?§?„?²?‡?§?¯ ?§?°?§ ?…?¯?­?ˆ?§ ?§?†?‚?¨?¶?ˆ?§ ?„?´?‡?ˆ?¯?‡?… ?§?„?«?†?§?? ?…?† ?§?„?®?„?‚ ?ˆ?§?„?¹?§?±???ˆ?† ?§?°?§ ?…?¯?­?ˆ?§ ?§?†?¨?³?·?ˆ?§ ?„?´?‡?ˆ?¯?‡?… ?°?„?ƒ ?…?† ?§?„?…?„?ƒ ?§?„?­?‚.
"Az-zuhhad (Orang-orang yang zuhud) ketika dipuji mereka merasa gelisah dan susah karena masih memandang adanya pujian dari makhluq dan al ‘arifun (orang-orang yang ‘arif) ketika dipuji mereka merasa senang atau gembira karena mereka memandang adanya pujian tersebut dari Dzat yang Maha Merajai dan Maha Benar".
Orang yang ‘arif adalah orang yang nilai tauhid, tawakal dan pasrahnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala telah sampai kepada derajat yang mana ia sudah tidak mempunyai irodah atau kehendak, namun hanya memandang atas apa yang di kehendaki oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan memandang tidak adanya (rusaknya) asbab (sebab-sebab) serta hanya menyaksikan Allah. Sedangkan pengertian orang yang zahid adalah orang yang menjauhkan dirinya dari duniawi.
Dari pengertian ini, ada perbedaan antara seorang yang ‘arif dan yang zahid secara umum dan khusus, karena setiap orang yang ‘arif itu pasti zahid dan tidaklah setiap orang yang zahid itu ‘arif. Jadi, zahid itu masih umum yang mana meliputi orang ‘arif dan lainnya. Orang yang arif tidaklah ada kecuali ia orang yang zahid juga.
Az-zuhhad (orang-orang yang zuhud) yang dimaksud dalam hikmah diatas adalah orang yang belum sampai kederajatnya orang yang sudah ‘arif. Maka, ketika mereka sedang di puji oleh manusia merasa gelisah dan susah dengan pujian tersebut. Karena mereka masih memandang ada atau munculnya pujian dari makhluq atau manusia. Sebenarnya, orang yang memujinya hanya memandang dhohirnya dan tidak tahu akan hakikat ihwal (keadaan) nya, sehingga mereka (az-zuhhad) merasa gelisah atas pujian tersebut.
Adapun orang yang ‘arif ketika di puji oleh manusia ia memandang bahwa pujian itu datangnya dari Allah subhanahu wa ta’ala, karena mereka melihat bahwa asbab (sebab-sebab) sudah sirna dan hanya menyaksikan Allah, sehingga mereka tidak merasa susah. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan, bukankah ridho atas pujian manusia berpotensi pada kesombongan dan ‘ujub ? sebagai jawabannya, sesungguhnya rasa ‘ujub dan sombong yang timbul dari pujian manusia itu dikarenakan orang yang dipuji tersebut tidak menyaksikan Allah, ia masih memandang dan memperhatikan dirinya sendiri dan beranggapan bahwa anugrah yang di dapatkan merupakan hasil dari amal sholehnya, berbeda dengan orang yang ‘arif, ia sudah tidak lagi menyaksikan dirinya sendiri bahkan lupa akan dirinya dan selain Allah, ia hanya menyaksikan-Nya dan melihat dan ridha atas kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Sesungguhnya rasa senangnya sang ‘arif atas pujian yang ditujukan kepadanya merupakan rasa senang terhadap sesuatu yang menunjukan atas ridhonya Allah subhanahu wa ta’ala, dengan tanpa memandang dirinya sendiri dan hal ihwalnya.
Selain itu, orang yang ‘arif ketika di puji ia merasa malu karena tidak pantas mendapatkan pujian tersebut dan ia yakin bahwa dirinya masih belum bisa mengaplikasikan substansi ‘ubudiyah dan hak-haknya Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagai contoh yang bisa diteladani adalah sahabat sepuluh yang di gembirakan dengan surga.
?¹?† ?¹?¨?¯?§?„?±?­?…?† ?¨?† ?¹?ˆ?? ?±?¶?? ?§?„?„?‡ ?¹?†?‡ ?¹?† ?§?„?†?¨?? ?µ?„?‰ ?§?„?„?‡ ?¹?„???‡ ?ˆ?³?„?… ?£?†?‡ ?‚?§?„ ( ?£?¨?ˆ?¨?ƒ?± ???? ?§?„?¬?†?© , ?ˆ?¹?…?± ???? ?§?„?¬?†?© , ?ˆ?¹?«?…?§?† ???? ?§?„?¬?†?© , ?ˆ?¹?„?? ???? ?§?„?¬?†?© , ?ˆ?·?„?­?© ???? ?§?„?¬?†?© , ?ˆ?§?„?²?¨???± ???? ?§?„?¬?†?© , ?ˆ?¹?¨?¯?§?„?±?­?…?† ?¨?† ?¹?ˆ?? ???? ?§?„?¬?†?© , ?ˆ?³?¹?¯ ???? ?§?„?¬?†?© , ?ˆ?³?¹???¯ ???? ?§?„?¬?†?© , ?ˆ?£?¨?ˆ?¹?¨???¯?© ?¨?† ?§?„?¬?±?§?­ ???? ?§?„?¬?†?©.
