Sejatinya memahami fikih adalah memahami Islam itu sendiri. Fikih sendiri secara histories adalah suatu genre ilmu dalam Islam yang komposisinya mengatur, menata aktivitas manusia atau dalam kata lain operational value, sehingga segala aktivitas manusia sesuai dan singkron dengan hukum yang diturunkan Alloh melalui Rosulnya. Karena secara rasio, hidup tanpa norma atau tata nilai bisa dikatakan tak menyisakan apa-apa. Kehidupan manusia beserta realita sosialnya tidak terlepas dari norma dan tata nilai yang mereka hasilkan sendiri, walau dalam arti kebebasan sekalipun. Jadi hal inilah yang perlu dipahami, ketika hidup perlu adanya tata nilai yang mengatur laku kehidupan manusia, agar tidak terjadi clash yang dapat mengakibatkan manusia meruntuhkan tata nuilai dan norma yang telah mereka bangun dalam maknanya yang relative dan selalu dalam pre-kondisi.

Lain halnya dengan fikih yang juga merupakan jati diri Islam sendiri, ia menghadirkan suatu system tata nilai kehidupan yang sangat komprehensif, menggabungkan dan menyeimbangkan elemen-elemen makro dan mikro dengan kode etik yang bertujuan mengatur hubungan manusia dengan tuhannya, lingkungannya dan sesamanya( Prof. Dr. Amer Al-Rubaie. Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam. Jurnal "Islamia". Tahun I No.4/ Januari-Maret 2008). Sehingga tidak ada lagi clash ketika memang manusia (muslimin) tetap consist dengan Islam dan fikihnya yang mengandung berbagai aspek kehidupan.

Namun banyak kalangan dari kita yang lupa dengan hal ini dan terlalu apriori terhadap kajian yang mempunyai peran vital dalam Islam ini. Kalau kita mau melihat sejarah perjalanan Islam semenjak awal kemunculannya 14 abad yang lalu, kita dapat melihat progresifitas fikih sepanjang jaman yang dilaluinya, serta peran fikih yang mempengaruhi tata laku muslimin.

Fikih sendiri dari sudut pandang epitomologi merupakan derivasi dari kata kerja faqoha, yang mana kata ini multi makna. Syaikh Badruddin Muhammad bin Abi Bakar Sulaiman dalam salah satu bukunya menyebutkan bahwa fikih mempunyai tiga makna secara etimologi (lughowy):

Makna yang shohih (diaepakati kebenarannya), bahwa fikih itu bermakna al-Fahmu (memahami) baik nanti kalam yang dipahami itu spesifik atau tidak, baik juga merupakan tujuan pembicaran dari si pembicara atau tidak. Salah satu ayat dalam Al-Qur’an memberikan indikasi arti tersebut, yaitu QS. An-Nisa’: 78 yang berbunyi;

?????…???§?„?? ?‡???¤???„???§???? ?§?„?’?‚???ˆ?’?…?? ?„???§ ?????ƒ???§?¯???ˆ?†?? ???????’?‚???‡???ˆ?†?? ?­???¯?????«?‹?§ (?§?„?†?³?§?? : 78)

kata yafqohuna dalam konteks ayat ini mempunyai arti mamahami (lihat tafsir jalain).

Yang kedua fikih mempunyai makna memahami sesuatu yang kompleks dan eksplisit. Sedang makna yang ketiga yaitu berarti target pembicaraan si pembicara yang terdapat pada ucapannya. Maka memahami kicauan burung tidak bisa disebut sebagai fikih (dari sisi bahasa) (Syaikh Badruddin Muhammad bin Abi Bakar Sulaiman Al-Bakry As-Syafi’i. Al-I’tina’ fi Al-Farqi wa Al-Istisna.Vol 1 Hal. 7. atau dapat melihat tahqiq lil Asybah wa Al-Nadzoir. Hal:3 dar el-Kutub Al-Islamiyyah).

