لاَتتـْرُكِ الذِكْرَ لِعَدَمِ حُضوُرِكَ مَعَ اللهِ فيهِ لاَنَّ غفلَتَكَ عن وُجُودِ ذِكرِهِ أَشَدُّ من غَفلَتِكَ فى وُجوُدِ ذِكرِهِ فعَساَهُ أَنْ يَرْفَعَكَ من ذِكرٍ مع وجودِغَفلَةٍ إلى ذِكرٍ معَ وُجودِ يَقظةٍ ، ومن ذكرٍ معَ وُجودِ يَقظةٍ إلى ذِكرٍ معَ وُجودِ حُضوُرٍ، ومن ذكرٍ معَ وُجودِ حُضوُرٍ إلى ذِكرٍ معَ وُجودِ غـَيْبَةٍ عمَّا سِوىَ المَذكـُورِ وَماَ ذٰلكَ على اللهِ بِعَزِيزِ
“Jangan meninggalkan dzikir, karena engkau belum bisa selalu ingat kepada Allah di waktu berdzikir, sebab kelalaianmu terhadap Allah ketika tidak berdzikir itu lebih berbahaya dari pada kelalaianmu terhadap Allah ketika kamu berdzikir. Semoga Allah menaikkan derajatmu dari dzikir dengan kelalaian, kepada dzikir yang disertai ingat terhadap Allah, kemudian naik pula dari dzikir dengan kesadaran ingat, kepada dzikir yang disertai rasa hadir, dan dari dzikir yang disertai rasa hadir kepada dzikir hingga lupa terhadap segala sesuatu selain Allah. Dan yang demikian itu bagi Allah tidak berat [tidak sulit].”
Dzikir adalah suatu amalan dan pegangan yang sangat penting bagi seorang hamba seperti salah satu hadits yang telah diriwayatkan dalam kitab sunan attirmidzi:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَأَخْبِرْنِي بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ قَالَ لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ (رواه الترمذي )
Diriwayatkan dari Abdullah bin Bisr; “Seorang lelaki berkata, “Ya Rasul, begitu banyak syari’at dalam Islam ini, ajari aku suatu amalan untuk aku jadikan pegangan!.” Nabi menjawab, Teruslah tidak berhenti membasahi bibirmu dengan dzikir kepada Allah.”(HR. Tirmidzi)
Seorang hamba tidak boleh meninggalkan Dzikir, disebabkan karena hatinya belum bisa ingat/menghadap kepada Allah. akan tetapi ia harus tetap selalu berdzikir walaupun hatinya masih belum bisa khudhur. Karena orang yang meninggalkan dzikir itu jauh dengan Allah hati dan lisannya. berbeda dengan orang yang mau berdzikir, meskipun hatinya masih jauh dengan Allah karena belum bisa mengingat Allah waktu berdzikir, tapi lisannya dekat dengan Allah. Karena tidaklah sulit bagi Allah untuk mengubah suasana hati hamba-Nya yang berdzikir dari suasana yang kurang baik kepada yang lebih baik hingga mencapai yang terbaik. Menaikkan satu tingkat [derajat] kelain tingkat [derajat], dzikir adalah satu-satunya jalan yang terdekat menuju kepada Allah, bahkan sangat mudah dan ringan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنِ اقْتَرَبَ إِلَىَّ شِبْرًا اقْتَرَبْتُ مِنْهُ ذِرَاعًا وَإِنِ اقْتَرَبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا اقْتَرَبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً ”
Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Nabi bersabda, Allah berfirman, “Aku selalu mengikuti sangkaan hamba-Ku kepada-Ku dan Aku selalu bersamanya ketika ia berdzikir kepada-Ku. Jika ia berdzikir [mengingat] dalam dirinya. Aku pun berdzikir padanya dalam dzat-Ku dan jika ia berdzikir pada-Ku di keramaian, maka Aku pun berdzikir padanya dalam keramaian yang lebih baik dari pada kelompoknya, dan jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta, dan jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepadanya berjalan cepat.”
Dzikir seorang hamba sendiri mempunyai empat derajat yang berbeda yaitu :
1: Berdzikir dalam keadaan hati tidak ingat kepada Allah. ( Dzikir Lisan )
2: Berdzikir dalam keadaan hati yang ingat kepada Allah. ( Dzikir Qolbu )
3: Berdzikir dengan disertai rasa kehadiran Allah di dalam hati. ( Dzikir Khudur )
4: Berdzikir dalam keadaan fana’ dari makhluk, lenyap segala sesuatu selain Allah dari hati.
