“Bangsa Yang besar, adalah Bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya”
-Ir. Soekarno
Perjuangan santri & ulama dalam membela dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia sangatlah penting untuk dikenang dan diperingati. Sayangnya dalam pelajaran sejarah pada umumnya tak banyak yang mengulas tentang perjuangan kaum santri dan para ulama.
Hari ini 76 tahun silam, tepatnya pada tanggal 10 November 1945 terjadi peristiwa besar bagi sejarah Bangsa Indonesia, yaitu perang Surabaya melawan tentara sekutu (Amerika-Inggris). Disebut “Hari Pahlawan” karena memperingati banyaknya pahlawan yang gugur pada hari itu dalam membela sekaligus mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekitar 176 pahlawan dinyatakan gugur dalam peperangan tersebut.
Peperangan dipicu oleh sekelompok orang Belanda pimpinan W. V. C. Ploegman yang mengibarkan bendera Belanda tanpa izin Pemerintah Indonesia di tiang lantai teratas Hotel Yamato (sekarang bernama Hotel Majapahit) yang terletak di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya pada tanggal 18 September 1945. Hal ini dianggap sebagai hinaan atas kedaulatan Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Akibatnya, para pemuda Surabaya yang melihat kejadian ini keesokan harinya merasa dihinakan. Rakyat Surabaya menganggap hal ini adalah sebuah indikasi bahwa Belanda akan kembali menjajah dan merebut kekuasan di Indonesia.
Pemicu peperangan selanjutnya adalah tewasnya Jenderal Perwira kerajaan Inggris, Aubertin Walter Sothern Mallaby, atau yang lebih dikenal dengan Brigadir Mallaby, yang pada saat itu Ia dan tentara sekutu datang ke Surabaya pada pertengahan Oktober 1945 untuk melakukan aksi seremonial. Tentara sekutu marah besar karena Jenderal Perwiranya mati dengan cara yang memalukan ditangan tentara rakyat Indonesia dengan senjata bambu runcing. E. C. Robert Mansergh yang menggantikan Brigadir Mallaby mengeluarkan ultimatum bahwa pada 10 November 1945 Indonesia harus meyerahkan senjata dan menghentikan perlawanan terhadap Inggris dan Belanda. Arek-Arek Suroboyo dan tentara masyarakat Surabaya justru tak gentar dengan pernyataan ultimatum Jenderal Robert Mansergh, mereka bahkan siap berperang dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ormas Islam juga tak tinggal diam mengenai insiden ini. Bahkan secara resmi NU memfatwakan “Resolusi Jihad” pada 2 minggu sebelum pecahnya pertempuran 10 Nobember, tepatnya tanggal 22 Oktober 1945 sebagai bentuk penolakan dan perlawanan terhadap Inggris yang diboncengi kolonial Belanda selaku sekutunya. Ringkasan fatwa KH Hasyim Asy’ari atau yang dikenal dengan sebutan “Resolusi Jihad” sebagai berikut : “Hoekoemnja memerangi orang kafir jang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhoe ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam jang moengkin meskipoen bagi orang kafir. Hoekoemnja bagi jang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotannja adalah mati sjahid. Hoekoemnja orang jang memetjahkan persatoean kita sekarang ini wadjib diboenoeh.”
Resolusi ini memiliki tujuann ganda; pertama, sebagai bahan untuk “mempengaruhi” pemerintah dan agar segera menentukan sikap melawan kekuatan-kekuatan asing yang terindikasi hendak menggagalkan kemerdekaan Indonesia. Kedua, jika himbauan yang ditujukan kepada pemerintah tidak terwujud maka resolusi akan bisa dijadikan sebagai pegangan moral bagi Laskar Hizbullah, Laskar Sabilillah serta badan perjuangan lain untuk menentukan sikap dalam melawan kekuatan asing.
Resolusi Jihad memiliki implikasi yang sangat besar bagi perjuangan revolusioner umat Islam Indonesia dalam melawan kolonialisme, imperialisme, dan fasisme. Selain Laskar Hizbullah, pasca seruan jihad dibentuklah pasukan Sabilillah yang langsung merespon ajakan perang suci ini. Para kiai berduyun-duyun mengirimkan pasukan santrinya untuk bergabung dengan pasukan Hizbullah, Sabilillah, dan badan-badan perjuangan lainnya. Bahkan tidak hanya datang dari kawasan Jawa Timur, tetapi justru cukup banyak kesatuan pasukan Hizbullah, laskar-laskar, dan para santri dari pesantren-pesantren Jawa Tengah dan Jawa Barat yang turut hadir dan memperkuat barissan pertahan para pejuang di Surabaya.