Kemudian secara epistemology, banyak para pemikir Islam awal yang mendefinisikan fikih sebagai suatu cabang ilmu yang mana berfungsi mengetahui hukum-hukum syar’I yang bersifat mengikat aktivitas manusia dan digali dari dalil-dalil tafsily (dalil yang secara eksplisit mempunyai realasi pada suatu masalah. Pen.) As-Suyuthi dalam karyanya Al-Asybah wa Al-Nadzoir mendefinisikan fikih sebagai ilmu mengetahui analogi-analogi masalah (Jalaluddin As-Suyuthi. Al-Asybah wa Al-Nadzoir.vol.1 Hal:29. Dar el-Kutub Al-Islamiyyah). Lain lagi dengan Imam Ghozali dalam Al-Mustasfa-nya. Beliau mengatakan, fikih adalah suatu nama dari usaha mengetahui dan memahami dari asal peletakannya suatu hal, kemudian dalam perkembangannya menurut ulama didefinisikan, nama dari satu genre ilmu yang membahas hokum-hukum syar’I yang konstan, mengikat terhadap aktivitas-aktivitas secara khusus(Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghozaly Al-Mushtashfa. Vol. 1.Hal:4. Dar El-fikr). Imam Zarkasyi dalam mendefinisikan fikih kurang lebih sama dengan Imam As-Suyuthi, hanya saja Imam Zarkasyi menambahkan kata nash dan istinbath. Kemudian Al-Bajuri dalam komentar kitab Fathil Qorib menambahkan bahwa ilmu adalah ketetapan hati terhadap hukum yang singkron dengan realita yang ditarik dari alil (Ibrohim Al-Bajuri.Hasiyah Bajuri.Vol. 1 Hal: 18. Haromain).

Dari definisi-definisi di atas bisa kita simpulkan bahwasanya fikih secara epitomology adalah, ilmu yang mempelajari hukum-hukum syar’I yang digali dari dalil-dalil tafsily; baik berupa nash (penyebutan hokum atau indikasi hokum secara shorih) atau istinbath (menggali hokum dari dalil), sehingga dapat hadir secara kontekstual menyelesaikan dan memberikan solusi terhadap kasus atau peristiwa yang pernah ada dan sedang dihadapi.

Hukum dalam literature fikih adalah sebuah produk dari istinbath yang berhubungan dengan pengaturan dan penataan aktivitas mukallaf (person yang terkena beban hokum). Kemudian dalil tafsily adalah dalil-dalil juz’iy yang berhubungan dengan satu masalah secara khusus dan intens, serta mengindikasikan pada hokum secara esensial. Seperti firman Alloh?? QS. An-Nisa’:22

?­???±?‘???…?????’ ?¹???„?????’?ƒ???…?’ ?£???…?‘???‡???§?????ƒ???…?’ (?§?„?†?³?§?? :22)

Ayat ini menarangkan tentang keharoman menikahi ibu; baik ibu atau nenek ke atas, sekaligus mengindisikan hokum secara jelas keharoman tersebut secara esensial (DR. Wahbah Al-Zuhaili.Al-Wajiz.hal : 3. Maktabah Anwariyyah. 200).

Istinbath sendiri adalah suatu term istilah yang digunakan untuk usaha penggalian hokum dari dalil-dalil yang ada pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam menggali sutu hokum dari dalil yang ada diperlukan perangkat pembantu untuk dijadikan acuan atau metode, yang mana kemudian kita kenal dengan Ushul Fikih. Kemudian dari dalil-dalil yang digali, adakalanya yang secara ceplos menunjukkan hokum yang berhubungan langsung terhadap satu masalah, dan adakalanya yang tidak disebutkan secara ceplos; baik dalam bentuk isyaroh, pemahaman dari redaksi dalilnya, dan qiyas. Wilayah istinbath pada poin dalil yang kedua ini seringkali diistilahkan dengan ijtihad.

DR. Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya Fiqh Al_islam wa Adillatuhu membagi fikih menjadi dua spesifikasi. Selanjutnya beliau mengatakan bahwasanya fikih yang fundamen dan konstan itu tidak bias berubah (dalam perkembangannya), seperti konsep saling ridho (Tarodhy) dalam berbagai transaksi, ganti rugi disebabkan adanya dhoror atau kecerobohan (Dhoman Al-Dhoror), konsep perlindungan hak, dan asas pertanggungjawaban. Adapun fikih yang dibangun pada qiyas, pemandangan terhadap maslahah (muro’atil maslahah) dan adat, mengalami perubahan (secara hukum) dan progresifitas memandang kebutuhan temporal, situasi kemanusiaan serta kondisi-kondisi yang berbeda dalam waktu dan tempat; (hal ini) selama hokum yang dihasilkan tetap dalam koridor Maqosid Al-Syar’iyyah (tujuan syari’at) dan dasar-dasarnya yang valid dan benar. Poin kedua ini, hanya pada wilayah mu’amalat, tidak pada wilayah ‘aqidah dan ibadah (DR. Wahbah Al-Zuhaili. Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu.Vol. 1 Hal: 39. Dar El-Fikr). Selanjutnya beliau menambahkan bahwa hal inilah yang dimaksud dengan kaidah: ?????????± ?§?„?£?­?ƒ?§?… ?¨???????± ?§?„?£?²?…?§?† (Hukum berubah berdasarkan waktu) (Ibid.Hal:39). Prof. DR. Yusuf Qordlowi juga berkata senada pada poin ini. Beliau mengatakan pada buku "Syari’at Al-Islam Sholihah Li Al-Tatbiq fi Kulli Zaman wa Makan" : ‘ Hal yang diketehaui dengan observasi yaitu, bahwasanya dari beberapa hokum ijtihady ada hokum yang sumber dan sandarannya adalah maslahah temporal yang berubah berdasarkan waktu dan perubahan kondisi. Maka sebuah keniscayaan ketika hokum berubah mengikuti (searah dengan keadaan dan waktu) . Karena Al-Ma’lul (hal yang di-alasi) berjalan sesuai ‘illat-nya(alasannya) dalam wajudnya atau tidak (Lihat Siyasah Al-Syar’iyyah.Hal: 288.). Secara global tanpa memandang fiqih fundamen yang konstan dan fikih yang dilandaskan pada qiyas dan maslahah, fikih dalam totalitasnya dikembalikan pada prespektif maslahah dan penolakan terhadap mafsadah dalam segala bentuknya. Bahkan Syaikh ‘Izzuddin bin Abdissalam mengembalikan fikih dalam prespektif maslahah, karena penolakan terhadap mafsadah termasuk di dalamnya (Lihat Asybah wa Al-Nadzoir. Jalaluddin Al-Suyuthi. Vol. 1 Hal: 24. Dar El-Kutub Al-Islamiyyah.).

BACA JUGA :  Murabahah Emas

Membicarakan konsep maslahah dalam Islam, yang di mana fikih dibangun dengan semangat kemaslahatan bagi umat manusia, mempunyai prespektif tersendiri yang kompleks-sekompleks permasalahan dan peristiwa yang dihadapi oleh manusia. Namun yang menajdi patokan uatama legislasi fikih adalah bagaimana agar umat manusia dapat mengahadapi permasalahan dan segala kasus kehidupan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan dasar yang telah digariskan oleh syari’at, sehingga tidak terjadi konfrontasi internal maupun eksternal dalam menjalani kehidupannya.

Al-Qur’an sendiri telah menjelaskan dan memberikan garisan, bahwa Al-Qur’an dan segala syari’at diturunkan adalah guna memberikan kemaslahatan bagi laku manusia. Salah satu firman Alloh yang menjelaskan hal ini terdapat pada surat Al-A’rof:157:

???§???…?±?‡?… ?¨?§?„?…?¹?±?ˆ?? ?ˆ???†?‡?§?‡?… ?¹?† ?§?„?…?†?ƒ?± ?ˆ???­?„?‘ ?„?‡?… ?§?„?·???¨?§?? ?ˆ???­?±?… ?¹?„???‡?… ?§?„?®?¨?§?¦?« (?§?„?£?¹?±?§?? :157)

Ayat ini dengan jelas bahwa perintah Alloh SWT terhadap manusia untuk melakukan hal-hal yang baik, mencegah dari perbuatan mungkar, menghalalkan untuk mengkonsumsi perkara-perkara yang baik, dan mengharamkan hal-hal yang jelek-tidak lain guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia; di dunia ataupun di akhirat kelak.

Kemaslahatan yang menjadi landasan dalam melegislasikan hokum dalam fikih adalah maslahan haqiqiyyahh yang komprehensif dan universal dan tidak tertentu pada satu individu atau comunitas (Lihat Muhammd Abu Zahroh dalam Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah. Hal: 293. Al-Haromain.). Karena kemaslahatan ketika hanya terkonsentrasikan pada satu individu atau golongan, tidak menafikan adanya tumpang tindih dengan kepentingan individu atau golongan lain, yang nantinya menimbulkan benturan kepentingan.

