Ada dua hal yang menjadi kunci makmur dan hidupnya sebuah peradaban. Pertama, kebanggaan umat terhadap peradaban itu sendiri. Kedua, keterhubungan peradaban itu dengan masa lalunya.
Kedua kunci di atas rupanya tercermin pada peradaban Islam dewasa ini, bagaimana kaum muslimin berkecenderungan yang meningkat untuk meniru Eropa dan mengasimilasi ide-ide Barat. Kecenderungan meniru, adalah cerminan dari perasaan kurang-harga-diri dan hilangnya kebanggaan terhadap peradaban Islam itu sendiri. Hal ini membuat dunia Islam berangsur-angsur, sedikit demi sedikit, memotong ikatan-ikatan yang menyambungnya dengan masa lalunya. Karenanya, bukan saja dunia Islam akan kehilangan dasar kulturalnya, tetapi juga dasar spiritualnya. Padahal, peradaban yang telah kehilangan inti spiritualitasnya, maka ia akan mengalami penurunan (civilizations that lost their spiritual core soon fell into decline).
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia akan mengaitkan dirinya dengan peradaban Islam, peradaban Jawa, atau Barat? Mungkinkah ketiganya dapat diramu menjadi satu dan menghasilkan satu jenis "peradaban baru" yang hebat?
Betapa sejarah telah membuktikan bahwa ada upaya serius untuk menepis peran Islam dalam sejarah Melayu-Indonesia. Padahal berdasarkan sejarah, Melayu-Indonesia telah identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu.
Prof. Naguib al-Attas menolak keras teori sarjana Barat yang menyatakan bahwa Islam tidak meninggalkan sesuatu yang berarti bagi peradaban di wilayah ini. Hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, seperti pelitur di atas kayu; yang andaikan dikorek sedikit, maka akan terkelupas hingga menonjolkan ke-hindu-annya, ke-budha-annya, dan animismenya.
Sementara Adian Husaini memandang bahwa usaha serius menepis Islam itu sebenarnya sangat mudah dibuktikan. Pangeran Diponegoro, misalnya, sangat jelas misinya untuk menegakkan Islam di tanah Jawa. Tetapi cerita seperti ini luput dari pelajaran sejarah. Sebelum kedatangan Belanda, Islam telah memperkenalkan tradisi hukum baru di Indonesia. Bahkan sejak VOC, Belanda pun mengakui hukum Islam di Indonesia. Pengakuan ini diperkuat dengan Regerings Reglemen tahun 1855 dan juga adanya teori â€?receptio in complexu’ oleh Lodewijk Willem Christian van Den Berg. Teori ini menyatakan bahwa untuk orang Islam berlaku hukum Islam. Teori ini terus berlaku hingga kemudian Snouck Hurgronje mengubahnya menjadi teori â€?receptie’ yang menyatakan, hukum Islam baru diberlakukan untuk orang Indonesia bila diterima oleh hukum adat.
Sejalan dengan hal di atas, Mohammad Natsir dalam buku Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak menyebutkan ada tiga tantangan dakwah yang dihadapi umat Islam Indonesia. Pertama, pemurtadan. Kedua, gerakan sekularisasi. Dan ketiga, gerakan nativisasi. Secara khusus Natsir mengingatkan perlunya umat Islam waspada dan mencermati dengan serius gerakan nativisasi yang dirancang secara terorganisir oleh kelompok di luar Islam. Gerakan ini berupaya untuk mengikis dan menepis Islam dari percaturan peradaban di Indonesia dan mengembalikan kepada peradaban sebelumnya (Hindu, Budha, Animisme). Ini sejalan dengan sinyalemen Al-Attas di atas, bagaimana Islam dianggap tidak meninggalkan sesuatu yang berarti, laksana pelitur di atas kayu dalam jasad Melayu-Indonesia.
Adian mencatat banyak hal terkait dengan ketiga tantangan dakwah yang dikemukakan Natsir di atas. Kitab Darmogandul, kaitan erat gerakan Kristenisasi dengan pemerintah kolonial Belanda, kasus Piagam Jakarta, kasus-kasus di perguruan tinggi Islam kini yang dimulai oleh Prof. Harun Nasution dengan bukunya Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, dan sebagainya. Tidak heran jika Natsir mengabdikan sebagian besar hidupnya (1908-2008) untuk menanggulangi dan melawan gerakan-gerakan itu.
