Dia belum tahu kalau kesehatan itu tak bisa ditukar dengan emas sebesar gunung. Apalagi kalau hanya ditukar dengan sebatang rokok.

Bus!! Bus!!

Nun jauh di sana, di antara pepohonan yang setia bersama rerumputan. Kawan, pernahkah kalian melihat dia? Yang sedang asyik meniup angin dan kemudian di saat yang bersamaan keluarlah segumpal asap yang mengepul dari mulutnya. Hebat bukan?! Aku yakin kalian bisa menggambarkan hal itu. Sepertinya kata penyair dari pantai selatan, "Tak ubahnya mereka seperti mencemari mendung dan meracuni rumput, bahkan nafas, sementara yang lain melulur cemas," kayaknya ada benarnya juga.

Dia sering mengasah bakatnya. Yaitu melukis di atas awan dengan asap. Ketika dia lagi penat dengan berbagai masalah, biasanya sahabat yang dia pilih untuk berbagi dan berdiskusi agar masalahnya terpecahkan adalah kesunyian dan sebatang rokok. Padahal dia belum cukup umur untuk hal itu. Aku khawatir kalau di hari-hari yang akan dihadapi malah semakin kacau cuma gara-gara tidak ada dana untuk beli asap. Lalu jalan pintasnya adalah kriminalitas. Aku tertegun melihatnya, nampaknya dia malah semakin serius berengkerama dengan sunyi. Hatiku bergumam, "Budi! Budi! Anak masih ingusan kok sudah doyan asap. Udah potongan rambutnya mirip kakak tua, kurus lagi! Mungkin tubuhnya habis gara-gara dimakan tembakau." Inikah generasi Indonesia? Ataukah sampahnya Indonesia? Wallahua’lam. Yang jelas saat ini dia adalah Budi. Budianto tepatnya. Entah kalau besok ada tambahan Prof. Budianto atau Dr. Budianto Mangku Negoro, aku tidak tahu.

Tiba-tiba ada rasa iba di hatiku. Aku mencoba merangkulnya sebagai seorang sahabat. Mungkin dia mau menerimaku. "Bud! Ngapain kamu sendirian di situ? Lagi ngelamun ya? Hayo, ngelamun siapa?" Aku mencoba menelusurinya. "Eh! Engga’ lagi ngapa-ngapain. Cuma pingin ngilangin pusing."

Rupanya benar kata mereka bahwa Indonesia saat ini memang sedang pusing. Budi orang Indonesia, jadi jangan salahkan kalau dia pusing. Pusing jadi orang Indonesia kayaknya. Ah, keterlaluan. Rasanya juga tidak ada pendaftaran orang pusing. Yang ada cuma pusing gara-gara tidak terdaftar jadi orang miskin. Ya, inilah Indonesia.

"Memangnya pusing ada apa? Masih kecil udah belajar pusing. Bagaimana nanti kalau sudah besar?" tanyaku.

"Pusing belum bisa bayar pendaftaran ulang, kang! Padahal ini sudah mendekati akhir tahun," jawabnya sambil terus menghisap rokok Sukunnya.

"Pendaftaran ulang apa?"

"Daftar ulang pesantren dan madrasah, kang!"

Aku bergumam dalam hati, "Aneh, belum bayar kok masih kuat beli rokok."

Kawan, kayaknya bagi dia solusi yang paling tepat untuk mengatasi masalah adalah merenung dan merokok. Bukan cari talangan dana guna beresin semua. Pusingnya dia bukan pusing sembarangan kawan, juga bukan pusing yang bisa diobati dengan Bodrex, juga bukan pusing yang membuat dia istirahat untuk tidur. Tapi pusing tentang sesuatu yang dia anggap beban. Tepatnya begitu.

BACA JUGA :  lidah Yang Menembus Hati

"Tapi mengapa harus merokok, Bud!" aku mencoba memastikan dugaanku.

"Iya kang! Biasanya kalau aku lagi pusing, pelampiasanku adalah rokok. Rasanya otak ini agak sedikit fresh dan plong." Tepat. Dugaanku tidak meleset. Coba kalau dia mau merunduk memandang diri sendiri. Sudah pantaskah dia untuk merokok?! Kayaknya dia belum tahu kalau dunia begitu gencar membincangkan efek negatifnya rokok. Bahkandi surat kabar yang aku baca, ternyata mereka juga asyik memprbincangkan sesuatu yang ada hubungannya dengan tembakau. Bukan hanya perbincangan lagi, tapi sudah sampai pada level serius. Kayaknya tidak enak kalau aku memaparkan tentang madlorotnya rokok. Bahkan sampai… ah, apalagi yang itu. Orang yang pinter agamalah yang lebih tahu tentang hal itu.

"Apa tidak ada jalan lain selain merokok, Bud?" Aku seperti penasaran banget. Ada apa sebenarnya dengan rokok? Kok sampai punya kekuatan untuk menghilangkan pusing segala? Setahuku, menghilangkan pusing itu seperti yang dipromosikan di TV. Tepatnya balsem koyo. Ya, setahuku hanya balsem koyo yang bisa menghilangkan pusing.

"Kalau lagi sendirian, bagi saya cuman rokok yang bisa menghilangkan pusing. Apalagi kalau ada nyamuk, rokoklah yang bisa mengusirnya, kang! Lah wong nggak merokok juga mati, merokok juga mati. Mendingan merokok sampai mati," dengan entengnya dia menjawab, seakan nyawa adalah sesuatu hal yang bisa ditukar dengan apa saja. Na’udzubillah.

Memang kawan, lidah tak bertulang. Tapi kalau makan tulang sih, iya. Kalau dia memang sudah bosan hidup, kok repot-repot pinjam rokok segala. Kolong jembatan masih terbuka lebar bagi siapa saja yang sudah bosan hidup. Tidak dipungut biaya lagi. Plus dapat tiket gratis masuk neraka. Suwer! Di sana bukan asap rokok lagi yang disedot. Tapia sap neraka. Keren kan? Memang kalau dipikir-pikir -aku baru bisa berpikir- aku seperti dituntut kata hatiku untuk segera mengubah kebiasaan buruknya. Tapi dia seperti tidak ada beban sama sekali menurutku.

Tanpa pikir panjang lagi dia pergi ngluyur meninggalkanku begitu tahu kalau aku mau bertanya lagi. Memang jalan yang mudah belum tentu benar. Apalagi kalau kebenaran sekonyong-konyong atau semata-mata dilihat dari mudah atau susahnya jalan itu sendiri. Wallahua’lam.

 

Artikulli paraprakHIKMAH 143 HALIAH SANG ZAHID DAN SANG ‘ARIF KETIKA DIPUJI
Artikulli tjetërHIKMAH KE-57 DUA GOLONGAN YANG DISELAMATKAN DARI ‘UJUB

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini