D
alam studi-studi al quran, (sesuai pengamatan subyektif saya) kita sering terjebak dalam lingkaran episteme-episteme Ilahiyyat. Misalkan, ketika kita memulai studi ini, kita langsung dihadapkan pada devinisi al-Quran yang "entah kenapa" sering mengajak penelaahnya untuk melangkah pada dimensi Ilahiyyat ini. Saya, sebagai contoh, sejak kecil sudah dikasih pelajaran Tafsir (setidak-tidaknya Jalalain), tapi "entah kenapa" saya tidak begitu terusik untuk menanyakan, misalnya, pada ardhiyyah budaya bagaimanakah al-Quran itu diturunkan? (dua baris kata dalam tanda petik bisa kita diskusikan bersama).
Memang dimensi Ilahiyyat ini adalah suatu keniscayaan, namun persoalannya jadi lain ketika akibatnya, dimensi kemanusiaan al-Quran terlupakan, atau setidak-tidaknya amat ketinggalan. Ini lain tentunya dengan metodologi yang dibangun oleh para orientalis untuk studi-studi al-Quran, di mana dimensi kemanusiaan dalam studi-studi mereka seringkali mendapatkan porsi yang cukup. Karen Armstrong misalnya, ketika menyinggung soal i’jazul Quran, ia tidak dipusingkan dengan nilai sastra-nya yang begitu tinggi, juga tidak oleh berapa jumlah kalimatnya yang berlawanan, ia hanya mencukupkan bahwa al-Quran dalam beberapa abad, sejak diturunkannya hingga sekarang tetap mampu menjadi sumber inspirasi kaum Muslimin.
Ironisnya, kesadaran akan orisinilitas metodologi ini justru dimotori oleh mereka yang sering kita sebut sebagai sekuler dalam arti yang negatif. Kenapa ironis? Karena hal demikian ini akhirnya memposisikan kita (Islamiyyun) hanya sebagai mudafi’ (re-aktif) dan bukan muhajim (pro-aktif). Makanya, dalam literasi Universitas kebanggaan kita, kita benar-benar di"kenyangkan" dengan sub judul "difa’ ‘an al shubuhat", tapi sangat jarang kita dikenalkan dengan objek studi itu sendiri secara komprehensif.
***
Disebutkan dalam Surat 12:02, 20:113, 39:28, 41:03, 42:07 dan 43:03, "Quraanan ‘arobiyyaa", dua baris kata yang belum banyak tersentuh dengan baik secara analitis. Dua kalimat ini bukan saja berarti al Quran yang berbahasa Arab, tapi lebih dari itu, ia juga berarti al Quran yang dalam setiap penggunaan kalimatnya menyimpan tata-cara kehidupan bangsa Arab.
Kalau hendak membuat gambaran yang mudah, bisa dimisalkan demikian: al-bait, dalam artinya yang umum, adalah sebuah bangunan sedemikian rupa hingga layak untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. Tapi coba kalimat tsb kita ucapkan didepan orang Mesir dan orang Indonesia, maka nanti yang akan terbayang oleh orang Mesir adalah sebuah bangunan yang membumbung tinggi. Sementara yang terbayang dalam benak orang Indonesia adalah sebuah bangunan yang ada gentengnya .. halamannya .. dst. Barangkali memang benar bahwa setiap kalimat pasti menyimpan nilai-nilai kebudayaan, yang luas dan sempitnya tergantung esensi kalimat itu sendiri dalam kebudayaan yang bersangkutan.
Demikian ini, jika ditelaah lebih lanjut, akan memunculkan beberapa tada’iyyat (asosiasi). Pertama: al Quran harus difahami sesuai dengan budaya arab waktu itu. Kedua: karenanya, penelusuran terhadap fase Makky dan fase Madani dalam setiap pemahaman al Quran teramat urgen. Dan ketiga, menelaah kembali hubungan antara al waqi’ dan an nazil, atau antara wahyu Tuhan dan — apa yang dalam bahasa undang-undang modern diistilahkan– al a’mal attahdhiriyyah lil qonun.
***
Pertama: al-Qur an harus difahami sesuai dengan budaya Arab waktu itu.
Telah diterangkan dalam al-Quran, bahwa al quran diwahyukan oleh nabi dengan bahasa yang jelas, yang mampu di fahami oleh kaumnya. Firman Allah dalam 12:01: "Alif, laam, raa . Ini adalah ayat-ayat Kitab (Al Qur’an) yang nyata", dan dalam? 16:103: sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘Ajam, sedang Al Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang.
Kalau kedua ayat tersebut kita dukung dengan ayat 4 (empat) surat Ibrahim: "Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan? terang kepada mereka", maka barangkali kita bisa sepakat bahwa standar kebenaran yang kita pakai dalam memahami al Quran adalah standar kebenaran waktu diturunkanya al Quran.