Memang yang paling rendah dari derajat dzikir adalah ketika lisan menyebuntukan, namun disertai hati lalai. Bagaimanapun jangan sampai dzikir sebatas lisan dan tidak menyentuh relung kalbu menjadi alasan meninggalkan dzikir sama sekali.
Seperti disebutkan dalam hikmah ini. Keadaan akan bertahap, memiliki fase urutan dan tidak bisa dilakukan secara instan. Di banyak kesempatan al-Quran mengartikan kata dzikir dengan ‘mengingat’ (aktifitas batin) sebgai lawan kata lalai. Seperti QS. Al-A’raf:205
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ (205) ( الأعراف:205 )
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”
Adapun runtutan fase atau derajat dzikir adalah sebagai berikut:
Dzikir Lisan tapi hati lalai. Sibuknya lisan dengan dzikir tentu bernilai pahala, hanya jangkauannya terbatas pada satu organ tubuh; lisan, tidak merambat pada organ tubuh lain. Namun, perlahan dzikir lisan secara kontinu akan mempengaruhi seluruh organ tubuh, hingga pada akhirnya merambah dimensi kalbu. Tidakkah kata-kata buruk yang meluncur dari mulut seseorang seperti mengumpat, gosip dll. Juga berdampak pada keras dan lalainya hati?
Maka sama halnya dengan mulut yang senantiasa dzikir/ tilawah akan membawa daya positif berupa ketaatan serta cahaya yang menyinari dinding hati. Hati yang lalai, namun lisan terus bergerak dalam dzikir, haliyahnya seolah berkata: “Meski hati ini sibuk, sehingga lupa dari-Mu, setidaknya telah aku sibukkan bibir ini dengan menyebut dan mengagungkan asma-Mu, dan aku tidak gunakan untuk berkata hal yang tak Kau ridhai.”
Dzikir qalbu adalah tergugahnya hati pada kandungan makna yang terucap dalam dzikir lisan serta perenungan dan perasaan yang tidak melayang-layang. Keadaan ini adalah tahap awal bagi kesiapan hati untuk hadir di haribaan-Nya dan sebagai langkah awal menjauhi kesibukan yang merintangi.
Adapun perbedaan antara dzikir dengan hati sadar dengan dzikir hadir di hadirat-Nya adalah dzikir dengan sadar adalah mengingat kandungan lafad yang diucapkan namun sama sekali tidak menyentuh perasaan dan keyakinan hadirnya hati dalam dzikir yaitu perasaan orang yang berdzikir ditarik oleh kekuatan cinta,takut dan ta’zim kpada Dzat yang disebutnya.
Mungkin dalam hati Anda bergumam, “Dzikir dengan hati dan pikiran sadar mah gampang, yang sulit itu untuk bisa hadir di haribaan-Nya!.” Maka terapi yang bisa dilakukan adalah kontinu dalam kesadaran berdzikir, maka lambat laun akan membantu untuk bisa hadir di hadirat-Nya.
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ (152) [البقرة: 152]
“Berdzikirlah [ingatlah] kamu kepada-ku, niscaya Aku berdzikir [ingat] kepadamu.” [QS. Al-Baqorah 152].
Semisal, seseorang istiqomah tilawah sambil menghayati makna, secara terus menerus akan mendatangkan ta’zim dan cinta kepada Allah. Kalau boleh jujur, jika seseorang sudah sampai pada tahap dzikir dengan kesadaran hati, sebenarnya tak perlu lagi dzikir lisan. Kok bisa? Iya. Bahkan ia wajib menjaga kondisi hati agar tidak sedetik pun melupa. Terkecuali jika dzikir itu ma’tsur (datang) dari Nabi harus sinkron antara hati dan lisan.Yakni dzikir-dzikir yang dianjurkan oleh Nabi seperti istighfar di waktu sahur, salawat pada baginda Nabi dsb.
Fase yang lebih tinggi lagi adalah ketika seserang diberi anugerah untuk bisa dzikir dengan hadir di haribaan-Nya. Senantiasa ingat Allah dan Allah. Jika fase ini dapat dilakukan dengan istikamah sampai menjadi bagian dari rutinitasnya, maka selain Allah adalah sirna dan yang kekal hanya Allah semata, yaitu dzikir yang membuat lupa dari lingkungan yang mengitarinya atau Berdzikir dalam keadaan fana’ dari makhluk, sehingga setiap interaksi yang terlintas dalam hati selalu mengarah pada Allah., orientasi pikiran yang selalu menuju dan berakhir pada Allah yang Maha Esa.