A. DESKRIPSI
JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) merupakan program pelayanan kesehatan terbaru yang menggunakan sistem asuransi. Artinya, seluruh warga Indonesia nantinya wajib menyisihkan sebagian kecil uangnya untuk jaminan kesehatan di masa depan. JKN merupakan nama program pelayanan kesehatan yang ditawarkan oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). BPJS ini adalah perusahaan asuransi yang kita kenal sebelumnya sebagai PT Askes. Begitupun juga BPJS Ketenagakerjaan merupakan transformasi dari Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja). Antara JKN dan BPJS tentu berbeda.
Sesuai Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) , dengan adanya JKN, maka seluruh masyarakat Indonesia akan dijamin kesehatannya. Dan juga kepesertaanya bersifat wajib tidak terkecuali juga masyarakat tidak mampu karena metode pembiayaan kesehatan individu yang ditanggung pemerintah.
Namun hal ini bukan berarti tidak menuai kontroversi, bahkan Sebagian peserta BPJS merasa mubazir sudah membayar iuran setiap bulan tapi belum pernah memperoleh manfaatnya sehingga tak jarang dari mereka yang ingin berhenti dari BPJS Kesehatan, sayangnya hal ini tidak bisa dilakukan, karena kepesertaan BPJS Kesehatan berlaku seumur hidup sampai pesertanya meninggal dunia. Sesuai dengan Perpres RI Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan pasal 6 ayat 1 dinyatakan bahwa: kepesertaan Jaminan Kesehatan bersifat wajib dan mencakup seluruh penduduk Indonesia, sehingga tidak ada proses penghentian keanggotaan JKN.
B. RUMUSAN MASALAH
Menimbang bahwa masyarakat Indonesia berhak mendapatkan layanan kesehatan yang menjamin, serta perlunya badan penyelenggara yang merealisasikannya. Pemerintah membuat program asuransi kesehatan lewat BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Pada dasarnya kesejahteraan merupakan harapan seluruh masyarakat, sehingga mereka akan menyambut dengan gembira, jika pemerintah membuat sebuah program yang bebar-benar dapat mensejahterakan, bukan sebaliknya, sebuah program yang justru dapat menekan dan menambah beban masyarakat. bila kita kaji kembali, program BPJS belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam terlebih jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar kedua belah pihak, karena dalam prakteknya terdapat bebepa permasalahan yang kurang sesuai dengan nilai-nilai agama dan sosial diantaranya:
a) Kepesertaannya bersifat wajib dan mengikat, jika sudah mendaftar, peserta tidak bisa berhenti dari keanggotaan, jika tidak membayar maka akan menjadi utang piutang antara peserta dan BPJS bahkan peserta juga dikenai denda, tentu hal ini dapat menyebabkan pemberatan tanggungan dan penekanan pada rakyat kecil.
b) Realita yang ada, sebagian besar peserta membayar BPJS tidak untuk hibbah/cuma-cuma, melainkan karena ingin mendapatkan layanan gratis saat sakit, bahkan peserta diharuskan memilih layanan kelas I, II atau III sehingga pembayaran peserta tidak bisa dikatagorikan Tabarrau’ (menderma) atau suka-rela membantu.
c) Ketika terlambat membayar selama 3 (tiga) bulan bagi peserta golongan pekerja upah, peserta dikenai denda 2% (dua persen) perbulan sebagai ganti biaya administratif, dan apabila tidak dari golongan penerima upah ( bukan pekeja) akan dikenai denda 2 %(dua persen) jika terlambat paling banyak 6 bulan.
Dari deskripsi dan pertimbangan di atas timbul beberapa permasalahan :
1. Apakah konsep dan praktik asuransi yang ditawarkan BPJS sudah memenuhi prinsip syari’ah?
2. Apakah denda adminidtratif sebesar 2 % (dua persen) perbulan dari total iuaran yang dikenakan kepada peserta akibat terlambat membayar iuran tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah?
3. Adanya indikasi uang yang dicairkan untuk membiayai BPJS adalah dari bunga simpanan atau deposito uang setoran peserta.
C. KETENTUAN HUKUM
Sebelum lebih jauh membahas ketentuan hukum. Perlu diketahui bentuk-bentuk asuransi (ta’min) secara garis besarnya:
1. Ta’min ta’awuni (asuransi yang diperbolehkan syari’ah)
– Peran perusahaan hanya sebatas pemegang amanah
– Pengelolaan investasi dana dengan prinsip wakalah bil ujroh
2. Ta’min tijari (asuransi yang tidak diperbolehkan syari’ah)
– Dana yang disetorkan menjadi milik perusahaan asuransi
– Peran perusahaan sebagai pemilik dana/premi yang disetorkan
Dari rumusan masalah di atas dapat disimpulkan bahwa:
1) Hukum asuransi JKN-BPJS bisa DIBENARKAN menurut syari’ah bila dibentuk oleh pemerintah semata-mata untuk menghimpun dana dari masyarakat yang akan diberikan kepada mereka yang membutuhkan bantuan biaya pengobatan (ta’min ta’awuni/ijtima’i).
2) Hukum asuransi JKN-BPJS adalah TIDAK DIBENARKAN menurut syari’ah, bila penyelanggaraannya atas dasar untuk mendapatkan keuntungan karena terdapat unsur-unsur yang tidak sesuai syari’ah diantaranya:
a) Adanya unsur qimar (judi) dan gharar (penipuan)
Menyetorkan dana sedikit untuk mendapatkan keuntungan besar, spekulasi atau ketidakjelasan siapa yang akan mendapatkan keuntungan atau kerugian adalah substansi judi. Peserta program BPJS juga tidak mengetahui secara pasti, berapa besaran kompensasi yang akan ia dapatkan, tidak tahu sampai kapan ia wajib membayar, karena tidak ditentukan batas tempo wajib membayar.
b) Adanya unsur riba
Motifasi/harapan peserta saat menyetorkan dana iuran dan premi kepada pihak BPJS adalah untuk mendapatkan sejumlah ganti rugi yang lebih besar dari dana yang disetorkan, praktek seperti ini memiliki muatan riba fadl dan riba nasai. Belum lagi uang iuran peserta BPJS setelah disetorkan ke panitia BPJS akan disimpan dan didepositokan kepada Bank Konvesional yang menghasilkan bunga yang diharamkan syari’ah.
c) Dalam konteks Indonesia, praktek BPJS yang ada menurut syari’ah Islam termasuk ta’min tijari (salah satu bentuk asuransi yang tidak diperbolehkan), sebab dalam prakteknya bukan mengedepaknan unsur at-tabarru’ (menderma) dan suka rela melainkan untuk mencari keuntungan dengan cara yang tidak sesuai syari’ah.
d) Terdapat denda administrasi keterlambatan pembayaran iuran sebesar 2% perbulan dari total iuran yang tertunggak. Hal ini tentu akan memberatkan peserta yang tidak sedikit dari kalangan menengah kebawah. Dan kebanyakan yang mempunyai tunggakan adalah rakyat kecil sebab banyaknya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.
Jika denda tersebut di atas dinamakan ta’zir bil mall (hukuman dengan membayar uang), maka pemerintah tidak dibenarkan menta’zir dengan alasan keterlambatan membayar, karena ta’zir ini hanya boleh dilakukan pemerintah bila rakyat melakukan tindak keharaman.
D. DASAR PENETAPAN HUKUM
A. Anjuran Adanya Program JKN-BPJS Yang Sesuai Syari’ah
1. AL-QURAN
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ [المائدة:2]
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (Al-Maidah: 2)
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ [البقرة : 177]
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya),dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”. (Al-Baqoroh: 177)
2. HADIST
"من كان معه فضل ظهر فليعد به على من لا ظهر له ومن كان معه فضل زاد فليعد به على من لا زاد له
“Barang siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan yakni lebih dari apa yang diperlukannya sendiri, hendaklah bersedekah dengan kelebihannya itu kepada orang yang tidak mempunyai kendaraan dan barang siapa yang mempunyai kelebihan bekal makanan, maka hendaklah bersedekah kepada orang yang tidak mempunyai bekal makanan apa-apa”. (HR. Muslim No. 172)
3. IJMA’
Adapun dalil ijma’ adalah sesungguhnya kaum muslimin di setiap tempat dan waktu telah bersepakat untuk saling menolong, menaggung, menjamin dan mereka bersepakat untuk melindungi orang-orang yang lemah, menolong orang-orang yang terdlolimi, membantu orang-orang yang teraniaya, sikap tersebut tercermin ketika terjadi kekeringan/paceklik pada zaman Sayyidina Umar bin Khottob, dan terdapat sejarah pada zaman Amirul Mukminin Umar bin Abdul Azziz dimana tidak ditemukan orang miskin, sehigga muzakki (orang yang berzakat) kesulitan menemukan mustahiq (orang yang berhaq menerima zakat)
4. QOUL ULAMA’
Para Ulama’ membagi praktek BPJS yang mengandung praktek asuransi menjadi dua, Ta’min Ta’awuni (asuransi yang mendepankan pendermaan dengan suka rela) inilah yang diperbolehkan dan dianjurkan dan Ta’min Tijari (asuransi mengikat dan tidak mengedepankan pendermaan dengan suka rela) dan model praktek yang kedua ini tidak diperbolehkan.
– قواعد البيوع وفرائد الفروع ج 1 ص 84
ومنها : عقد التأمين التجاري والتأمين التعاوني ، فالأول محرم لا يجوز لأنه عقد معاوضة فالمؤمَّن يدفع مبلغاً معيناً شهرياً أو سنوياً على أن المؤمِّن يقوم بغرامة ما يقع على الطرف الأول من حادثٍ أو نحو ذلك فهذا عقد معاوضة لكن فيه جهالة وغرر فلم يجز لأن عقود المعاوضات مبناها على المشاحة ، وأما التأمين التعاوني فهو أن يجتمع عدة أشخاص معرضين لأخطار متشابهة ويدفع كل واحدٍ منهم اشتراكاً معيناً وتخصص هذه الاشتراكات لأداء التعويض لمن يصيبه ضرر ، فهذا جائز وهو البديل المباح عن التأمين التجاري ، لأن التأمين التعاوني لا يقصد به أفراده الربح من ورائه ولكنهم يسعون إلى تخفيف الخسائر التي تلحق بعض الأعضاء فهم يتعاقدون ليتعاونوا على تحمل مصيبة قد تحل بهم وهذا أمر مستحب مرغب فيه ، فالتأمين التجاري حرام لأنه من عقود المعاوضات ، وعقود المعاوضات لا تجوز إذا كان فيها غرر وجهالة فيما يقصد لأن مبناها على المشاحة ، والتأمين التعاوني جائز لأنه من عقود التبرعات والإرفاق ، وعقود التبرعات مبناها على المسامحة فجاز ولم ننظر إلى جهالة من يقع عليه الضرر ، فانظر كيف اختلف الحكم لاختلاف نوعية العقد وهذا يدلك على أهمية هذه القاعدة والله أعلم .
“Diantara macam-macam aqad adalah ta’min attijari dan ta’min atta’awuni. Yang pertama dihukumi haram karena termasuk aqad yang ada unsur timbal balik.
Adapun prakteknya adalah seorang muamman (pengasuransi) menyerahkan sejumlah uang setiap bulan atau setiap tahun agar muammin (yang menjamin asuransi) bisa menggunakan uang tersebut sebagai ganti rugi terhadap apa yang ia alami baik kecelakaan, bencana dsb., akan tetapi ini merupakan aqad timbal balik yang terdapat ketidak jelasan dan penipuan sehingga tidak diperbolehkan karena dasar dari akad muawadloh (timbal balik) adalah hal yang bisa mengakibatkan persengketaan.
Adapun ta’min attaawuni adalah segolongan orang yang bersepakat untuk mengantisipasi bahaya yang akan terjadi dengan saling menyumbang sejumlah uang yang ditentukan yang akan didapat oleh salah seorang dari mereka yang mendapat musibah dan ini hukumnya diperbolehkan dan timbal baliknyapun halal. Hal ini berbeda dengan ta’min attijari karena disini tidak ada tujuan cari untung, bahkan tujuannya meringankan beban yang menimpa sebagian anggotanya. Akad ini bertujuan saling membantu siapa yang terkena musibah diantara mereka yang sungguh jelas ini merupakan hal yang dianjurkan syari’at.
Adapun ta’min attijari hukumnya haram karena termasuk akad timbal balik yang terdapat ketidak jelasan terhadap apa yang dituju yang mana dasar dari akad timbal balik ini adalah hal yang bisa mengakibatkan persengketaan.
Beda halnya dengan ta’min atta’awuni yang termasuk pemberian sukarela yang dasarnya adalah dibuat mudah sehingga diperbolehkan tanpa memandang belum jelasnya siapa yang terkena musibah.
Lihatlah bagaimana hukum bisa berbeda karena perbedaan nama akad. Hal ini menunjukkan bahwa qo’idah ini adalah termasuk yang paling penting”.
– الفقه الإسلامي وأدلته – (5 / 101)
حكم التأمين مع شركات التأمين في الإسلام
التأمين حديث النشأة ، فقد ظهر بمعناه الحقيقي في القرن الرابع عشر الميلادي في إيطاليا في صورة التأمين البحري. والتأمين ( أو السوكرة ) نوعان: تأمين تعاوني وتأمين بقسط ثابت (2) .
أما التأمين التعاوني: فهو أن يتفق عدة أشخاص على أن يدفع كل منهم اشتراكاً معيناً، لتعويض الأضرار التي قد تصيب أحدهم إذا تحقق خطر معين. وهو قليل التطبيق في الحياة العملية.
وأما التأمين بقسط ثابت: فهو أن يلتزم المؤمَّن له بدفع قسط محدد إلى المؤمِّن: وهو شركة التأمين المكونة من أفراد المساهمين، يتعهد ( أي المؤمن ) بمقتضاه دفع أداء معين عند تحقق خطر معين. وهو النوع السائد الآن. ويدفع العوض إما إلى مستفيد معين أو إلى شخص المؤمن أو إلى ورثته، فهو عقد معاوضة ملزم للطرفين.
والفرق بين النوعين: أن الذي يتولى التأمين التعاوني ليس هيئة مستقلة عن المؤمن لهم، ولايسعى أعضاؤه إلى تحقيق ربح، وإنما يسعون إلى تخفيف الخسائر التي تلحق بعض الأعضاء. أما التأمين بقسط ثابت فيتولاه المؤمن ( أي الشركة المساهمة ) الذي يهدف إلى تحقيق ربح، على حساب المشتركين المؤمن لهم. وكون المؤمن له قد لايأخذ شيئاً في بعض الأحيان لايخرج التأمين من عقود المعاوضات، لأن من طبيعة العقد الاحتمالي ألا يحصل فيه أحد العاقدين على العوض أحياناً.
Fiqhul islami waadillatihi – (5/101)
“Aturan asuransi dengan perusahaan asuransi dalam Islam.
Asuransi kemunculannya adalah hal yang baru. Ia muncul dalam arti sebenarnya pada abad keempat belas di Italia dalam bentuk asuransi laut. Asuransi (atau dikenal dengan dhoman/takafful) ada dua jenis: asuransi koperasi dan asuransi premi tetap (asuransi bisnis).
Asuransi koperasi yaitu kesepakatan beberapa orang yang setuju bahwa masing-masing membayar langganan tertentu, untuk mengimbangi kerusakan yang mungkin menimpa seseorang pada waktu terjadi kecelakaan. Asuransi tipe ini jarang berlaku dalam kehidupam nyata (masyarakat).
Asuransi Premi tetap yaitu kesanggupan anggota asuransi untuk membayar premi kepada perusahaan asuransi. Tipe ansuransi ini terdiri dari anggota pemegang saham perusahaan asuransi (mu’ammin), mereka berjanji akan memberikan jaminan finansial ganti rugi terhadap klaim kejadian-kejadian tak terduga yang dialami peserta. Sekarang jenis asuransi ini yang dominan (umum) dipraktekkan di masyarakat.
Imbalan (iwad) diberikan baik kepada penerima manfaat tertentu atau langsung kepada anggota asuransi atau ahli warisnya. Jenis asuransi ini merupakan kontrak yang mengikat kedua belah pihak.
Perbedaan antara kedua jenis asuransi:
Asuransi koprasi: peran perusahaan yang mengolola dana konstribusi yang diterima dari anggota asuransi koperasi bukan merupakan badan independen dari dari anggota asuransi, dan anggotanya tidak mencoba untuk mengambil keuntungan, melainkan berusaha untuk meringankan kerugian yang diderita oleh beberapa anggota (mereka hanya sebatas pemegang amanah pengelola investasi dana kontribusi dengan prinsip wakalah bil ujroh).
Asuransi Premi tetap (asuransi bisnis) adalah model asuransi konvensional (asuransi yang dikelola oleh badan independen perusahaan asuransi yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan) dari dana yang disetorkan peserta, dan terkadang anggota asuransi akan kehilangan seluruh dana/ premi yang disetorkan serta tidak mendapatkan apapun. Jenis asuransi ini merupakan sebuah praktek tukar menukar uang karena akibat yang muncul dari kontrak ini memungkinkan ada salah satu peserta yang mengadakan perjanjian tidak mendapatkan apa-apa”.
– في الفقه الإسلامي للأستاذ الدكتور وهبة الزحيلي 5/3421-3423 (دار الفكر)
مانصه : أنواع التأمين : والتأمين من حيث الشكل نوعان : تأمين تعاوني : وهو أن يشترك مجموعة من الأشخاص بدفع مبلغ معين ثم يؤدى من الإشتراكات تعويض لمن يصيبه ضرر. تأمين تجاري : أو التأمين ذو القسط الثابت : وهو المراد عادة عند إطلاق كلمة التأمين. وفيه يلتزم المستأمن بدفع قسط معين إلى شركة التأمين القائمة على المساهمة ، على أن يتحمل المؤمِّن (الشركة) تعويض الضرر الذي يصيب المؤمَّن له أو المستأمن. فإن لم يقع الحادث فَقَد المستأمن حقه في الأقساط وصارت حقا للمؤمِّن. وهذا النوع ينقسم من حيث موضوعه إلى : تأمين الأضرار : وهو يتناول المخاطر التي تؤثر في ذمة المؤمن له ، لتعويضه عن الخسارة التي تلحقه. وهو يشمل : التأمين من المسؤولية : وهو ضمان المؤمَّن له ضد مسؤوليته عن الغير الذي أصيب بضرر، مثل حوادث السير والعمل. والتأمين على الأشياء : وهو تعويض المؤمَّن له عن الخسارة التي تلحقه في ماله بسبب السرقة أو الحريق أو الفيضان أو الآفات الزراعية ونحو ذلك . وتأمين الأشخاص : وهو يشمل : لتأمين على الحياة : وهو أن يلتزم المؤمّن بدفع مبلغ لشخص المستأمن أو للورثة عند الوفاة أو الشيخوخة أو المرض أو العاهة بحسب مقدار الإصابة والتأمين من الحوادث الجسمانية : وهو أن يلتزم المؤمن بدفع مبلغ معين إلى المؤمن له في حالة إصابته أثناء المدة المؤمن فيها بحادث جسماني، أو إلى مستفيد آخر إذا مات المستأمن. والتأمين من حيث العموم والخصوص ينقسم إلى قسمين : تأمين خاص أو فردي : خاص بشخص المستأمن من خطر معين. تأمين اجتماعي أو عام : يشمل مجموعة من الأفراد يعتمدون على كسب عملهم من أخطار معينة كالمرض والشيخوخة والبطالة والعجز، وهذا في الغالب يكون إجباريا ، ومنه التأمينات الإجتماعية والصحية والتقاعدية.
“Jenis Asuransi:
Asuransi dipandang dari segi bentuknya ada dua jenis:
Asuransi koperasi yaitu usaha yang melibatkan sekelompok orang untuk membayar jumlah tertentu dan kemudian dari dana tersebut digunakan untuk jaminan finansial ganti rugi terhadap bahaya yang menimpa pada mereka.
Asuransi bisnis yaitu asuransi dengan peremi tetap, asuransi inilah yang biasanya dikehendaki ketika kata asuransi diucapkan
Tipe ini dilihat dari layanan yang disediakan dibagi menjadi:
Asuransi Kerusakan yaitu asuransi terhadap kerugian yang disebabkan kerusakan yang menimpa peserta asuransi. Termasuk asuransi ini adalah asuransi jaminan terhadap tanggung jawab yang diasuransikan untuk pihak ketiga yang mengalami kerugian, seperti kecelakaan lalu lintas dan tempat kerja.
Asuransi pada segala perkara yaitu imbalan yang diberikan oleh perusahaan asuransi berupa jaminan finansial ganti rugi terhadap kerugian yang disebabkan pencurian kebakaran, banjir, hama pertanian dan sebagainya.
Asuransi keamanan manusia: tipe asuransi ini mencakup:
Asuransi jiwa yaitu perusahan asuransi akan membayar uang pertanggungan kepada peserta asuransi atau ahli waris pada saat kematian, usia tua, sakit atau cacat, sesuai dengan jumlah biaya yang dijanjikan.
Asuransi kecelakaan fisik yaitu perusahaan asuransi wajib membayar jumlah tertentu kepada peserta dalam kasus cedera selama periode asuransi di sebabkan kecelakaan fisik, atau kepada penerima lain jika peserta meninggal dunia.
Asuransi dipandang dari umum dan khusus dibagi menjadi dua bagian:
Asuransi swasta atau individu: khusus terhadap peserta dari risiko tertentu.
Asuransi sosial atau bersifat umum: mencakup jaminan sekelompok individu yang mereka gantungkan pada penghasilan pekerjaan mereka dari risiko tertentu seperti sakit, usia tua, pengangguran, cacat, dan asuransi ini yang sering adalah bersifat wajib. Dan termasuk asuransi model ini adalah asuransi sosial, kesehatan dan pensiun”.
موقف الفقه الإسلامي من التأمين : لا شك كما تبين سابقا في جواز التأمين التعاوني في منظار الفقهاء المسلمين المعاصرين، لأنه يدخل في عقود التبرعات ومن قبيل التعاون المطلوب شرعا على البر والخير، لأن كل مشترك يدفع اشتراكه بطيب نفس لتخفيف آثار المخاطر وترميم الأضرار التي تصيب أحد المشتركين، أيا كان نوع الضرر، سواء في التأمين على الحياة أو الحوادث الجسدية أو على الأشياء بسبب الحريق أو السرقة أو موت الحيوان أو ضد المسؤولية من حوادث السير أو حوادث العمل، ولأنه لا يستهدف تحقيق الأرباح. وعلى هذا الأساس نشأت شركات التأمين التعاوني في السودان وغيره، ونجحت في مهامها وأعمالها بالرغم من وصف القانونيين لها بأنها بدائية. كذلك يجوز التأمين الإجباري أو الإلزامي الذي تفرضه الدولة، لأنه بمثابة دفع ضريبة للدولة كالتأمين المفروض على السيارات ضد الغير. ولا مانع من جواز التأمين الإجتماعي ضد الطوارئ العجز والشيخوخة والمرض والبطالة والتقاعد عن العمل الوظيفي، لأن الدولة مطالبة برعاية رعاياها في مثل هذه الأحوال ولخلوه من الربا والغرر والمقامرة . وقد أجاز مؤتمر علماء المسلمين الثاني في القاهرة عام (1385هـ/1965م)، ومؤتمر علماء المسلمين السابع عام (1392هـ/1972م) كلا من التأمين الإجتماعي والتأمين التعاوني وهو ما قرره مجمع الفقه الإسلامي في مكة المكرمة عام (1398هـ/1978م). وأما التأمين التجاري أو الـامين ذو القسط الثابت : فهو غير جائز شرعا، وهو رأي أكثر فقهاء العصر، وهو ما قرره المؤتمر العالمي الأولي للإقتصاد الإسلامي في مكة المكرمة عام (1396هـ/1976م)، وسبب عدم الجواز يكاد ينحصر في أمرين : هما الغرر والربا.