Laskar Hizbullah dan Sabilillah sebagai sayap militer mulai berduyun-duyun memasuki Surabaya untuk menghadang kembalinya sang penjajah. Diantara alumnus kedua laskar yang ikut bertempur di Surabaya adalah KH Munasir Ali, KH Yusuf Hasyim, KH Baidlowi, KH Mukhlas Rowi, dan KH Sulaiman Syamsun. Tidak berbeda dengan Jawa Timur bagian Selatan, seruan jihad melawan kolonial juga berkumandang keras di Jawa Timur bagian Utara. Sosok yang tampil sebagai pelopor adalah KH amin dari Lamongan sebagai komandan Laskar Hizbullah.
Sebagai bentuk respons fatwa “Resolusi Jihad” yang dikeluarkan oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ary, kaum santri dari berbagai pondok pesantren di pulau jawa kian tergerak untuk ikut andil dan terlibat dalam aksi membela tanah air. Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Tebuireng Jombang, dan Pesantren Buntet Cirebon adalah sekian dari banyak pesantren yang kala itu sangat intens dalam berjuang dan terjun ke medan perang demi bangsa Indonesia dalam menghadapi musuh, baik di era kolonialisme Belanda maupun di era fasisme Jepang.
Sekitar 97 santri diberangkatkan dari Pesantren Lirboyo dibawah komando KH Mahrus Aly dengan mengendarai truk dan dibekali senjata sederhana menuju Surabaya untuk berperang menghadapi sekutu yang mengganggu stabilitas keamanan dan kemerdekaan Republik Indonesia. Ada beberapa nama santri pejuang yang tercatat antara lain: Syafi’i, Sulaiman, Agus Jamaluddin, Masyahari, Ridwan, Baidlowi, dan Damiri yang kesemuanya berdomisili Kediri. Sedangkan yang berasal dari luar kediri antara lain: Abu Na’im Mukhtar dari Salatiga, Khudlari dari Nganjuk, Sujairi dari Singapura, Zainuddin dari Blitar, Jawahir dari Jember, dan Agus Suyuti dari Rembang.
Dari sekian banyak prajurit KH Mahrus Aly yang mempunyai senjata berupa granat adalah Agus Suyuti. Granat yang dimiliki Agus Suyuti ini sudah dirajah (dibacakan doa) oleh Kiai Saifuddin, Kemuning, Kediri. Bersamaan dengan vakumnya kegiatan belajar mengajar di Pondok Pesantren Lirboyo karena adanya pertempuran di Surabaya, KH Maimoen Zubair yang pada masa itu masih nyantri di Lirboyo, berpamitan kepada Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, KH Abdul Karim. Mbah Manab pun (sapaan akrab KH Abdul Karim) memberi restu pada KH Maimoen Zubair muda untuk meninggalkan Pesantren Lirboyo.
Pertempuran di Surabaya terdengar di seantero tanah air. Laskar Hizbullah berupaya mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mendukung penuh pertempuran di Surabaya. KH Hasyim Asy’ari sebagai komando tertinggi Laskar Hizbullah menginstruksikan agar pertempuran besar-besaran berikutnya akan dijalankan jika KH Abbas Buntet, Cirebon telah bergabung. Ia adalah sosok pejuang yang sangat mencintai tanah air, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia menggembleng santri agar semangat memperjuangkan agama dan negara. Bahkan, Pesantren Bunten menjadi markas latihan Laskar Hizbullah, Sabilillah, dan PETA (Pembela Tanah Air). Ia juga membentuk dua regu laskar santri yang diberi nama Asybal dan Athfal.
Laskar Hizbullah merupakan kekuatan yang tangguh dan disegani musuh. Di Cirebon muncul tokoh Hizbullah seperti KH Hasyim Anwar dan KH Abdullah Abbas. Ketika melakukan perang gerilya, tentara Hizbullah memusatkan perhatiannya di daerah Legok, kecamatan Cidahu, kabupaten Kuningan dengan front di perbukitan Cimaneungteung yang terleyak di daerah Waled Selatan. Tercatat dalam sejarah Indonesia dan sejarah Pesantren Buntet sendiri, bahwa pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, peran KH Abbas bersama KH Annas dalam perjuangan melawan imperialis Inggirs sangat mennetukan nasib bangsa Indonesia. Atas restu KH Hasyim Asy’ari, KH Abbas terlibat langsung dan bahu membahu dengan para pejuang lainnya dalam pertempuran tersebut. Bahkan ketika Bung Tomo datang dan berkonsultasi kepada KH Hasyim Asy’ari untuk meminta persetujuan perlawanan rakyat terhadap imperialis Inggris beliau menyarankan agar perlawanan rakyat jangan dimulai terlebih dahulu sebelum KH Abbas datang ke Surabaya.
