Banyak orang beranggapan bahwa semakin keras mereka mengejar rezeki, semakin besar peluang untuk mendapatkannya. Padahal, dalam Islam ada hikmah indah bahwa rezeki tak perlu dicari secara membabi buta, karena ia sudah ditetapkan dan akan mendatangi pemiliknya pada waktu yang tepat. Kisah para ulama seperti Ibn Udhainah menjadi bukti bahwa tawakal yang benar bukan berarti pasif, tetapi memadukan ikhtiar dengan keyakinan penuh bahwa Allah tidak pernah keliru mengirimkan rezeki.
Sebagian Ulama berkata:
رزقك أعلم بمكانك منك بمكانه
“Rezekimu lebih mengetahui tempatmu daripada engkau mengetahui tempatnya.”
Maksudnya, rezeki itu mengetahui alamatmu, sedangkan engkau tidak mengetahui alamatnya. Buktinya, engkau mungkin mencari rezeki di suatu tempat namun tidak mendapatkan sedikit pun darinya. Banyak usaha yang tampak menjanjikan ternyata gagal, dan sebaliknya, rezeki kadang datang dari arah yang tak terduga.
Misalnya, engkau mungkin melihat tanaman di ladang tumbuh subur, berharap hasil panen yang melimpah, dan membangun harapan besar padanya, lalu tiba-tiba badai atau hama datang menyerangnya, sehingga engkau tidak memperoleh darinya walau sekadar untuk sekeping pengganjal lapar.
Maknanya jelas: usaha adalah kewajiban, tapi hasil adalah hak prerogatif Allah. Rezeki seperti utusan yang diatur Sang Raja; ia akan menemukan alamatmu, walau engkau tidak tahu alamatnya.
Kisah Ibn Udhainah: Harga Diri dan Tawakal
Kita dapat mengambil pelajaran dan teladan dari kisah Ibn Udhainah, ketika ia mengalami kesulitan hidup di Madinah. Orang-orang berkata kepadanya: “Engkau memiliki hubungan persahabatan dengan Hisyam bin ‘Abd al-Malik, khalifah Bani Umayyah; pergilah kepadanya, niscaya engkau akan memperoleh kebaikan dari kekhalifahannya.” Maka, benar saja, Ibn Udhainah pun melakukan perjalanan menuju sahabatnya itu, menempuh perjalanan panjang dengan memacu unta hingga sampai di Syam. Ia meminta izin untuk masuk, lalu diizinkan, dan sahabatnya itu menyambutnya.
Khalifah bertanya kepadanya tentang keadaannya, maka ia menjawab: “Aku sedang dalam kesempitan dan kesulitan.” Saat itu di majelis khalifah hadir para ulama. Di hadapan para ulama, khalifah berkata kepadanya: “Wahai ‘Urwah, bukankah engkau yang mengatakan…” lalu membacakan bait syair Ibn Udhainah:
لقد علمت وما الإِسْرَافُ مِنْ خُلُقِي : أَنَّ الذي هُوَ رِزْقِي سَوْفَ يَأْتِينِي ؟
“Sungguh aku tahu — dan sifat boros bukanlah tabiatku;
Sesungguhnya apa yang memang menjadi rezekiku pasti akan datang kepadaku.”
Di sini ‘Urwah (Ibn Udhainah) merasa bahwa khalifah telah melukai perasaannya dan mengecewakan harapannya. Maka ia berkata: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, wahai Amirul Mukminin. Engkau telah mengingatkanku yang sebelumnya lupa, dan menegurku yang sebelumnya lalai.” Lalu ia pun pergi.
Setelah Ibn Udhainah keluar dari majelis khalifah, Hisyam bin ‘Abd al-Malik merenungi peristiwa itu. Ia menyesali sikapnya terhadap sahabat yang datang demi kebaikannya, namun justru ia balas dengan cara seperti itu. Maka ia ingin memperbaiki kesalahannya. Ia mengutus seorang kurir untuk menyusul Ibn Udhainah dengan membawa hadiah yang sangat banyak. Akan tetapi, setiap kali utusan itu mendatangi tempat di mana Ibn Udhainah berada, ia sudah meninggalkannya menuju tempat lain. Hingga akhirnya utusan itu sampai ke rumahnya, mengetuk pintu, dan menyampaikan: “Amirul Mukminin menyesal atas apa yang terjadi, dan inilah pemberian serta hadiah-hadiah beliau.”
Kemudian Ibn Udhainah menyempurnakan bait syairnya yang pertama, seraya berkata:
أَسْعَى لَهُ فَيُعَنِّيني تطلبه : وَلَوْ قَعَدْتُ أَتَانِي لَا يُعَنِّينِي
“Aku mencarinya (rezeki), maka itu justru membuatku lelah mengejarnya;
Namun jika aku duduk diam, ia akan datang kepadaku tanpa membuatku letih.”
Kisah ini memantapkan pelajaran: usaha tetap wajib, namun keyakinan bahwa rezeki akan sampai tanpa harus memaksakan diri adalah bentuk tawakal yang benar. Seorang hamba harus bergerak dengan ikhtiar, tetapi hatinya tidak bergantung pada gerak itu; hatinya bergantung pada Allah, Pemilik dan Pengatur rezeki.
Maka, orang yang memahami bahwa rezeki mencari pemiliknya tidak akan tergelincir ke dalam al-khusrān al-mubīn (kerugian yang nyata). Ia akan bersyukur saat lapang, bersabar saat sempit, dan yakin bahwa Allah tidak pernah keliru mengirim rezeki ataupun ujian kepada hamba-Nya.
[Sumber] Syekh Mutawalli asy-Sya’rowi, “Qashosu ash-shohabah wa ash-Sholihin”, hal. 329-331