Alangkah bahagianya atas khabar tersebut yang disampaikan oleh orang yang selalu benar perkataannya yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam. Akan tetapi perasaan senang tersebut tidak menjadikan penghalang bagi mereka atas rasa kekurangan dan kelalaiannya yang masih besar di dalam menjalankan hak-haknya Allah subhanahu wa ta’ala. Dan sesungguhnya pandangan mereka hanya kepada anugrah dan ihsannya Allah, serta yang meliputi hati mereka dibalik rasa senangnya adalah maghfiroh dan kemurahan yang diberikan kepada mereka, yang di sertai rasa malu kepada Allah atas keburukan-keburukan yang di lakukannya.
Adapun hikmah ?§?¬?‡?„ ?§?„?†?§?³ ?…?† ???±?ƒ ???‚???† ?…?§ ?¹?†?¯?‡ ?„?¸?† ?…?§ ?¹?†?¯ ?§?„?†?§?³ ini tertuju kepada orang zahid yang masih memandang adanya pujian yang timbul dari makhluq, yang mana mereka masih bertedensi / yaqin terhadap apa yang diketahui mereka dan menghindari perasaan-perasaan orang yang memujinya. Adapun orang ‘arif yang hanya memandang pada kehendak dari kekusaan Allah, ketika dipuji ia merasa senang karena itu merupakan dalil atas ridhonya Allah subhanahu wa ta’ala. Ini berdasarkan sabdanyanya Rasulullah shallallahua ‘laihi wa salam.
?ˆ?‚?§?„ ?±?³?ˆ?„ ?§?„?„?‡ ?µ?„?‰ ?§?„?„?‡ ?¹?„???‡ ?ˆ?³?„?…: ?¥?† ?§?„?„?‡ ???¹?§?„?‰ ?¥?°?§ ?£?­?¨ ?¹?¨?¯?§ ?¯?¹?§ ?¬?¨?±???„ ???‚?§?„: ?¥?†?? ?£?­?¨ ???„?§?†?§ ???£?­?¨?‘?‡?Œ ?????­?¨?‡ ?¬?¨?±???„?Œ ?«?… ???†?§?¯?? ???? ?§?„?³?…?§?? ?????‚?ˆ?„: ?¥?† ?§?„?„?‡ ???­?¨ ???„?§?†?§ ???£?­?¨?‘?ˆ?‡?Œ ?????­?¨?‡ ?£?‡?„ ?§?„?³?…?§???Œ ?«?… ???ˆ?¶?¹ ?„?‡ ?§?„?‚?¨?ˆ?„ ???? ?§?„?£?±?¶
Namun perlu di fahami, bahwa hakikat dari pujian seseorang itu datangnya dari Allah, dan pujian tersebut terkadang menjadi fitnah yang bisa menjadikan orang yang dipuji menjadi sombong. Apabila seseorang masih sering ma’siat kepada-Nya dan menyimpang dari jalan-Nya bahkan masih dihinggapi rasa ‘ujub, maka perluketahui bahwa pujian yang di arahkan kepadanya merupakan fitnah baginya, yang seharusnya ia waspada sehingga bisa selamat dari kerusakan akibat dari fitnah tersebut. Dan apabila seseorang (berkat taufiq-Nya) sudah tidak lagi memandang adanya daya dan kekuatan dirinya dan yaqin bahwa ia selalu dalam genggaman-Nya dan hukum-hukum-Nya, maka bolehlah ia merasa senang atas pujian yang di tujukan kepadanya disertai dengan rasa yakin bahwa pujian itu merupakan bukti atas cintanya Allah kepada hamba-Nya. Maka, perasaan senang tersebut tidaklah membahayakan baginya karena ia hanya memandang fadhol/anugrah dari Allah subhanahu wa ta’ala, dan pada hakikatnya, yang memuji adalah Allah sendiri, semakin ia di puji ia semakin tenggelam dalam perasaan syukur kepada-Nya. Ketika seorang salik sudah sampai pada derajat ini, maka ia termasuk dari orang-orang yang ‘arif dengan tanpa merasa bahwa ia termasuk dari mereka yang ‘arif. Wallahu a’lam

BACA JUGA :  Menjauhi Sifat-sifat Yang Menghalangi Ibadah Dan Taqarrub
Artikulli paraprakHIKMAH 118 IKHLASH
Artikulli tjetërPouzing VS Rokok

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini