Setelah mengetahui substansi fikih dalam Islam, sebagai ilmu atau kumpulan tata norma yang mempunyai relasi mengikat terhadap aktivitas manusia, yang mana terefleksikan pada hukum wajib, harom, sunnah, makruh atau mubah (Al-Ahkam Al-Khomsah), dan mana legislasi dalam fikih tidak lain untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia sendiri; sayogyanya marilah diteliti bagaimana fikih diimplementasikan dan diaplikasikan pada tataran praktek. Apakah hukum-hukum yang telah dihasilkan atau yang sedang digodok oleh fikih dan perangkat-perangkatnya terlepas dari realita manusia yang terkena taklif (beban) yuridis atau realita yang harus mengikuti otoritas hukum? Apakah nanti hukum yang diterapkan menimbulkan ekses negatif atau memberikan efek lanjutan yang dapat membahayakan, di samping perlu adanya pemecahan baru (last solution)?

Membahas pertanyaan-pertanyaan di atas, perlu adanya spesifikasi pembahasan, melihat berbagai factor yang melingkupi dan mempengaruhinya. Dalam permasalahan realita saja. Dalam permasalahan ini perlu adanya differensiasi antara hukum yang sesuai dengan realita, dan realita yang harus dirubah mengikuti hukum, memandang adanya maslahah-karena memang realita yang ada tidak sesuai dan dianggap dapat menimbulkan efek negative atau mafsadah dalam prespektif syari’at.

Sebagai contoh praktek bisnis prostitusi, yang menjadi problem secara social-etic dan ekonomi bagi seluruh kalangan karena berbagai alasan, yaitu tuntutan hidup dan susahnya mencari pekerjaan atau karena para pelaku terjebak dalam "system". Apakah dapat dipandang sah ketika ditanggulangi dengan ‘dilokalisasikan’ saja tanpa adanya pembenahan? Bukankah hal ini malah melegalkan praktek perzinahan dan perbudakan terhadap wanita yang dijadikan komoditi? Realita seperti inilah yang dimaksud dengan realita yang harus dirubah dan perlu adanya pembenahan secara social dan psikologis, bahkan pembenahan system ekonomi liberal-kapitalistic yang telah mempengaruhi pola kecenderungan ekonomi masyarakat, terutama kaum-kaum capital untuk menancapkan hegemoninya, sehingga berimbas pada penghalalan berbagai cara demi ambisinya; termasuk praktek prostitusi dalam berbagai "segi".

Contoh lain yaitu praktek gadai tanah yang dapat dikatakan biasa di berbagai daerah, yang mana si empunya ketika ingin mendapatkan uang pinjaman harus menggadaikan selama waktu yang ditentukan oleh si penerima gadai, lalu si penerima gadai boleh mengambil manfaat dari tanah gadaian tersebut dengan menanaminya. Realita masyarakat seperti ini, apakah harus dibiarkan saja? Kebiasaan seperti ini tentunya merugikan bagi si empunya tanah tentunya.[1]

Jadi pendek kata, tidak semua hukum harus mengikuti dan sesuai dengan realita ketika realita yang ada menimbulkan efek negatif terhadap masyarakat yang mana secara otomatis tidak sesuai dengan semangat Islam yang terefleksikan dalam fikihnya. Banyak firman Alloh dan hadist Nabi yang melarang menimbulkan kerusakan dan kerugian; baik secara moral dan material.

???„?§ ?????£?’?ƒ???„???ˆ?§ ?£???…?’?ˆ???§?„???ƒ???…?’ ?¨?????’?†???ƒ???…?’ ?¨???§?„?’?¨???§?·???„??

" Janganlah kamu sekalian mengkonsumsi(membelanjakan) hartamu dengan cara yang bathil".