“Posisi hukum asuransi di dalam agama Islam secara hukum menurut pandangan para ulama kontemporer adalah bahwa asuransi koperasi (ta’min ta’awuni) diperbolehkan sebab secara prinsip asuransi tersebut merupakan bentuk akad tabarru’ yang didasari spirit saling membantu dan tolong-menolong yang dianjurkan syari’at. Dan para peserta memberikan sumbangan dengan sukarela untuk meringankan kerugian dan pemulihan kerusakan yang menimpa pada peserta, kerusakan apapun jenisnya, baik dalam asuransi jiwa atau kecelakaan fisik atau pada hal-hal karena kebakaran, pencurian atau kematian hewan atau membayar kewajiban akibat dari kecelakaan lalulintas atau kecelakaan kerja, dan karena asuransi ini tidak ditujukan untuk membuat keuntungan. Atas dasar ini, asuransi koperasi bermunculan di negara Sudan dan negara-negara lain. Asuransi ini telah berhasil menjalankan tugas dan pekerjaannya bahkan para ahli hukum mengatakan bahwa dia sebagai asuransi yang masih asli.
Juga diperbolehkan asuransi wajib yang ditetapkan (diselenggarakan) oleh negara, karena sebagai pembayaran pajak negara yang dikenakan pada mobil sebagaimana asuransi terhadap pihak ketiga. Tidak masalah jika asuransi sosial terhadap keadaan darurat cacat, usia tua, sakit, pengangguran dan pensiun dari pekerjaan diperbolehkan, karena negara bertanggung jawab terhadap warga negara yang berada di bawah naungannya dalam kejadian-kejadian tersebut, dan tentu saja asuransi ini harus bebas dari unsur penipuan dan ketidakjelasan, riba dan perjudian.
Muktamar (Konferensi) para Ulama Muslim yang kedua di Kairo pada tahun (1385/1965), dan Konferensi ketujuh Ulama Muslim tahun (1392/1972) baik dari asuransi sosial dan asuransi koperasi yang diputuskan oleh Dewan Fiqih Islam di Makkah tahun (1398/1978). Asuransi komersial atau asuransi dengan premi tetap: secara hukum diperbolehkan, itu pendapat dari kebanyakan ulama zaman sekarang dan itu sesuai keputusan yang diputuskan oleh Konferensi Internasional pertama tentang Ekonomi Islam di Mekah tahun (1396/1976), dan penyebab tidak diperbolehkannya mengarah pada dua hal: penipuan dan ketidakjelasan serta riba”.
B. Keharaman Riba
1. Dalil Al-Quran
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ [البقرة : 275]
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat) bahwa sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang-orang itu adalah para penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (Al Baqoroh:275)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ [البقرة : 278]
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”. (Al Baqoroh:278)
2. Dalil Hadist
– سنن البيهقي الكبرى – (5 / 350)
عن فضالة بن عبيد صاحب النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال : كل قرض جر منفعة فهو وجه من وجوه الربا
“Diriwayatkan dari Fudolah bin Ubaid bahwa Nabi pernah bersabda: “Setiap hutang yang menarik sebuah kemanfaatan itu adalah bentuk dari riba”.
3. Ijma’
Hukum keharaman riba telah disepakati oleh para Ulama’, hukum ini juga sudah sangat jelas, sehingga kufur bagi orang yang mengingkarinya.
– الخلاصة في فقه الأقليات – (3 / 25)
يؤكد المجلس على ما أجمعت عليه الأمة من حرمة الربا وأنه من السبع الموبقات، ومن الكبائر التي تؤذن بحرب من الله ورسوله، ويؤكد ما قررته المجامع الفقهية الإسلامية من أن فوائد البنوك هي الربا الحرام .
C. Keharaman Qimar (Judi)
1. Dalil Al-Quran
"يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [المائدة : 90]
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (Al Maidah:90)
2. Dalil Hadits
حديث عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه: أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن الخمر والميسر والكوبة و الغبيراء وقال: كل مسكر حرام
“Hadist riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash bahwasannya Nabi Muhammad melarang khomr, judi, sejenis gendang, dan sejenis arak dari kurma. Beliau juga bersabda: Setiap yang memabukkan haram hukumnya”.
D. Keharaman Gharar (kesamaran atau ketidak jelasan)
Dalil Hadist
عن أبي هريرة أن النبي – صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الغرر
“Diriwayatkan dari Abu Huroiroh bahwasannya Nabi melarang jual beli yang ada unsur ghoror (kesamaran atau ketidak jelasan)”.
E. BPJS YANG SESUAI SYARI’AH
1) Keberadaan BPJS Yang Dibenarkan Syari’ah
Pada dasarnya tolong-menolong/ saling membantu merupakan salah satu hal yang diperioritaskan oleh syari’ah. Namun, niat baik ini akan menjadi sia-sia dan bahkan bisa merugikan pihak lain bila tidak diiringi dengan realisasi yang sesuai dengan syari’ah. Para ulama telah merumuskan bentuk asuransi yang sesuai dengan syari’ah agar tidak ada kerugian dari kedua belah pihak, yaitu ta’min ta’awuni (asuransi yang mengedepankan unsur tabarru’/suka rela). Akad ini mengusung kerjasama antar anggota dengan tidak saling memaksa satu sama lain. Berbagai pihak yang bersepakat dalam akad ini saling berkomitmen untuk saling membantu dengan membayar uang iuran yang akan dialokasikan untuk anggota yang membutuhkan bantuan pengobatan. Secara konsep fiqih Islam bahwa seharusnya yang membantu adalah mayasirul muslimin (orang-orang kaya) terhadap fuqoro’, bukan sebaliknya. Dimana para peserta yang tergolong kelas rendah pembayarannya digunakan membantu orang-orang kaya.
2) Menjadi Peserta Asuransi Kesehatan
Menjadi peserta asuransi kesehatan atau ikut terlibat dalam keanggotaanya tentu sangat dianjurkan bila asuransi tersebut sudah sesuai dengan syari’ah. Namun, bila asuransi tersebut tidak sesuai denga syari’ah (Ta’min Tijari) sebagaimana praktek program asuransi yang ditawarkan BPJS maka ikut terlibat di dalamnya tentu tidak diperbolehkan. Karena hal itu sama halnya dengan mendukung dan andil dalam hal yang dilarang syari’ah.
3) Keharusan Mendukung Program Pemerintah Yang Sesuai Syari’ah
Pemerintah selalu mengupayakan kesejahteraan pada masyarakat, agar tujuan mulia itu terealisasi tentu harus ada dukungan dari masyarakat, sering kali program mulia pemerintah gagal ditengah jalan sebab kurangnya dukungan dari masyarakat dan tidak sesuainya konsep program pemerintah dengan syari’ah. Masyarakat harus peka terhadap program yang akan dilaksanakan pemerintah, harus mendukung jika memang program yang akan dilaksanakan pemerintah berorientasi untuk mensejahterakan masyarakat dan sesuai dengan syari’ah. Supaya kesejahteraan masyarakat yang sudah sejak dahulu kala diperjuangkan oleh pemerintah segera terwujud.
– قواعد الأحكام في مصالح الأنام أبو محمد عز الدين عبد العزيز بن عبد السلام الدمشقي شافعي 1/64
في تصرف الآحاد في الأموال العامة عند جور الأئمة لا يتصرف في أموال المصالح العامة إلا الأئمة ونوابهم , فإذا تعذر قيامهم بذلك , وأمكن القيام بها ممن يصلح لذلك من الآحاد بأن وجد شيئا من مال المصالح , فليصرف إلى مستحقيه على الوجه الذي يجب على الإمام العدل أن يصرفه فيه , بأن يقدم الأهم فالأهم , والأصلح فالأصلح , فيصرف كل مال خاص في جهاته أهمها فأهمها , ويصرف ما وجده من أموال المصالح العامة في مصارفها أصلحها فأصلحها , لأنا لو منعنا ذلك لفاتت مصالح صرف تلك الأموال إلى مستحقيها , ولأثم أئمة الجور بذلك وضمنوه , فكان تحصيل هذه المصالح ودرء هذه المفاسد أولى من تعطيلها . وإن وجد أموالا مغصوبة , فإن عرف مالكيها فليردها عليهم , وإن لم يعرفها فإن تعذرت معرفتهم بحيث يئس من معرفتهم صرفها في المصالح العامة أولاها فأولاها
– قواعد الأحكام في مصالح الأنام أبو محمد عز الدين عبد العزيز بن عبد السلام الدمشقي شافعي 2/252
فصل في تصرف الولاة ونوابهم يتصرف الولاة ونوابهم بما ذكرنا من التصرفات بما هو الأصلح للمولى عليه درءا للضرر والفساد , وجلبا للنفع والرشاد , ولا يقتصر أحدهم على الصلاح مع القدرة على الأصلح إلا أن يؤدي إلى مشقة شديدة , ولا يتخيرون في التصرف حسب تخيرهم في حقوق أنفسهم مثل أن يبيعوا درهما بدرهم , أو مكيلة زبيب بمثلها لقول الله تعالى : { ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن } , وإن كان هذا في حقوق اليتامى فأولى أن يثبت في حقوق عامة المسلمين فيما يتصرف فيه الأئمة من الأموال العامة ; لأن اعتناء الشرع بالمصالح العامة أوفر وأكثر من اعتنائه بالمصالح الخاصة , وكل تصرف جر فسادا أو دفع صلاحا فهو منهي عنه كإضاعة المال بغير فائدة , وإضرار الأمزجة لغير عائدة , والأكل على الشبع منهي عنه ; لما فيه من إتلاف الأموال , وإفساد الأمزجة , وقد يؤدي إلى تفويت الأرواح , ولو وقعت مثل قصة الخضر عليه السلام في زماننا هذا لجاز تعييب المال حفظا لأصله ولأوجبت الولاية ذلك في حق المولى عليه حفظا للأكثر بتفويت الأقل فإن الشرع يحصل الأصلح بتفويت المصالح , كما يدرأ الأفسد بارتكاب المفاسد , وما لا فساد فيه ولا صلاح فلا يتصرف فيه الولاة على المولى عليه إذا أمكن الانفكاك عنه .
– بغية المسترشدين – (1 / 326)
)مسألة : ش) : المكس والعشور المعروف من أقبح المنكرات بل من الكبائر إجماعاً ، حتى يحكم بكفر من قال بحله ، وليس على المسلم في ماله شيء ، فلو أن رجلاً من أهل الصلاح لم يؤخذ من ماله وسفينته عشور لجاهه وبقي بعده ، أن من فعل سفينة من ذريته لا يؤخذ منه ذلك لم يستحق بقية الورثة عليه شيئاً ، وإن كان إنما ترك لجاه جدّه وهذا ظاهر.
(مسألة : ك) : عين السلطان على بعض الرعية شيئاً كل سنة من نحو دراهم يصرفها في المصالح إن أدّوه عن طيب نفس لا خوفاً وحياء من السلطان أو غيره جاز أخذه ، وإلا فهو من أكل أموال الناس بالباطل ، لا يحل له التصرف فيه بوجه من الوجوه ، وإرادة صرفه في المصالح لا تصيره حلالاً.
– فتاوى السبكي 1/199 (دار الكتب العلمية)
يجب على السلطان أو نائبه الذي له النظر في ذلك أن يقصد مصلحة عموم المسلمين ومصلحة ذلك المكان والمصالح الأخروية , ويقدمها على الدنيوية والمصالح الدنيوية التي لا بد منها وما تدعو إليه من الحاجة والأصلح للناس في دينهم , ومهما أمكن حصول المجمع عليه لا يعدل إلى المختلف فيه إلا بقدر الضرورة فإذا تحقق عنده مصلحة خالصة أو راجحة نهى عنها ومتى استوى عنده الأمران أو اشتبه عليه فلا ينبغي له الإقدام بل يتوقف حتى يتبين له ومتى كان شيء مستمر لم يمكن أحدا من تغييره حتى يتبين له وجه يسوغ التغيير ومتى كان شيء من العبادات حرص على تكميله واستمراره وعدم انقطاعه وعدم إحداث بدعة فيه وحفظ انضمامه على ما هو عليه . ومتى كان شيء من المحرمات اجتهد في إزالته جهده وكذلك المكروهات ومتى كان شيء من المباحات فهو على ما هو عليه من تمكين كل حد منه وعدم منع شيء منه إلا بمستند ويرجع إلى عقله ودينه وما يفهمه من الشرع وممن يثق في دينه ; ولا يقلد في ذلك من يخشى جهله أو تهوره أو هواه أو دسائس تدخل عليه أو بدعة تخرج في صورة السنة يلبس عليه فيها كما هو دأب المبتدعين وذلك أضر شيء في الدين وقل من يسلم من ذلك فعلى الناظر في ذلك التثبيت وعدم التسرع حتى يتضح بنور اليقين ما ينشرح به صدره ويبين أمره وليس ما فوض إلى الأئمة ليأمروا فيه بشهوتهم أو ببادئ الرأي أو بتقليد ما ينتهي إليهم والسماع من كل أحد وإنما فوض إليهم ليجتهدوا ويفعلوا ما فيه صلاح الرعية بصواب الفعل الصالح وإخلاص الناس وحمل الناس على المنهج القويم والصراط المستقيم وهيهات ينجو رأس برأس فإنه متصرف لغيره مأسور بأسره والله غالب على أمره والله سبحانه وتعالى أعلم انتهى .
– الأم الجزء الثالث ص 64
(قال): فأما الرجل يقول للرجل وعنده صبرة تمر له أضمن لك هذه الصبرة بعشرين صاعا فإن زادت على عشرين صاعا فلي فإن كانت عشرين فهي لك وإن نقصت من عشرين فعلي إتمام عشرين صاعا لك فهذا لا يحل من قبل أنه من أكل المال بالباطل الذي وصفت قبل هذا وهذا بالمخاطرة والقمار أشبه وليس من معنى المزابنة بسبيل ليس المزابنة إلا ما وصفت لا تجاوزه.
Oleh :
Tim Kajian Ilmiah (Lajnat al-Nadwah al-‘Ilmiyah) PP. AL-ANWAR Sarang Rembang.
Meliputi :
Anggota, Dewan Muharrir (Perumus) dan Dewan Mushahhih (Pentashih).
Pembibing:
Hadlrotusysyaikh KH. Muhammad Najih MZ.