Alkisah, sekelompok pemimpin Yahudi Bani an-Nadhir Madinah berangkat ke Mekkah dan sekitarnya untuk melakukan lobbi penting menyangkut keinginan mereka menghancurkan umat Muhammad SAW. Tujuan pertama adalah Quraisy, klan utama Arab yang juga menaungi Nabi Muhammad, kemudian Ghathafan, dan selanjutnya Bani Fazarah dan Bani Murrah. Para pemimpin Yahudi itu berjanji, mereka akan ikut serta dalam perang hidup-mati sampai Muhammad dan pengikutnya benar-benar musnah.
Lobbi yang meraka lakukan sukses besar. Tercapai sebuah kesepakatan penting, bahwa akan dilakukan penyerangan besar-besaran ke Madinah. Waktu dan tempat pemberangkatan segera ditetapkan. Maka pada Syawal tahun ke lima Hijriyah, tak kurang dari 10 ribu pasukan bergerak menuju Madinah dengan satu tekad: umat Muhammad harus musnah.
Mendengar itu, Nabi Muhammad melakukan mobilisasi umum untuk menghadapinya. Atas inisiatif Salman al-Farisi, Nabi Muhammad memerintahkan pasukakan Islam menuju lereng gunung Sal’ di luar Madinah dan membuat parit besar untuk menghadang musuh. Beliau sendiri yang memimpin tiga ribu pasukan dalam penggalian parit, meski umur beliau saat itu telah mencapai 58 tahun, umur yang tak lagi muda untuk melakukan pekerjaan berat seperti itu.
Pada suatu siang, di kala Muhammad SAW sedang istirahat sejenak, sejumlah sahabat datang melapor:
“Terdapat tanah yang membatu, yang menghalangi penggalian parit ..!”
“Saya akan segera turun!” kata Nabi merespon kegelisahan mereka.
Sudah tiga hari Nabi Muhammad dan para sahabat tidak cukup makan, sehingga Nabi mengikatkan batu pada perutnya untuk mengurangi rasa lapar. Namun itu tak menyurutkan beliau untuk tampil di depan. Maka beliau mengambil cangkul, lalu bekerja dan bekerja hingga tanah yang membatu itu hancur.
Demikian lah Nabi kita, Muhammad SAW. Beliau bekerja dan bekerja, tidak berpangku tangan dan hanya mengandalkan doa. Banyak di antara kita yang ketika menghadapi masalah besar maka berhenti bekerja, dan hanya membaca dzikir, doa dan mantra. Kita lupa bahwa berkahnya doa terletak pada usaha keras yang kita lakukan.
Argo Lawu, pulang ke Jogja