Menghadapi tantangan dakwah yang berat seperti itu, lantas bagaimana strategi kita? Kebangkitan Islam masa Shalahudin Al-Ayyubi layak dijadikan teladan bagaimana sebuah peradaban dibangun kembali.
Ternyata Shalahuddin bukanlah pemain tunggal yang "turun dari langit". Tetapi, beliau merupakan produk sebuah generasi baru yang telah dipersiapkan oleh para ulama hebat. Dua ulama besar yang disebut berjasa besar itu adalah Imam al-Ghazali dan Abdul Qadir al-Jilani. Dalam melakukan perubahan umat yang mendasar, Al-Ghazali memfokuskan pada upaya mengatasi masalah kondisi umat yang layak menerima kekalahan. Di sinilah Al-Ghazali mencoba mencari faktor dasar kelemahan umat dan berusaha mengatasinya, ketimbang menuding-nuding musuh.
Al-Ghazali lebih memfokuskan usahanya untuk membersihkan masyarakat muslim dari berbagai penyakit yang menggerogotinya dari dalam dan pentingnya mempersiapkan kaum Muslim agar mampu mengemban risalah Islam kembali sehingga dakwah Islam merambah seluruh pelosok bumi dan pilar-pilar iman dan kedamaian dapat tegak dengan kokoh.
Al-Ghazali sampai pada kesimpulan, bahwa yang harus dibenahi pertama kali adalah soal keilmuan dan keulamaan. Lahirlah Ihya’ Ulumiddin, yang bab pembukanya adalah "Kitabul Ilmi". Bagaimanapun, ilmu adalah asas dari pemahaman dan keimanan. Disamping itu, Al-Ghazali pun tercatat aktif dalam memberikan kritik keras terhadap berbagai pemikiran yang dinilainya menyesatkan umat.
Inilah, suatu strategi kebudayaan dan strategi peradaban dalam membangun satu generasi yang tangguh. Bangkitnya kaum Muslim dari keterpurukan ketika Perang Salib bukan kebangkitan seorang Shalahuddin, melainkan kebangkitan "satu generasi Shalahuddin". Satu generasi yang tangguh secara aqidah, mencintai ilmu, kuat ibadah, dan zuhud. Generasi inilah yang mampu membuat sejarah baru, membalik keadaan, dari generasi yang lemah dan kalah menjadi generasi yang kuat dan disegani.
Dalam konteks membangun Indonesia sebagai bangsa yang mandiri dan bangsa yang besar di masa mendatang, tugas umat Islam tidak hanya menunggu datangnya pemimpin yang akan mengangkat mereka dari keterpurukan. Umat Islam dituntut kerja keras dalam membangun satu generasi baru yang akan melahirkan pemimpin berkualitas "Shalahuddin". Dan ini tidak akan terwujud kecuali jika umat Islam Indonesia amat serius untuk membenahi konsep ilmu dan para ulama atau cendekiawannya. Diharapkan dari upaya ini lahir satu generasi baru yang tangguh, berilmu tinggi, berakhlak mulia, memiliki rasa bangga terhadap Islam dan menyambung kembali simpul-simpul yang putus dengan masa lalu.
Salah satu indikator tumbuhnya generasi ini adalah ketika ilmu telah menjadi "perbincangan harian" kaum muslimin. Prof. Naquib Al-Attas, mengatakan bahwa: "Martabat sesebuah masyarakat atau bangsa ditentukan oleh inti perbualan (percakapan) harian ahli-ahlinya."
Perbincangan harian yang penuh ilmu itu, disebut sebagai "nuansa ilmu". Proses ini tentu membutuhkan waktu yang panjang. Kemenangan umat Islam di bawah pimpinan Shalahuddin pun membutuhkan waktu tak kurang dari 88 tahun. Kerja-kerja peradaban ini mengharuskan setiap Muslim untuk ikut ambil bagian dengan menekuni berbagai bidang kehidupan dengan sungguh-sungguh dan sabar. Kerja keras ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa Islam memang tinggi (ya’lu) dan rahmat bagi seluruh alam.
Sumber Tulisan :
Dr. Adian Husaini, Indonesia Masa Depan: Perspektif Peradaban Islam.
Anak Cerdas Anak Mulia Anak Indah, Manshor H. Sukaemi,
Arga Publishing, 2007.
Buku online Islam di Persimpangan Jalan, Muhammad Asad,
www.isnet.org
Adian Husaini yang dikutip CIDES, Islam dan Masa Depan Indonesia,
http://cidesonline.org