Bung Tomo juga berhasil mengobarkan spirit perlawanan dengan serangkaian pidatonya yang bersemangat melalui Radio Pemberontakan Rakyat, pecahlah pertempuran yang tidaak dapat dihindarkan lagi. Bung Tomo memiliki hubungan yang baik dengan kelompok Islam. Ia telah memperoleh kepercayaan dan dukungan dari KH Wahid Hasyim. Bung Tomo juga sering bertemu dengan para kyai untuk mendapatkan pesan-pesan yang kemudian digunakan sebagai bahan materi dalam serangkaian pidatonya untuk menggugah semangat dalam berjuang melawan musuh.
Kemudian sebanyak 97 santri Lirboyo yang dikirim oleh KH Abdul Karim dibawah kepemimpinan Kiai Mahrus, bergabung dengan pasukan Laskar Hizbullah di Surabaya. Selama kurang lebih satu minggu di Surabaya semua santri tersebut menjalankan puasa yang diijazahkan Kiai Mahrus. Pada perang ini, para santri Lirboyo berhasil merebut sembilan pucuk senjata dari pasukan musuh, dan semuanya bisa kembali ke Pesantren Lirboyo dalam keadaan selamat.
Pada 24-25 November 1945 pasukan Inggris akhirnya berhasil menguasai seluruh kota Surabaya atau setelah dua minggu penuh bertempur tanpa henti. Keberhasilan ini juga bukan karena tentara Republik Indonesia berhasil dihancurkan, namun lebih karena adanya himbauan pimpinan perlawanan untuk mengundurkan diri dari kota. Para pejuang mengundurkan diri selain menghidarkan jumlah korban, juga ditujukan untuk mengatur lagi strategi perlawanan. Untuk itu dibentuk markas pimpinan pejuang yang berpusat di Mojokerto yang melahirkan dewan Perjuangan Rakyat Surabaya. Dewan ini yang mengatur koordinasi tiga front pertempuran; utara, tengah, dan selatan.
Pertempuran berlangsung panas selama tiga minggu. Pada akhir bulan November 1945 seluruh kota telah jatuh ditangan sekutu. Namun semangat perjuangan para pejuang Indonesia yang masih hidup tetap tak bisa dipadamkan. Para santri dan tentara mengikuti ribuan pengungsi yang melarikan diri meninggalkan Surabaya dan kemudian mereka membuat garis pertahanan baru mulai dari Mojokerto di barat hingga ke arah Sidoarjo di timur. Beberapa versi menyebutkan, korban dari pihak Republik Indonesia mencapai 20.000 hingga 30.000 jiwa.
Secara garis besar, Laskar Hizbullah dan Sabilillah adalah salah satu bukti perjuangan secara fisik, moral, dan organisasional para santri yang dipelopori oleh sejumlah organisasi islam di Indonesia terutama NU. Meskipun pada era politik etis kolonial Belanda kalangan santri sangat terpinggirkan, tetapi justru kalangan pesantren mampu menjaga dan membangun dalam menjahit titah perjuangan Bangsa Indonesia melalui jaringan ulama baik lokal maupun internasional.
Sudah selayaknya jasa para pahlawan yang gugur dalam peperangan 10 November untuk diperingati dan dikenang, terlebih mengirimkan doa sebagai bentuk ucapan terimakasih atas darah yang ditumpahkan agar bangsa ini tetap merdeka. Mereka para pahlawan yang mati syahid dalam peperangan tersebut tentunya sudah berbahagia di sisi Allah SWT, dan sejatinya mereka tetap hidup diantara kita dengan penuh senyuman karena negara yang mereka perjuangkan tetap meredeka hingga kini. Allah berfirman :
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ (169) فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (170) يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ (171) الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ (172)[آل عمران: 169 – 172]
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.(169) Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(170) Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.(171) (Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar.(172).
Semoga dengan diperingatinya Hari Pahlawan 10 November, kita bisa meneladani gigihnya perjuangan para pejuang yang mati-matian dalam mempertahankan NKRI, teruutama kaum santri. Dan semoga para santri bisa melanjutkan titah para pendahulunya dalam menyebarkan ilmu agama dan terus menjunjung tinggi jiwa nasionalisme, seperti yang didawuhkan KH Maimoen Zubair, “Nasionalis Religius, Religius Nasionalis.” Amin yaa rabbal alamin… Untuk para santri yang berjuang dan para phalwan yang gugur, Al-fatihah.. .