Selain alasan ini, ada alasan lain yang sangat penting, kenapa kita harus memakai standar ‘ashrul wahyi’. Pertama: kalau kita memakai standar era pasca-wahyu, maka ini berarti membiarkan kaum muslimin era-wahyu dalam kesalahannya memahami al Quran. Kedua: Kefahaman-kefahaman era wahyu yang lebih dekat kepada tauqify tidak pernah menjadi mutlak (absolut), karena dimungkinkan salah.
Untuk menjelaskan keterangan dimuka, akan saya kemukakan dua contoh. Pertama menyangkut al-ro’du dan al-barqu yang telah disinggung Bpk. Quraisy minggu lalu. Kalau memang benar, bahwa al-ro’du dan al-barqu adalah suara dan percikan api dari cemetinya malaikat, adakah malaikat itu difahami oleh kaum Muslimin ashrul wahyi sebagai hukum alam? Kalau tidak, dan kemudian difahami oleh Mohammad Abduh sebagai hukum alam, apakah ini tidak berarti membiarkan mereka dalam kesalahannya.
Kedua: "iqro" dalam surat al-‘alaq, apakah ia dari kata "qara a" yang mempunyai arti mengumpulkan (jama’a) atau dari "qara a" yang mempunyai arti mengulang-ulang (raddada).? Dalam hal ini, Nasr hamid cenderung mengikuti kemungkinan yang kedua, yakni hanya sekedar mengulang-ulang tanpa harus ada teks-nya. Menurutnya, ini sesuai dengan budaya Arab waktu itu yang tidak mengenal baca tulis. Selain ini, dalihnya, ada ayat yang mendukung pendapat ini: "inna ‘alaynaa jam’ahuu wa qur anah-u, faidzaa qara naahu-u fattabi’ quraanah-u", dimana kalimat "qur anah-u" di athofkan pada kalimat "jam’ah-u", padahal athof dalam gramatika Arab berimplikasi "mughoyarah" (perbedaan arti antara ma’tuf dan ma’tuf ‘alaih). Apalagi jika kita menengok bagian kedua ayat tersebut (faidzaa qara nahuu fattabi’ qur anah-u) yang jelas mendukung pengartian demikian ini. Kedua: Penelusuran Fase Makky dan Madany teramat urgen dalam memahami al-Quran.
W. Robertson Smith ketika menyoal agama-agama samawi menyatakan, bahwa agama-agama samawi ini harus memeperhitungkan serta menyikapi dengan cermat setiap kepercayaan dan tradisi agama-agama sebelumnya, baik menerima atau menolaknya. Karena bagaimanapun agama-agama tsb. tidak mungkin dibangun di atas landasan yang hampa image keagamaan, seakan-akan memulai hal yang baru.
Lebih lanjut ia menegaskan, setiap konstruksi akidah yang baru, tidak akan mendapatkan pengikut kecuali dengan cara mengetuk fitrah serta perasaan-perasaan agamis. Dan untuk mencapai ini, tidak ada jalan lain kecuali dengan cara mempertimbangkan tipe-tipe keagamaan tradisional yang ada.? Maka, kata Robertson, untuk memahami setiap konstruksi keagamaan agama samawi dengan sebaik baiknya, serta menelusuri perjalanan sejarahnya, kita harus memahami terlebih dahulu agama-agama tradisional sebelumnya.
Mengacu pada premis-premis diatas, berarti dalam memahami kandungan al-Quran serta perjalanan sejarahnya, kita harus memahami watak sosial Arab, terutama Arab Makkah dan Madinah dan juga perjalanan sejarah Islam pada dua tempat tsb.
Memang, untuk memahaminya dengan baik, diperlukan penelitian yang intens. Dan ini tentu membutuhkan waktu serta keuletan yang super.
Ketiga: Menelaah Kembali Antara al waqi’ dan An nazil.
Ada dua pembahasan yang? nampak paradoks ketika meneliti hubungan antara wahyu dan al waqi’ yang menjadi ardhiyyah diturunkannya. Pertama: apakah yang diambil sebagai pertimbangan, umumullafdzi atau khususus sabab. Kedua: Keharusan mempertimbangkan al A’mal attahdhiriyyah (asbabun nuzul) dalam setiap keputusan-keputusan wahyu.
Menurut penelitian Azzurqoni, ulama’ sepakat untuk mempertimbangkan umumul lafdzi dalam arti yang "luas". Karena, menurutnya, pendapat yang hanya mempertimbangkan khususus sabab dalam arti yang sempit sangat? irasional. Ini berarti pemusatan pandangan terdadap wahyu. Sementara kalau kita menilik pada bagian yang kedua justru kita dituntut untuk selalu menatap kebawah dalam setiap keputusan wahyu.
Menurut hemat saya, dua cara pandang ini dapat kita satukan dalam satu kesatuan yang sangat positif: cara pandang pertama mengenai tabiat hukum yang sering kita katakan kaku: ‘hitam atau putih’. Sementara cara pandang kedua adalah merupakan filsafat hukum yang bisa menjadikannya lentur.