Memutar kembali memori di tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka. Melalui sang orator Bung Karno naskah proklamasi telah dibacakan. Dengan bersorak ramai bangsa Indonesia saling melontarkan kalimat “MERDEKA” yang mengungkapan rasa kebahagiaan mereka melepas belenggu penjajahan belanda.
Bangsa Indonesia yang baru saja gegap-gempita menjadi negara merdeka menghadapi ancaman yang besar, perjuangan yang gigih harus dilakukan oleh bangsa Indonesia, penuh dengan tumpahan darah para pahlawan sebagai wujud pengorbanan. Para pejuang, tentara dan rakyat mengangkat senjata di bahu mereka menuju medan perang yang penuh dengan lautan api akibat digempur oleh pasukan belanda.
Peperangan besar pun meletus di bumi Indonesia untuk merebut kemerdekaan. Bandung lautan api, pertempuran Lima Hari di kota Semarang, pertempuran Ambarawa, pertempuran Mojokerto, pertempuran 10 november di Surabaya dll.
Jejak sejarah peperangan besar Indonesia ini tidak sepi dari keterlibatan para ulama’ dan golongan santri. Mereka ikut andil dan berpartisipasi besar dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Serentetan peperangan menarik hati nurani mereka untuk mempertahankan tanah air dan kemerdekaan dengan berslogankan Hubbul Wathan Minal Iman.
Pada waktu itu terbentuk tentara Hizbullah dan tentara Sabilillah yang dikomandoi langsung oleh KH. Hasyim Asy’ari, pelatihan-pelatihan militer para pejuang yang dilakukan di pesantren-pesantren yang berada di pelosok-pelosok desa dan juga adanya Jaringan tarekat dan santri kelana yang menjadi penyampai informasi dan propaganda dari satu tempat ke tempat lain. Ada juga kisah mengenai pergerakan massa dari pesantren di kawasan Mataraman ke Surabaya, bahkan dari pesantren nun jauh di Cirebon. Ada juga kisah-kisah mengenai aktivitas para santri yang menyiapkan makanan di barak-barak para pejuang.
Bahkan santri-santri pada waktu itu juga mampu menunjukkan prestasi mereka ketika di medan laga, diketahui bahwa Cak Asy’ari yang menyobek warna biru dalam bendera merah putih biru di depan hotel Yamato sebelum terjadi pertempuran besar-besaran di Surabaya adalah seorang kader Ansor NU yang notabene adalah seorang santri dan yang telah meenyebabkan tewasnya jenderal A.W.S Mallaby ketika pertempuran 10 November di kota Surabaya adalah kang Harun salah seorang santri dan murid KH. Hasyim Asy’ari di tebu ireng.
Oleh karena itu, perjuangan santri tidak boleh berhenti ketika waktu merdeka telah berdetik tetapi jika di hari ini santri-santri juga harus ikut andil berjuang membangun negara, memakmurkan negara, menegakkan keadilan dan kesejahteraan dan pastinya juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, tidak lupa akan sejarah bangsanya sendiri karena santri itu adalah pemuda karena yang muda yang bersejarah.
Sumber :
www.nu.or.id, Resolusi Jihad: Urat Nadi Perang Mempertahankan NKRI,Oleh Zainul Milal Bizawie
www.nu.or.id,Kepahlawanan Kaum Santri, Oleh A. Khoirul Anam