لا تمدن يدك الى الأخذ من الخلائق،
إلا ان ترى أن المعطي فيهم مولاك،
فإذا كنت كذلك فخذ ما وافقك العلم
“Jangan pernah kau tengadahkan tanganmu untuk meminta sesuatu kepada para makhluk, kecuali kamu mengetahui bahwa yang memberikan segalanya adalah Allah ta’ala. Lantas jika kamu sudah mengetahui seperti itu, ambil saja sesuatu yang memang telah sesuai dengan ketentuan syariat”
Ada dua hal yang memperbolehkan kita sebagai seorang hamba untuk meminta atau menerima sesuatu atas pemberian orang lain, yaitu meyakini bahwa yang member itu semua hakikatnya adalah Allah SWT dan sudah sesuai dengan ilmu yang ada, dalam hal ini adalah ketentuan syariat.
Suatu keniscayaan apabila kita hidup di dunia ini bersikap saling tolong-menolong. Ini merupakan sebuah wujud bahwa kita makhluk yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Saling berinteraksi menunujukkan kebutuhan kita pada orang lain. Sebab keistimewaan yang dimiliki oleh individual manusia pun berbeda-beda. Ada yang oleh Allah ta’ala diberikan kelebihan dalam bidang harta, keilmuan, budi pekerti dan lain sebagainya.
Lalu apakah dengan serta merta kita boleh memanfaatkan kondisi seperti ini guna menerima segala hal yang menjadi kebutuhan kita, harta semisal, tanpa adanya batasan-batasan tertentu yang mengaturnya? Tidak. Namun lebih kepada meyakini segala pemberian orang lain itu adalah anugerah Allah ta’ala, lalu harus berpedoman dengan ketentuan-ketentuan syariat.
Di dunia ini, Allah SWT-lah yang mengatur segala urusan. Contoh kecil, kita bisa kenyang melalui perantara makan, atau dalam hal ini apa yang bisa kita sebut sebagai sabab ja’liyyah, yang dibuat oleh Allah ta’ala atau dalam istilah lain al iqtiran azzamaniy, yaitu bersamaannya makan dengan kenyang. Lalu ada kerja yang kita lakukan sehingga bisa menjadi kaya, dan lain sebagainya. Akan tetapi ini semua bukanlah sebagai al iqtiran al haqiqiy, karena musabbib al asbaab yang sesungguhnya ialah Allah ‘azza wa jalla.
Kemudian timbul pertanyaan, apa sebenarnya hikmah dari adanya perantara ini? Benar. Sebab ini adalah bentuk al luthfu atau kasih sayang Allah ta’ala terhadap para makhluk. Supaya hidup kita di dunia ini bisa saling membutuhkan satu sama lainnya (simbiosis mutualisme). Tidak menjadi makhluk yang egois.
Seperti halnya orang kaya dan orang miskin. Mereka sebenarnya bisa menjadi saling fitnah. Artinya, apakah nanti orang kaya tersebut mampu bersikap dermawan terhadap orang-orang fakir miskin, begitu juga sebaliknya mampukah si miskin tadi bersabar menghadapi kondisinya lalu dapat bersyukur ketika mendapatkan rizki dari Allah ta’ala melalui perantara si kaya tersebut.
وجعلنا بعضكم لبعض فتنة أتصبرون وكـــــــان ربك بصيرا (الفرقان: 20)
“Dan kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain, maukah kamu bersabar? Dan Tuhan-Mu Maha Melihat (QS. Al-Furqon ; 20)”
Ini semua merupakan bentuk keyakinan kita terhadap segala pemberian itu hakikatnya adalah anugerah Allah ‘azza wa jalla.
قل كل من عند الله (النساء: 78)
“Katakanlah semuanya datang dari sisi Allah (QS. An-Nisa’ : 78)
Kemudian yang kedua yaitu harus menyesuaikan dengan ketetapan syariat, apakah nanti bisa digunakan atau tidaknya itu tergantung ketentuan syariat yang berlaku. Yang tidak diperbolehkan semisal alatul malahiy (benda-benda yang dapat melalaikan kita akan mengingat Allah ta’ala), mengkonsumsi babi atau makanan haram lain, wadah maupun bejana yang terbuat dari emas maupun perak, dan lain sebagainya.
Pada intinya, kalau memang sudah sesuai dengan kedua syarat yang ada berupa keyakinan pada hakikat Allah SWT dan keselarasan pada batasan-batasan syariat, maka tidaklah mengapa kita mengambilnya atau memanfaatkannya. Sebab sudah kita ketahui permasalahannya. Jangan menolak apa yang telah diberikan oleh Allah ta’ala, jangan terlalu wara’ atau bersikap selektif dalam menerima sesuatu, tapi cobalah menjadi lebih wara’ ketika kita tasharruf atau mendermakan harta yang ada pada kita.
Semua jalan yang dilalui pun sudah baik, lalu kita dapat memperoleh harta tersebut. Namun terkadang salaf ash-shalih (ulama’ shalihin terdahulu) menolak pemberian para khalifah di zamannya, seperti Fudhail ibn ‘Iyadh di zaman khalifah Harun ar Rasyid, dan masih banyak lagi dari kalangan auliya’ illah. Karena ada kemungkinan harta tersebut sudah tercampur dengan perkara-perkara syubhat lain, atau bahkan dengan yang haram sekalipun. Jika sudah seperti itu, baiknya kita bisa menolaknya.