Kerangka pemikiran yang membangun ideologi JIL sebenarnya sangat rapuh. Kenyataan ini melemahkan asumsi bahwa tujuan ideology yang mereka perjuangkan adalah mencari kebenaran sejati. Dan sebaliknya untuk menguatkan dugaan, gerakan mereka sejatinya hanyalah sebuah bentuk propaganda untuk melemahkan dan menghancurkan pondasi-pondasi islam yang telah berdiri kokoh berabad abad lamanya dan berkamuflase dengan menggunakan atribut islam untuk menutupi maksud utamanya. Sebab, seandainya saja asumsi pertama benar, seharusnya mereka tak perlu ngotot mempertahankan pemikiran yang dibangun atas dasar argument dan paradigma yang telah terbukti lemah, adalah suatu kesalahan fatal bagi seorang pencari kebenaran sejati untuk tetap berpijak pada argumen lemah dalam usaha menggapai tujuan.

Berarti, kita boleh sepakat menabuh genderang perang melawan liberalisasi islam dengan segala macam bentuknya. Namun demi menghasilkan kemenangan kita mesti memahami terlebih dahulu seluk beluk, latar belakang serta kekuatan dan kelemahan lawan kita. Nah, sebagai pijakan dasar ada sebuah pertanyaan yang perlu kita jawab sebelumnya. Mengapa faham yang mereka tawarkan laris manis diterima sebagian masyarakat, terutama kaum mudanya padahal hanya berdasar pada pola pikir serampangan. Bahkan lebih jauh, mereka mampu menembus struktur organisasi yang dipenuhi ulama-ulama hebat. Perlu diingat juga, perang yang sedang kita hadapi adalah perang ideologi. Tentunya senjata yang kita butuhkan bukanlah pedang, senapan atau senjata militer lainnya. Karena dengan hanya berbekal senjata seperti tadi kita hanya mampu memusnahkan manusia-manusianya saja, tidak dengan hasil pemikirannya. Dan selama pemikiran itu belum dihancurkan hingga ke akar-akarnya, maka suatu saat dengan mudah pemikiran tersebut akan muncul kembali dengan wajah baru. Dengan begitu, sangat jelas betapa pentingnya sebuah media yang mampu memblok ideologi mereka serta mementahkan semua argument yang mendasarinya agar tidak sampai mempengaruhi pola pikir masyarakat kita. Tapi sayangnya salah satu media itu kini berada dalam bahaya. NU, ormas yang mengusung dan memperjuangkan faham ahlus sunnah dan telah memiliki pengaruh luas di Indonesia, malah harus menghadapi bahaya liberalisasi dalam tubuh keanggotaan strukturalnya sendiri.

Sebagai informasi tambahan, menurut Laode Ida dalam "NU Muda"nya, sebenarnya cikal bakal ancaman yang tengah dihadapi NU saat ini telah dimulai sejak lama. Diawali dengan terpilihnya mendiang Gus Dur, yang mewakili generasi muda NU saat itu, menjadi ketua PBNU pada muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo. Sejak saat itu NU memiliki dua kubu besar yang saling bertentangan. Yang pertama berada di belakang kiai-kiai sepuh dengan ciri berwatak tradisional (konservatif). Di pihak lain, muncul kubu pembaharu (progresif) yang dimotori Gus Dur. Kubu yang terakhir ini, dengan generasi mudanya berhasrat mendobrak sistem lama yang dirasa kurang cocok dengan semangat demokrasi dan alam modern. Salah satunya adalah tradisi sikap patronasi (menjadikan suri tauladan) berlebih yang telah mendarah daging di kalangan warga NU selama ini yang merupakan bentuk kelaziman latar belakang pesantren yang dibawa mayoritas warganya. Dengan duduknya Gus Dur di tampuk kepemimpinan organisasi, kalangan NU progresif pun semakin mudah menancapkan pengaruhnya dan mulai mendominasi control dalam menentukan arah perjuangan keorganisasian NU. Gesekan dua pola pikir di dalam NU ini masih tetap adem ayem -mungkin karena masih dianggap sebagai perbedaan yang membawa rahmat- sampai pada akhirnya Gus Dur mulai "berulah" dengan sering mengorbankan perasaan warga nahdliyin sendiri hanya demi membela kepentingan golongan minoritas di negeri ini. Meskipun sikap "beliau" diakui menyakitkan, berkat rasa patrilineal (sistem pengelompokan sosial yang mementingkan garis keturunan dari jalur ayah) yang kental, warga nahdliyin masih saja mentakwil berbagai kenyelenehan Gus Dur. Maklum saja, Gus Dur itu kan "gus triple" dan mewarisi gen pendiri NU. Jadi selalu saja ada rasa ewuh pakewuh, untuk menegur atau mengingatkan kalau-kalau berbuat keliru. Baru sekitar lima tahun belakangan saat kesabaran warga NU habis atau mungkin juga mulai sadar untuk membuka mata labar-lebar. Mereka tidak bisa lagi mentolerir kenyelenehan Gus Dur yang semakin menjadi-jadi dan semakin tidak bisa didiamkan. Kalau saja yang terjadi memang demikian, berarti sudah dua puluh lima tahun lebih benih-benih liberalisme tumbuh subur di dalam tubuh NU. Dan bisa dibayangkan seberapa kuat dan besarnya pengaruh liberalisme terhadap arah pemikiran warga NU.

BACA JUGA :  ILA KULLI FATATIN TU'MINU BILLAH Bag. 2

Sampai sejauh ini, secara garis besar sebagai jam’iyyah kemasyarakatan, arah perjuangan NU memang masih tetap berpegang pada dasar-dasar akidah Ahlussunnah, meskipun ada juga sebagian kalangan yang mengatakan NU semakin liberal. Yang perlu dikawatirkan bisa saja dalam beberapa tahun kedepan ideologi yang sudah mapan ini akan segera bergeser seiring menguatnya pengaruh kader-kader JIL pada jajaran kepengurusan organisasi. Dengan wewenang lebih, tentu mereka akan leluasa melakukan manuver-manuver politiknya dalam rangka merubah pola pikir NU, baik dalam sisi jam’iyyah maupun jamaahnya menuju corak berpikir lilberal. Sekarang, ketakutan akan hal ini semakin tampak nyata dengan hadirnya tiga kandidat ketua PBNU untuk periode mendatang yang sering diberitakan berpandangan liberal. Mungkin kita bertanya-tanya bagaimana orang-orang seperti Ulil Abshor bebas melangkah sampai sejauh ini tanpa ada usaha menghentikan atau kasarannya (lebih kasar lagi red) memboikot mereka beserta pemikirannya dari tubuh NU. Bukankah disana masih banyak kyai-kyai yang selalu memperjuangkan dan menjaga akidah masyarakatnya dari setiap hal yang berpotensi menjerumuskan pada kesesatan?! Yach, harus disadari memang, NU sendiri hidup ditengah-tengah kebangsaan yang demokratis, profan dan plural. Selain itu, wajah NU juga sudah banyak berubah. Kini NU tidak lagi hanya milik kalangan yang mligi dari pesantren. Tapi juga milik mereka-mereka dengan basic non-pesantren. Maka dengan sendirinya, masing-masing dari pihak ini harus disinergikan agar tidak memunculkan benturan di dalam orientasi perjuangan NU sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan. Kemudian, kenyataan bahwa demokrasi di Indonesia lebih cenderung bersifat liberal, suatu sitem politik yang begitu getol membela kebebasan hak berpendapat, menjadi kesulitan tersendiri untuk mengcounter faham-faham baru, meskipun jelas-jelas menyimpang dan berpotensi merusak tatanan masyarakat. Jadi, sekeras apapun kita meneriaki sesat, mereka tak mungkin berhenti, karena merasa apa yang mereka lakukan sah-sah saja, apalagi sampai harus takut pada pencekalan oleh UU. Dengan demikian jalan yang tersisa, kita harus menghadapi dengan terbuka.

Tidak kalah penting, mungkin perlu adanya kesepakatan mengenai batasan-batasan sampai dimana suatu pendapat dikatakan liberal dan mana yang sekedar penyesuaian dengan perkembangan atau perubahan kondisi yang ada, tapi masih dalam batasan yang dibenarkan, sebab sepertinya setiap orang punya persepsi sendiri-sendiri tentang liberalisme. Terkadang hanya berargumentasi dengan logika, seseorang bisa memvonis anda liberal. Bukankah yang semacam ini terlalu dilebih-lebihkan, malahan semakin mengaburkan esensi liberalisme sendiri. Ujung-ujungnya, bisa-bisa setiap orang dicap liberal oleh yang lainnya. Ini memang masalah sensitif, kita tidak bisa sembarangan memvonis atas suatu pernyataan tanpa memahami secara utuh pernyatan tersebut. Kalau masih bisa didiskusikan, kenapa tidak, dari pada harus saling serang argumen yang bisa menjurus kedebat kusir, bukannya menghasilkan kesepakatan , yang ada malah mempertajam perselisihan.

Akhirnya sudah saatnya kita mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan dimasa depan yang saat ini sudah muncul di depan mata. Dan, terserah anda memilih aktif terlibat dalam organisasi NU atau sekedar menjadi warga NU, selamatkan kendaraan yang berfungsi mengakomodir langkah dan tujuan kita ini dari segala ancaman ideologi yang menyimpang. Namun juga tidak boleh dilupakan NU itu terbuka bagi sipa saja tanpa memandang latar belakang mereka. Dan untuk mampu bertahan hidup ditengah masyrakat yang plural, kita dituntut untuk bersikap toleran dan terbuka atau (open minded), tinggal nantinya bagaimana kita harus tegas menentukan garis, sampai sejauh mana toleransi masih dibenarkan. Terakhir, meskipun kita tidak boleh asal menuduh seseorang dikatakan liberal, namun kita tetap perlu mewaspadai bibit-bibit liberalisme yang tumbuh disekitar kita, apalagi dengan menyadari, pengaruh sebuah ideologi bisa masuk kepikiran seseorang tanpa pernah ia sadari, mulailah peduli dan tanggap terhadap orang-orang disekitar anda. Sebelum mereka berubah menjadi pribadi-pribadi yang belum pernah anda kenal sebelumnya,. Wal’iyadzbillah.

Artikulli paraprakDekadensi Moral Dan Pergeseran Pola Pikir Masyarakat Tentang Moral Islami
Artikulli tjetërHIKMAH KE-114 : PERASAAN RINDU UNTUK BISA MELIHAT SANG KHOLIK

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini