غيب نظـــرالخلق إليك بنظـــرالحق إليـــك وغب
عن وجود إقبـــالهم عليك بشهود إقبـــاله عليــك
“Hilangkanlah pandangan makhluk kepadamu, karena adanya pandangan Allah Al Haq pada dirimu. Lupakanlah wujud perhatian mereka kepadamu dengan menyaksikan perhatian atas dirimu”.
1. Penjelasan
Sesuai dengan tabiatnya, seorang muslim adalah makhluk yang berperadaban di manapun ia berada. Ia tak akan memiliki kehidupan yang sempurnan tanpa menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini terjadi karena seorang manusia tidak mungkin mampu memenuhi berbagai macam kebutuhannya jika tidak mengenal dan menerima bantuan orang lain. Akibatnya ia akan selalu berada dalam pengawasan dan perhatian orang-orang di sekitarnya. Secerdik apapun seseorang merahasiakan sebuah perkara, tentunya hal-hal di luar perkara tersebut tetap diketahui orang lain dan bahkan mungkin rahasia itu sendiri yang akan segera terkuak dan tersebar luas.
Mayoritas manusia menganggap pengawasan dan perhatian orang lain sebagai sesuatu yang berharga. Akhirnya konsep seperti ini menjerumuskan mereka dalam kesulitan yang luar biasa besar. Dalam semua keadaan dan di setiap kegiatan, mereka mencoba mendapatkan kerelaan semua manusia. Dan tentu saja ini adalah perkara yang tidak mungkin. Karena sebagaimana kita tahu, ridha semua manusia adalah tujuan yang tidak bisa di peroleh. Ada juga orang-orang yang berusaha menghilang dan menghindar dari pengawasan masyarakat, namun tentu saja mustahil terjadi keadaan semacam ini karena alasan-alasan yang tersebut di atas.
Lalu apa langkah kitadalam menyikapi kenyataan ini? Solusinya adalah nasihat yang diutarakan Ibnu ‘Athaillah: “Lupakanlah pandangan manusia yang berusaha mengawasi dan menyertai keadaanmu serta ingatlah selalu pengawasan Allah SWT yang penuh dengan kasih sayang dan perlindungan serta pertolongan. Agar berhasil menerapkan nasihat tersebut dalam kehidupan sehari-hari, maka kita harus kembali kepada aqidah keimanan lalu menancapkan dengan sekokoh-kokohnya dalam akal fikiran.
2. Dalil
Firman Allah SWT,
“Dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”. (QS. Ath Thalaaq : 3)
"Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung". (QS. Ali Imraan : 173)
Sabda Rasulullah SAW,
واعلم ان الأمة لواجتمعت على أن ينفعوك بشئ لم ينفعوك إلا بشئ قد كتبه الله لك و إن اجتمعوا على أن يضروك بشئ لم يضروك إلا بشئ قد كتبه الله عليك
“Ketahuilah bahwa sandainya semua umat (manusia) bersepakat untuk mendatangkan suatu manfaat atas dirimu, maka mereka tidak akan mampu mendatangkan apapun selain manfaat yang telah ditentukan Allah untukmu. Dan apabila mereka bersepakat untuk mendatangkan sebuah bahaya atas dirimu, maka mereka tidak akan bisa memberikan apapun selain bahaya yang telah ditetapkan Allah atas dirimu”.
حديث رسول الله صلى الله عليه و سلم: من أرضى الناس بسخط الله و كله الله إلى الناس و من أسخط اناس برضا الله كفاه الله مؤونة الناس(رواه الترمذي من حديث عائشة)
“Sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa menyenangkan manusia dengan (menimbulkan) kemarahan Allah SWT, maka Allah akan menyerahkan dirinya kepada manusia. Dan barang siapa menyulut kemarahan manusia karena (mencari) ridha Allah SWT, maka Allah akan mencukupi dirinya tanpa bentuan orang lain”. (HR. Tirmidzi dari riwayat ‘Aisyah)
Dengan meyakini secara sungguh-sungguh atas esensi firman Allah SWT dan sabda Nabi Muhammad SAW di atas, maka seorang hamba tak akan memberikan porsi sedikitpun atas pandangan manusia kepadanya. Bahkan semua itu akan sirna sama sekali di hadapan pengawasan Allah ‘Azza wa Jalla atas dirinya.
Apabila kalam-kalam agung di atas belum mampu menyadarkan kita atas kebenaran tersebut, maka kita harus mengingat kembali tentang konsep wujud. Satu-satunya wujud sejati yang tiada duanya adalah Allah SWT, sedangkan wujud semua makhluk di dunia ini tak lain hanyalah karena Allah ‘Azza wa Jalla. Nalar yang sehat pasti mengatakan kalau wujud semu tak akan memiliki harga yang berarti di hadapan wujud sejati.
3. Intisari problema dan solusi
Hikmah Ibnu ‘Athaillah ini merupakan sebuah solusi mujarab untuk mengatasi problematika masyarakat yang telah ada semenjak dahulu hingga sekarang. Yakni permasalahan rumit yang mengakar dengan kuat di tengah-tengah kehidupan masyarakat seluruhnya. Gambaran yang cukup jelas bisa kita saksikan dalam beberapa peristiwa berikut.
Seringkali ketika bertemu dengan tokoh agung yang menguasai dan menggariskan langkah-langkah sebuah organisasi dakwah, kami berdebat mengenai kewajiban dan dasar-dasar dakwah. Dari situ bisa disimpulkan dengan jelas, manakah jalan benar yang sesuai dengan syari’at Allah SWT. Namun realita yang terjadi justru jalan benar tersebut tidak diterima oleh masyarakat dan program dakwah pun mengalami kegagalan. Hambatan yang paling utama ialah karena kita masih selalu mencari dan mengharapkan ridha manusia serta takut kepada kemarahan dan kebencian mereka. Persoalan seperti ini mestinya menuntut adanya penanganan khusus dari para ulama, kaum intelek dan tokoh-tokoh pemerintahan serta masyarakat semuanya.
Banyak sekali orang-orang di sekitar kita yang lebih suka kepada ulama atau juru dakwah yang tidak membahas, mengkritik maupun berbicara mengenai kesalahn-kesalahan kaum awam dalam forum-forum perkumpulan mereka. Sebagai gantinya, masyarakat akan lebih senang bila para ulama hanya mengkritik dan menggembor-gemborkan aib serta cela tokoh-tokoh pemerintahan. Meskipun para ulama berdiam diri mengehadapi aib yang telah semerbak baunya, baik dalam pasar-pasar perdagangaan, politik keuangan maupun akhlaq kehidupan rumah tangga dan lain-lain, maka seharusnya apa yang mengisi mayoritas masyarakat itulah yang lebih layak disebut sebagai kebathilan serta lebih patut dijadikan sebagai target dakwah secara terang-terangan.
Selanjutnya, bila berbicara tentang amar ma’ruf nahi mungkar yang selalu mengarah kepada semua manusia tanpa terkecuali, maka secara jelas akan melihat bahwa sebagian besar orang-orang di sekitar kita akan begitu cepat jemudan amat mudah mengeluh dalam menanggapinya. Terutama orang-orang yang merasa terkena imbas percikan-percikan dakwah secara langsung. Akhirnya mereka menggerutudan mencaci maki sambil berkata: “Apakah kemungkaran yang mereka lihat di dunia ini hanyalah kesalahan-kesalahan yang sedang kami lakukan?”
Seringkali kita saksikan ketika ada seorang ulama yang mengeluarkan kritikan secara halus mengenai program sebagian besar bisnisman dalam memakai iklan yang berbasis perempuan dan pornografi, maka insane perekonomian tersebut menggerutu dan sama sekali tak berdaya mengaplikasikan peringatan sang ulama.
Royal dan berlebih-lebihan serta pemborosan adalah nuansa yang amat kental dengan pesta pernikahan. Saat seorang ulama berusaha mengeluarkan opini tetntang kejadian seperti ini, maka dengan segera bangkitlah orang-orang yang melawan kebenaran tersebut bahkan dengan cara yang tak layak sekalipun.
Masih banyak sekali peristiwa yang mempunyai skenario yang persis seperti kenyataan di atas. Menghadapi realita semacam ini, banyak juga para ulama yang sedikit goyah pendiriannya hingga menyebabkam mereka berusaha mencari penghargaan orang-orang di sekitarnya, mengharapkan pujian dari merekaserta berusaha menghindari kritikan dankemarahan mereka semua. Fenomena inilah yang menjadi masalah utama sebenarnya.
Jalan utama akan menjadi nyata dengan mematuhi nasihat Ibnu ‘Athaillah dalam hikmah ini. Yakni seorang muslim dimanapun ia berada –terutama seorang ulama yang menjadi penutan masyarakat- harus memurnikan amalnya hanya karena Allah SWT dan mencari ridha-Nya. Caranya ialah dengan senantiasa menyadari adanya pengawasan Allah SWT dan menganggap bahwa pandangan manusia itu tak berarti apa-apa. Dengan begitu maka ia akan mengahadapi dunia ini dengan menempati sebuah posisi yang benar, yakni di atas mimbar yang telah disediakan oleh Allah SWT sesuai dengan aturan-aturan yang ditentukan-Nya.
Dimanapun terlihat kemungkaran, pasti dengan sigap dan gagah berani ia menentangnya tanpa perduli siapapun pelakunya. Sebaliknya, ia akan selalu mendukung dan menolong siapa saja yang melaksanakan kebaikan serta merasa senang dan bahagia atas adanya kebajikan-kebajikan yang muncul di hadapannya.
4. Kesimpulan
Sebagai makhluk sosial, manusia memang tak bisa menjalani kehidupan secara sendirian. meskipun memiliki sisi individualis, seorang insan harus berbaur dengan orang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Di sadari atau tidak, ia pasti tak akan luput dari pandangan dan perhatian manusia.
Seorang muslim harus mengerti dan pandai menempatkan porsi perhatian manusia kepada dirinya sehingga ia akan menikmati kehidupan yang sejahtera dalam naungan payung-payung syariat. Sebenarnya pandangan dan perhatian manusia itu sama sekali tak ada harganya bila seseorang telah menyadari adanya pengawasan dan perhatian Allah ‘Azza wa Jalla kepada dirinya.
Bila seseorang berusaha mencari ridha dan pujian orang-orang di sekitarnya, maka ia akan lalai dari sensor pengawasan Allah SWT. Hal ini akan menyeretnya ke dalam jeratan hawa nafsu dan menjauhi dari kebenaran yang digariskan Allah ‘Azza wa Jalla.
Pada sisi yang berseberangan, seorang hamba yang menyelami samudera tauhid akan terbebas dari rasa takut atas kebencian dan permusuhan yang dikobarkan orang lain kepada dirinya. Konsentrasinya hanya terfokuskan untuk meraih ridha Allah SWT. Hal ini karena kesadaran dan keyakinannya atas pengawasan Allah ‘Azza wa Jalla telah terpatri sangat kuat dalam hati sanubarinya. Ia sama sekali tak mengarapkan apa-apa dari makhluk sesamanya karena yang ia impikan hanyalah karunia dan anugerah Allah ‘Azza wa Jalla.