Seorang Gus dari desa memiliki kesempatan untuk belajar di Arab, di sebuah kota yang cukup sekuler. Selama ini dia hidup di tengah-tengah relijiusitas yang kuat. Dia menjadi muslim yang taat, dan itu dia jalani sebagai sesuatu yang sangat wajar. Ketaatan berlangsung begitu saja, tanpa perjuangan yang pantas untuk diceritakan. Semua yang dia kenal juga kira-kira seperti itu adanya. Memang tidak maha taat, tapi cukup lah untuk disebut ‘alim’.
Tapi kini dia hidup di lingkungan yang berbeda. Negara yang dia diami memang kategori negara Islam, bahkan salah satu kiblat negara Islam. Tapi lingkungan yang menaunginya sekarang berbeda sekali. Dahulu dia sangat jarang—tepatnya sulit untuk—salat subuh telat. Orang-orang dan suasana di sekelilingnya tak banyak memberi kesempatan kepada dia untuk telat subuh. Tapi kini. dia melihat orang-orang justru lelap-lelapnya ketika azan Subuh dikumandangkan. Mula-mula dia merasakan kejanggalan. Tapi minggu-minggu berikutnya dia terbiasa. Dan bulan-bulan selanjutnya bahkan mulai mengikutinya, sebelum kemudian ikut “menikmatinya”.
Hari-hari setelahnya adalah hari-hari ABG telat. Dandannya, gaya hidupnya, dan model pakaiannya adalah style ABG kesiangan. Yang lebih nggirisi, perubahan itu tidak hanya pada luarnya saja, tapi juga pada batinnya: jiwanya benar-benar menikmati itu. Gaya dan jiwa seorang Gus pesantren banyak tereduksi.
Beruntung sekali, meski terseok-seok, studinya akhirnya rampung juga. Saatnya dia harus pulang kampung, kembali ke pesantren. Sungguh di luar dugaan, dia disambut oleh “umatnya” bak seorang pangeran yang berhasil merampungkan uji kamukten. Dia tidak saja dianggap telah menguasai “ilmu kulit”, tapi juga mampu meresap “ilmu biji”. Tangan yang acap dia gunakan untuk memetik senar gitar tiba-tiba saja berubah menjadi seperti tangan suci kekasih Allah yang menjadi sasaran rebutan untuk diciumi.
Gus sudah kembali seperti semula. Tak lagi dia menjemur Subuh di bawah terik matahari, dan juga tak lagi ber-ABG yang tidak pantas. Bahkan sekarang dia punya tugas baru, yaitu menjadi imam salat rawatib dan mengajar kitab-kitab kuning, sehingga beberapa kalangan menyebutnya dengan kyai. Salah satu kitab favoritnya adalah “Hikam Ibn ‘Athaillah as-Sakandari”, karena sebenarnya lebih merupakan petuah-petuah untuk dirinya ketimbang untuk santri-santrinya.
Suatu pagi dia meneruskan pengajian Hikam-nya,
لا تصحب من لا ينهضك حاله ولا يدلك على الله مقاله
“Laa tashhab man laa yunhidhuka haaluh-u wa laa yadulluka ala Allaah-I maqaaluh-u”
“Jangan temani orang yang tindak-tanduknya tidak membangkitkan dirimu dan tutur-katanya tidak mengantarkan dirimu kepada Allah.”
“Banyak yang mengira, kyai adalah yang menjaga santri-santrinya. Demikian ini tidak sepenuhnya benar. Banyak kyai yang justru dijaga oleh santri-santrinya. Kalau dia hidup terpisah dari santri-satrinya boleh jadi dia tidak akan khusyuk dan alim seperti biasanya. Saya termasuk kyai kategori ini. Oleh karena itu saya sangat suka dengan santri-santri dan akan selalu menjadikan mereka sebagai sahib-sahib yang mengingatkan diriku kepada Allah.
Seorang mursyid waskita suatu ketika ditanya oleh seorang muridnya, "Apa rahasianya Tuan Guru begitu dekat dengan Allah SWT?”
Beliau menjawab, "Itu hanya perasaanmu saja. yang hebat adalah mereka-mereka itu. Aku hanya ditunjuk saja untuk memimpin.”
Mungkin Guru Waskita itu merasa, bahwa andai benar dia dekat dengan Allah maka itu tak lain adalah karena murid-murid itu yang menjaganya.”
wallaahu a’lam bishshawaab.
* Dalam kereta api menuju Jogja.