Dalam tafsir Khozin dijelaskan dalam kaitannya dengan ayat ini, bentuk-bentuk menggunakan harta yang bathil, salah satunya adalah mengkonsumsi (menggunakan) harta orang lain dengan cara ceroboh, pemaksaan dan ghosob.[2] Disamping firman Alloh juga ada hadist Nabi yang menerangkan tidak diperbolehkannya berbuat dhoror, baik pada diri sendiri atau orang lain. Seperti hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah, ?„?§ ?¶?±?± ?ˆ?„?§ ?¶?±?§?± .[3]

Realita Akomodatif dan Realita Konfrontatif

Perbuatan manusia, baik pada level individual atau level kolektif, merupakan produk variasi yang luas dan kompleks dari factor-faktor dan kekuatan-kekuatan psikologis, ekonomis, politis dan social.[4] jadi secara tidak langsung norma atau tata nilai dalam suatu komunitas-yang terbentuk dari pola tindakan individu, atau terbentuk dari konflik dan benturan tindakan-juga varian berdasar pada factor-faktor dan kekuatan yang meliputi pola tindakannya. Hakekatnya hubungan manusia bersifat dinamis, dalam artian bahwa tindakan seseorang atau suatu kelompok orang adalah bagian dari reaksi seseorang atau kelompok yang lain.

Dari uangkapan di atas, tindakan dan sikap manusia berelasi langsung dalam pengaruhnya dengan realita sebagai kekuatan atau factor yang mempengaruhi, termasuk hokum. Ahmad Na’iem, mengatakan bahwasanya hokum, khususnya hokum agama, adalah komponen yang penting dari proses-proses yang mendorong dan mengarahkan tindakan manusia, "meskipun tidak dijelaskan (secara tegas)" bahwa tingkah laku umat Islam seringkali secara eksklusif ditentukan oleh ajaran syari’ah. Tidak lain juga, masyarakat di belahan dunia lain yang juga tindakannya ditentukan oleh hokum yang mengikat mereka, baik hokum adat atau hokum Negara.

BACA JUGA :  Langkah Jitu Rasulullah SAW

Kembali pada realita dalam pembahasan pada sub bab ini, ketika dikaitkan dengan perbuatan atau tindakan manusia, adalah sebuah fenomena masyarakat yang merupakan refleksi tindakan atau sikap masyarakat secara individual atau kolektif di pengaruhi oleh berbagai factor atau kekuatan psikologis, ekonomis, social atau politis. Nah, dari sinilah kita melihat realita masyarakat (baca: tindakan dan sikap) yang menjadi obyek dari oprasional suatu hukum ketika berbicara dalam kerangka hukum dalam fikih Islam.

Fikih Islam, dalam kerangka dan pemebentukan terhadap sebuah hokum selalu memandang realita masyarakat hukumnya, dan juga memandang atas efek yang ditimbulkan oleh hokum yang dilegislasikan nantinya. dari sisi inilah implementasi fikih Islam direalisasikan dalam tataran praktisnya dengan tujuan yang telah diterangkan pada sub bab sebelumnya.

Namun yang perlu menjadi catatan, tidak semua realita dalam sebauh komunitas masyarakat dapat diakomodir sebagai penentu arahnya hokum yang akan dilegislasikan. Singkatnya, realita dalam prespektif syar’iah ada dua macam yang saling bertolak belakang dalam kaitannya dengan penerapan hokum, yaitu realita akomodatif dan realita konfrontatif. Dalam memandang spesifikasi tersebut tentunya menggunakan kaca mata syar’I, karena sebuah pandangan diperhitungkan sebagai penentu adalah pandangan dengan bangunan yang kuat dan tidak relative atau tentative (Pendapat Mu’tazilah ketika mempertimbangkan baik dan buruknya sebuah perkara atau penghukuman menggunakan akal, tidak selamanya benar dalam tataran mewujudakan sebuah kemaslahatan. Dengan kata lain baik dan buruk tidak selamanya (selalu) dapat dirasionalkan. Lihat Abi Yahya Zakariya Al-Anshory. Ghoyatul Wusul Syarh Al-Ushul.Al-Haromain. Surabaya. h,7).

Syaikh Muhammad Thohir ibn ‘Asyur dalam ‘Maqosid Al-Syari’ah-nya, mengatakan ada dua posisi dalam tasyri’ (legisalsi) dalam konsep syar’i:

Merekontruksi kondisi-kondisi yang fasid (rusak) dan mengintruksikan(agar menjauhi) bentuk kerusakannya. Posisi ini diindikasikan oleh firman Alloh SWT QS. Al-Baqoroh :257

?„?„?‘???‡?? ?ˆ???„?????‘?? ?§?„?‘???°?????†?? ?¢???…???†???ˆ?§ ?????®?’?±???¬???‡???…?’ ?…???†?? ?§?„?¸?‘???„???…???§???? ?¥???„???‰ ?§?„?†?‘???ˆ?± (?§?„?¨?‚?±?©: 257)

Alloh lah yang menolong orang-orang yang beriman yang mana Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya (kebenaranIslam).

Dalam konteks ayat ini, para ulama ahli kalam (teolog) mengatakan, " Alloh menolong orang dengan I’tiqod (keyakinan) yang benar yang didasarkan pada dalil-dalil, sehingga berlaku dengan amal-amal sholeh yang singkron dan inheren dengan apa yang ada dalam syari’at (Lihat Tafsir Khozin. Vol.3. Hal, 409. Maktabah Syamila.).

?????‡?’?¯???? ?¨???‡?? ?§?„?„?‘???‡?? ?…???†?? ?§???‘???¨???¹?? ?±???¶?’?ˆ???§?†???‡?? ?³???¨???„?? ?§?„?³?‘???„???§?…?? ?ˆ???????®?’?±???¬???‡???…?’ ?…???†?? ?§?„?¸?‘???„???…???§???? ?¥???„???‰ ?§?„?†?‘???ˆ?±?? ?¨???¥???°?’?†???‡?? ?ˆ???????‡?’?¯?????‡???…?’ ?¥???„???‰ ?µ???±???§?·?? ?…???³?’?????‚?????…?? (?§?„?…?§?¦?¯?©: 16)

Dengan Kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.(QS. Al-Maidah: 16)

Menetapkan tindakan-tindakan atau laku yang baik, yang mana sudah diikuti oleh manusia, yaitu tindakan-tindakan atau laku yang disebut dengan istilah "Al-Ma’ruf" pada firman Alloh : ???§???…?±?‡?… ?¨?§?„?…?¹?±?ˆ??

Tindakan ini yang diistilahkan sebagai realita yang bisa diakomodasi oleh fikih sebagai landasan penetapan hukum.

Jadi dapat disimpulkan, bahwa implementasi fikih tidak selamanya mengikuti perubahan realita. Karena memandang tidak semua realita dapat diakomodasi dalam fikih, dan kalau memang fikih terlalu toleran dengan perubahan, maka fikih tak ubahnya seperti hokum positif yang tidak berpendirian. Sekian.

[1]. Lihat Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim.Syarh Bulugh Al-Marom LiSyaikh ‘Athiyyah Muhamad Salim.Vol.3 Hal:317.Di samping menyinggung permaslahan gadai tanah yang mana murtahin mensyaratkan adanya penarikan manfaat baginya dari tanah yang digadai, beliau juga menjelaskan bentuk-bentuk qord jarro naf’an(menghutangi dengan syarat menarik kemanfaatan sepihak bagi yang menghutangi) yang lain selain kasus di atas

[2]. Tafsir Khozin. Vol.1,Hal: 163

[3].Ibnu Hajar Al-‘Asqolany.Bulugh Al-Marom.Hal:354. Dar El-Fikr.Lebanon.

[4]. Abdulloh Ahmmad Na’iem. Dekontruksi Syari’ah.LKIS. Yogyakarta 2001.Hal:288.

Artikulli paraprakHIKMAH 10 : IKHLAS BERAMAL
Artikulli tjetërTiga Kelompok dalam Islam: Liberal, Moderat dan Radikal

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini