Islam-Jawa yang identik dengan corak tradisi adalah cerminan watak dasar masyarakat familier yang sangat sensitif dengan rasa toleransi dan tenggang rasa tinggi. Karakter seperti inilah yang mengantarkan indonesia menjadi negara yang unik dengan agamanya tersebut. Sedang, secara kuantitas negara indonesia adalah penyumbang terbesar jumlah penduduk muslim se-dunia. Satu nilai tersendiri yang pencapaiannya tidak dimiliki oleh negara lain. Dan yang paling unik adalah proses islamisasi negara kepulauan ini ternyata tidak didapat dengan cara dakwah yang diajarkan secara shorih oleh para salafushshalih. Pengislaman ini juga tidak melalui penaklukan kemudian diletakkan undang-undang resmi dibawah satu rezim kekuasaan. Dai-Dai yang berdakwah ke tanah Nusantara adalah menampilkan karakter yang berbeda, mereka tampak humanis, toleran, damai, lemah-lembut serta penuh pengayoman.

Sebelum Islam, Hindu-Budha adalah agama yang lebih dahulu “krasan” di tanah jawa, di samping aliran-aliran kepercayaan yang percaya bahwasanya alam, roh, binatang, pepohonan dan pepunden itu mempunyai kekuatan. Kenyataan semacam ini berjalan secara turun temurun bahkan telah menyatu dalam budaya masyarakat pribumi. Dan sedikit banyak keyakinan yang sudah mendarah daging ini berpengaruh terhadap karakter orang jawa, yaitu mempunyai pembawaan watak; sentimentil(perasa), sensisitif(peka), punya naluri kebersamaan, senang mendahulukan orang lain dan tidak suka konflik. Makanya ada satu pepatah jawa :”Dedalane guna lan sekti, iku kudu andap ashor lan wani ngalah mongko bakal dhuwur wekasane.”(usaha menuju kesuksesan itu harus ditempuh dengan rendah hati, berani mengalah, dan pada akhirnya akan mendapat kemulyaan). Sehingga dengan karakteristik seperti ini, kebanyakan untuk menilai arti kebenaran, masyarakat jawa itu lebih dominan menggunakan perasaan dan mana yang menjadi kecondongan orang banyak maka itulah yang diikuti.

Dan, era Walisongo adalah “mongso” berakhirnya dominasi Hindu-Budha dan tersisihnya kepercayaan Animisme, Dinamisme dan Sinkretisme di Nusantara. Dalam perjalanan dakwah masing-masing mempunyai peran yang berbeda walaupun satu tujuan, yaitu menanamkan tauhid dan menyebarluaskan ajaran islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "Tabib", Sunan Kalijaga yang melebur diri dalam budaya, hingga Sunan Kudus yang memanfaatkan simbol-simbol ajaran agama Hindu-Budha. Dan Sunan Kalijaga adalah wali yang pengaruh ajarannya masih terasa hingga kini. Dalam berdakwah, beliau memilih kesenian dan tradisi lokal sebagai sarana menarik simpati masyarakat. Satu pendekatan yang mirip dengan apa yang dilakukan oleh Sunan Bonang. Beliau berdakwah dengan memanfaatkan seni ukir, wayang kulit, gamelan, serta ikut andil dalam mengarang suluk. Disamping itu beliaulah yang menciptakan pakaian baju takwa, perayaan sekatenan, Grebeg Maulud, Layang Kalimasada, dan Lakon Wayang Petruk Jadi Raja. Tapi walaupun beliau berkompromi dengan budaya non-islam, bahkan mengakulturasikan ajaran islam kedalam budaya jawa, secara hakikat beliau tetap berkeyakinan bahwa suatu saat ketika Islam sudah dipahami secara mendalam, maka kebiasaan-kebiasaan yang berbau syirik tersebut akan hilang dengan sendirinya. Pernah suatu ketika diadakan musyawarah para wali untuk membahas tentang metode dakwah yang efektif, beliau mengusulkan agar tidak segera menghapus adat istiadat Jawa, seperti selamatan, sesaji, dan sebagainya, akan tetapi mengisinya dengan rasa keislaman. Sunan Ampel bertanya, “Apakah hal ini tidak mengkhawatirkan di kemudian hari, bahwa adat istiadat upacara ini nantinya dianggap sebagai ajaran islam. Kalau demikian, apakah hal ini tidak akan menjadi bid’ah?”. Pertanyaan Sunan Ampel ini dijawab oleh Sunan Kudus: “Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga. Sebab ada sisi kesamaan antara ajaran budha dengan ajaran islam, yaitu orang kaya harus menolong yang fakir miskin. Adapun mengenai kekhawatiran Tuan, saya yakin bahwa dikemudian hari akan ada orang islam yang akan menyempurnakannya”.

Proses adaptasi dilakukan wali songo dengan membiarkan tradisi yang telah mengakar kuat ini tidak serta merta bisa dikatakan sebagai tindakan gegabah dalam beragama, karena ini adalah konteks dakwah. Apalagi faktor kondisilah yang menuntut mereka melakukan hal tersebut, dan kedatangan mereka juga tidak dengan kekhilafahan islam yang mumpuni. Dengan terpaksa mereka mengemas adat istiadat yang sudah melekat untuk diisi dengan ajaran-ajaran islam yang lurus. Tidak melarang bentuk praktek tradisinya, akan tetapi ditunjukkan cara-cara yang lebih baik dan bermanfaat. Ritual yang bernuansa gotong-royong tetap dipertahankan, demi mendapatkan ruang dakwah yang lebih luas. Seperti ritual Nyadran yang ada awalnya merupakan upacara pemujaan arwah pituo desa yang berakar dari kepercayaan Animisme kemudian dipusatkan pada petilasan atau pusara Pepunden. Dengan semangat dakwah, acara tersebut diisi acara kirim doa bersama yang ditujukan kepada arwah tetua, kemudian saling bersilaturrahim, bersedekah kepada fakir miskin, membangun tempat ibadah, memugar cungkup dan pagar-pagar makam sebagai wujud balas budi atas jasa para leluhur. Disamping itu ritual nyadran-islami ini juga dipilihkan waktu yang lebih bernuansa islami, yakni ditempatkan pada bulan “ruwah”, bulan Sya’ban yang dianugerahkan kepada Rasulullah SAW. Strategi dakwah yang mampu membuat masyarakat bersimpati untuk masuk islam.

Dan, setelah islam menyebar begitu luas di Nusantara, dimata kaum muslim jawa para wali songo ini tetap menjadi ikon dalam penyebaran Islam hingga sampai kini. Bahkan islam yang diajarkan oleh wali songo ini seakan telah menyatu dengan nafas tradisi dan budaya masyarakat. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa untuk menghilangkan islam-tradisi dari tanah jawa itu sangatlah sulit. Seperti menghilangkan tradisi peringatan Bayen, acara Mantenan, istilah Ruwatan, Rebo Wekasan, Nyadran, Nisfu Sya’ban, Megengan, Colokan, Kupatan, Haul, Fida’an, Ambengan, Mitoni, Metang Puluhi, Nyatus Dinani, Nyewuni dan tradisi-tradisi jawa yang lain. Malah, kalau seandainya tetap dipaksa untuk dihilangkan maka akan sangat beresiko besar terhadap eksistensi ajaran islam dimasyarakat pribumi. Analisa ini berdasarkan banyaknya kelompok-kelompok islam atau gerakan ideologi masa kini yang bergerak secara sistematis dan membabi buta untuk memperebutkan nilai-nilai budaya, kemudian diisi dengan pemikiran-pemikiran sesat mereka. Seperti; kelompok Wahabi dengan slogan “kembali kepada ajaran tauhid” akan tetapi mereka menyusupkan akidah tajsim yang syirik, kelompok Syiah yang mencoba merebut tradisi maulidiyah Nabi SAW kemudian merubahnya dengan peringatan imam-imam mereka sendiri, atau kelompok rasionalis yang ingin meruntuhkan keyakinan umat islam diganti dengan budaya masyarakat Hedonis yang melalaikan. Islam-Sufistik yang mencakup ajaran akidah, syariat dan akhlak sudah terlanjur berakulturasi dan menjadi corak budaya msyarakat muslim jawa. Kalau warisan walisongo tersebut dihilangkan, maka nilai-nilai ajaran islam yang menjadi ruh dalam islam-budaya tersebut juga akan sirna. Kalau semacam kenthongan dan bedhuk dihilangkan dari masjid, dilingkungan masyarakat yang masih awam tentang ajaran islam maka akan jarang sekali ditemukan shalat jum’ah berjamaah secara serentak. Tradisi yasinan, mitung dinani, metang puluhi, nyatus, mendak, nyewu atau haul kalau ditinggalkan, maka akan sangat langka sekali ada orang mau bersedekah atau kirim-kirim do’a untuk arwah orang tuanya. Masyarakat akan semakin bertambah awam dengan shalat hajat atau shalat tasybih ketika acara Rebo Wekasan dihapus, bahkan bisa jadi tidak lagi percaya dengan istilah musibah atau hari-hari diturunkan bala’. Tidak ada lagi orang berduyun-duyun untuk berziarah Kubur, Khotmil Qur’an, Tahlil dan lain-lain sebagainya, karena tidak dibiasakan dengan hari atau bulan-bulan tertentu yang lazim diletakkan amalan-amalan tersebut. Dan yang paling pokok adalah tidak bersentuhan langsung dengan orang-orang sholeh atau tidak mau lagi mendengarkan mauidhah, nasehat dari para kyai ketika semua tradisi peninggalan para wali tersebut telah punah. Bahkan generasi kyai atau dai-dai yang ikhlas akan menjadi barang langka ketika pengajian kitab kuning, yang menjadi tradisi santri jawa itu dialihkan menjadi metode pendidikan ala modern. Kesimpulan sebab akibat tersebut bukanlah berbau kepentingan atau sekedar omong kosong belaka. Ini semua didasari arus Globalisasi Budaya yang berdampak kecarut marutan terjadi dimana-mana. Perhatian masyarakat jawa sekarang sudah banyak tercurahkan pada tujuan duniawi dan kesenangan syahwati semata. Urusan ibadah mereka hanya mengandalkan shalat, itu pun bagi yang sadar akan beragama. Masyarakat tidak lagi menyisihkan hartanya untuk fakir miskin, karena semuanya habis dijadikan modal usaha atau sekedar membeli pulsa. Dalam bidang pendidikan kebanyakan mereka memilih lembaga yang berorientasi pada urusan duniawi, tidak memperhatikan aspek ukhrawi. Dan ini semua adalah efek dari Modernitas yang mengajak manusia untuk tidak lagi percaya pada sesuatu yang ghaib seperti; datangnya pahala atau siksa, dan juga menggiring masyarakat untuk berlomba-lomba pada urusan dunia saja.

BACA JUGA :  Masjid, Simbol Persatuan Umat Islam

Adalah islam yang datang ke tanah jawa tidak memberangus, bahkan malah mengakrabkan ajaran islam dengan tradisi yang sudah ada. Dengan mentolerir kekeliruan yang tidak fatal banyak ajaran islam bisa mereka kenal. Sungguh sejalan dengan prinsip dasar berdakwah yang disampaikan oleh al Ghazali. “Jika orang yang dididik tidak mau meninggalkan prilaku tercela sama sekali atau tidak mau mengganti sifat tercelanya itu dengan sifat yang berlawanan yaitu prilaku yang baik, maka sebaiknya berusaha merubah dari prilaku tercela pada prilaku tercela lain yang lebih ringan.”(al Ghazali, Ihya Ulumuddin:juz 3, hal 60). Islam-Sufistik dengan karakter dan corak tradisinya merupakan cerminan dasar masyarakat jawa yang sangat sensitif, toleransi dan bertenggang rasa tinggi. Sehingga akar kebersamaan dan saling bersilaturrahim begitu kental dalam tatanan sosial masyarakat. Kearifan lokal ini tetap dipertahankan, semata-mata sebagai langkah “ngemong” masyarakat agar budaya yang ada tidak menyimpang dan bisa lebih bermakna serta memiliki nuansa dakwah. Islam-Sufistik inilah yang menjadi akar agar islam bisa tetap berdiri kokoh ditengah arus pergeseran budaya. Walaupun begitu pembenahan demi pembenahan harus tetap dilakukan demi menjaga ajaran tauhid di masyarakat dan nilai-nilai keimanan lainnya. Seperti ritual sedekah bumi, sedekah laut atau larung sesaji. Ketika didalam upacara-upacara tersebut tetap saja mengusung mitos-mitos kejawen atau digelar berbagai hiburan maksiat dan pesta pora, maka ketika dimungkinkan sebaiknya harus dihilangkan. Atau kalau tidak, diganti dengan acara-acara selametan sederhana di masjid atau mushala-mushala. Dan juga pengertian demi pengertian tentang perbedaan antara agama dan budaya harus gencar di sampaikan. Masyarakat harus digiring untuk bisa meyakini bahwasanya:

" عن ام المؤمنين ام عبد الله عا ئشة رضي الله عنها، قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم؛ من احدث في امرنا ما ليس منه فهو رد"

“Dari Ummil Mukminin; Ummi Abdillah Aisyah r.a, beliau berkata, Rasulullah bersabda, "Siapa menciptakan di dalam agama kami ini apa yang bukan termasuk dari agama kami, maka perkara itu ditolak.” (HR. Bukhori dan Muslim).

Demi syi’ar Islamiyyah Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah, kita memang bertanggung jawab untuk menghilangkan beragam ritual atau budaya-budaya jawa yang berbau syirik. Akan tetapi langkah tersebut menjadi terkendala ketika dalam kenyataan kita tidak memiliki khilafah atau pemerintahan yang mempunyai perhatian besar terhadap kemurnian akidah. Dan sangat beresiko sekali ketika islam-tradisi atau Islam-Sufistik tersebut dihilangkan, kemudian malah disusupi oleh kelompok-kelompok islam, seperti Wahabi, Gerakan Ikhwanul Muslimin dan Syiah. Oleh karena itu warisan walisongo ini tetap dilestarikan, namun secara simbolis saja, jangan diyakini sebagai praktek yang masyru’at atau ajaran Nabi SAW. Ibarat gelas yang didalamnya ada air kencing, untuk bisa mengambil manfaat gelas itu kembali tidak harus kita memecahkan gelasnya, akan tetapi cukup ditumpahkan lalu disucikan dengan air setelah itu dituangkan air susu. Dan yang juga dipandang perlu, dalam pelaksanaan acara semacam; muludan, ruwahan, selametan, haul dan tradisi yang lain jangan sampai menimbulkan dampak negatif dalam hubungan sosial, terlebih yang bersinggungan dengan nilai-nilai ibadah. Acara muludan silahkan dilaksanakan tetapi jangan dipaksakan dengan konsep acara yang begitu besar dan mewah. Karena hal ini bisa berpengaruh buruk terhadap nilai Mahabbatunnabiy SAW, yang padahal ini adalah menjadi tujuan utamanya. Dan disisi lain, konsep acara yang besar juga bisa di manfaatkan sebagai ajang ihtilath bainannisa’ warrijal. Muludan boleh dilaksanakan di masjid asal tidak mengganggu ketenangan ibadah shalat dan i’tikaf para pengguna masjid. Pengajian umum, terserah dilaksanakan dalam peringatan-peringatan apapun, asalkan tidak melalaikan kewajiban-kewajiban lain yang harus didahulukan, seperti shalat fardhu berjamaah. Acara selametan, yasinan, mitoni, ningkepi, nyatus, atau nyewu dan tidak masalah dilestarikan, asal tetap memperhatikan aspek sosial. Jangan sampai tradisi “berkatan” tersebut malah menjadi pemicu permusuhan antar kerabat atau tetangga sekitar, terlebih kepada kaum dhuafa’. Dan alangkah baiknya jika dalam setiap acara semacam ruwahan, colokan, megengan, kupatan dan lain-lain diisi dengan pembacaan tahlil, do’a-doa’ untuk arwah kemudian diakhiri dengan acara mauidhah hasanah. Para kyai memberikan nasehat-nasehat yang baik kepada masyarakat sekaligus menjelaskan tradisi-tradisi dipandang dari aspek keislaman. Hal ini dilakukan agar supaya tidak timbul iham atau salah persepsi tentang ajaran islam dan budaya. Dan juga agar keyakinan atau mitos-mitos kejawen masyarakat jawa berangsur-angsur bisa tergantikan dengan keyakinan-keyakinan bernuansa islami.

Artikulli paraprakMinat Turast Ilal Blog
Artikulli tjetërNguri-Nguri Budaya Mengaji

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini