yang berupa prasasti, artefak dan karya tulis. Mereka sadar betul akan pentingnya suatu karya untuk generasi yang akan datang. Sebab dari sebuah karya tadi dapat diketahui bahwa di zaman itu ada suatu kemajuan atau kemerosotan. Sendainya tidak ada tulisan, baik yang tertera di dalam prasasti atau sebuah buku kuno yang dikarang para pujangga atau para empu, niscaya kita akan hidup dalam kebingungan. Kalau mengandalkan tutur kata dan cerita rakyat yang diwarisi secara turun temurun, bisa dikawatirkan akan adanya perubahan yang tidak sesuai dengan kejadian yang asli. Hal ini disebabkan ingatan manusia itu ada yang kuat dan ada yang lemah. Imam Malik Ra berkata,”Ilmu itu bagaikan binatang buruan yang liar, dan tulisan adalah sebagai pengendalinya. Maka kendalikanlah binatang buruan tadi dengan kendali yang kuat dan kokoh.”
Ilmu yang sedikit jika kita mau menulisnya, maka dia akan menjadi banyak, sebab dibaca oleh generasi setelahnya. Dan ilmu yang banyak apabila tidak ditulis maka akan hilang bersama pemiliknya. Ahmad Thohari di dalam buku antologi cerpen pesantren “ludah Surga” pernah mengutip sebuah pepatah,”Ilmu yang berhenti itu malah menjadi penyakit.” Jadi, jangan jadikan ilmumu menjadi sebuah penyakit sebab tidak dituangkan ke dalam sebuah tulisan.
Dalam menulis tidak membutuhkan banyak persyaratan. Menulis itu yang dibutuhkan adalah keinginan yang kuat dan ketekunan. Biarpun status kita adalah orang yang rendah di mata manusia, tapi kalau kita mempunyai kemauan dan ketekunan untuk menulis dan berkarya, insyaallah kita akan menjadi seorang penulis. Imam al-Ghazali mengatakan, “Jika engkau bukan anak raja, bukan pula anak ulama besar. Maka jadilah seorang penulis.”
Seorang penulis itu tidak merasa terhalangi untuk menuangkan tulisannya dengan sedikitnya fasilitas yang kurang memadai. Mereka tetap semangat dengan keadaan yang ada. Kalau kita mau menengok sejarah di awal Islam. Menulis pernah dikerjakan dengan memakai pelapah kurma, yaitu masa penulisan wahyu Allah atau al-Quran. Dan juga, ada yang memakai tulang, seperti imam As-Syafi’i. Sampai-sampai tendanya penuh dengan tulang, sebab banyaknya ilmu yang ia tulis dari para ulama. Sehingga dari banyaknya tulisan yang ditinggalkan oleh Imam As-Syafi’i menjadikan beliau ada sampai sekarang. Dalam arti, banyak kaum muslimin yang mengikuti madzhabnya. Sebab sebenarnya imam madzhab itu banyak. Tapi, karena tidak adanya karya yang ditinggalkan, maka yang diakui oleh para ulama hanya ada empat, yaitu imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Hal ini disebabkan keempat imam tersebut meninggalkan karya tulis yang dilestarikan oleh pengikutnya masing-masing sampai zaman sekarang.
Orang yang sudah mempunyai keinginan atau bakat untuk menulis, tidak ada alasan untuk merasa terhalangi oleh sesuatu untuk menghasilkan karya tulis. Musibah dan ujian, jika bisa bersikap sahabat dengannya, niscaya dia akan menjadi sahabat kita juga. Dia akan menjadikan tulisan kita lebih terkesan karena penuh dengan perjuangan. Ahmad bin Hanbal yang pernah dipenjara dan dihukum dera, tetapi karenanya pula ia kemudian menjadi imam salah satu madzhab. Ibnu Taimiyyah pernah dipenjara, tetapi justru di penjara itulah ia banyak melahirkan karya. As-Sarakhsi pernah dikurung di dasar sumur selama bertahun-tahun, tetapi di tempat itulah ia berhasil mengarang buku sebanyak dua puluh jilid. Ketika Ibnul-Atsir dipecat dari jabatannya, ia berhasil menyelesaikan karya besarnya yang berjudul Jami’ul Ushul dan an-Nihayah, salah satu buku paling terkenal dalam hadist. Demikian halnya dengan Ibnul-Jawzy, ia pernah diasingkan dari Baghdad, dan sebab itu ia dapat menguasai qiraah sab’ah. Malik bin ar-Raib salah seorang penderita penyakit yang mematikan, namun dengan penyakit itu ia mampu melahirkan syair-syair yang sangat indah yang tidak kalah dengan karya-karya para penyair besar zaman Abbasiyah. Ketika semua anak Abi Dzuaib al-Hudzali mati meninggalkannya seorang diri, ia justru mampu menciptakan nyanyian-nyanyian puitis yang mampu membekam mulut zaman, membuat setiap pendengarnya tersihir, memaksa sejarah untuk selalu bertepuk tangan saat mendengarnya kembali. Dan Buya Hamka yang pernah dikurung dibalik jeruji, justru ia dapat menyesaikan sebuah karyanya yang agung, yaitu tafsir al-Azhar.
Orang yang meninggalkan sebuah karya tulis meskipun jasadnya sudah terkubur di balik tanah selama bertahun-tahun, namun dia seolah-olah masih hidup dalam keabadian. Namanya terukir di tinta emas sepanjang masa. Dan orang yang tidak mau menulis apabila sudah mati, maka namanya hilang dengan jalannya masa, meskipun dia orang yang pandai. Pramoedya Ananta Toer mengatakan, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Wallahu a’lam.
Catatan: Artikel ini pernah dikirimkan oleh penulis di majalah Sabil tahun 2011.