Kemaslahatan yang direalisasikan harus memperhatikan 5 elemen fundamenatal dalam mengaplikasikan sebuah hasil hukum agar tidak menimbulkan efek yang merugikan. Kelima elemen tersebut adalah:

1. Menjaga esensi dan ke-eksisan agama(Hifdzu Al-din), yaitu menjaga aqidah abidah, dan dasar-dasar mu’amalah yang telah digariskan oleh syari’at. Dalam artian hukum yang dihasilkan nantinya tidak konfrontatif terhadap asas agama Islam, semisal tidak merusak aqidah, dan tidak merusak keberlangsungannya.

2. Menjaga jiwa (hifdzu Al-Nafasi). Elemen kedua ini juga harus diperhatikan agar jiwa tetap terjaga kemaslahatannya. Kita tahu termasuk implementasi dari elemen ini adalah disyari’atkannya sanksi qishos terhadap pembunuhan, tujuannya agar tidak terjadi pembunuhan tanpa hak.

3. Menjaga akal (Hifdzu Al-‘Aqli). Akal adalah sebuah kenikmatan yang tiada bandingannya, yang mana Alloh menganugrahkan pada manusia, sehingga dengan akal manusia dapat membedakan mana yang hak dan mana yang batil. Maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa legisalasi yang dihasilkan dengan adanyan hokum tidak merugikan kesehatan akal. Hal ini bisa kita lihat diharomkannya mengkonsumsi arak dan narkotika yang dapat menghilangkan kesehatan akal.

4. Menjaga keturunan (Hifdzu Al-Nask). Sebagai contoh haromnya mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menimbulkan kemandulan atau obat-obatan yang dapat merusak organ reproduksi.

5. Menjaga harta (Hifdzu Al-Mal). Harta atau aset yang dimiliki manusia adalah merupakan medium untuk menjalani hidup. Tanpa harta program-program yang dicanangkan tidak bisa terealisasi dengan mulus. Hal inilah mengapa dalam Islam adanya sanksi bagi pencuri dan disyari’atkannya landasan dasar transaksi (Lihat DR. Wahbah Al-Zuhaili dalam Al-Wajiz.Hal: 219-220. Maktabah Al-Anwariyyah.1995. Abu Zahroh.Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah.Hal:294. Al-Haromain.).

    Di samping kelima elemen di atas, Syaikh DR. Muhammad Khudlori Bik mengatakan, bahwa legislasi hukum harus memperhatikan tiga asas. Asas yang pertama adalah tidak adanya kesempitan dan kesusahan (‘adamul haroj), kemudian asas yang kedua yaitu meminimalisir penanggungan (taqlil At-Taklif) lalu yang ketiga adalah gradualisasi aplikasi hokum(tadrij fi tasyri’) (DR. Muhammad Khudlori Bik.Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islamy.Hal: 17. Dar El-Kutub Al-Islami.2007). Sedang dalam pandangan Syaikh Abu Zahroh memasukkan asas-asas tersebut dalam kategori maslahah (Muhammad Abu Zahroh. Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah.Hal: 294. Al-Haromain.).

Intinya dari paparan di atas, bahwa fikih dan hukum-hukumnya (Al-Ahkam Al-Islamiyyah) tidak lain, adalah merealisasikan kemaslahatan yang esensial (maslahah haqiqiyyah), bukan yang lainnya, sehingga menjadi mudah bagi manusia sebab-sebab adanya ketaatan dan selalu consist dengan ketaatan tersebut agar dijadikan acuan normatifnya dalam menjalankan hidup dan juga agar tidak terjadi ketimpangan dalam berbagai segi.

Atas dasar inilah para pakar fikih mentapkan kaidah-kaidah fikih yang diadaptasikan (dan diderivasikan) dari nash-nash syar’i, serta mengetahui dan mengkategorikan tujuan-tujuannya, kemudian merumuskan atas dasar hal tersebut kaidah Al-Dloror Yuzalu (Madlorot atau bahaya harus dihilangkan), Wa Annahu Yudfa’u Asyaddu Al-Dloruroin bi Aqollihima (menghilangakn dua kemadlorotan yang tumpang tindih dengan menghilangkan kemadlorotan yang paling sedikit efeknya), wa Anna Dar’a Al-Mafasid Muqodddamun ‘ala Jalbu Al-Masholih (Menghilangakn kemadhorotan didahulukan dari menarik sebuah kemanfaatan) (Ibid.op. set.305.) dan kaidah-kaidah lain yang bernafas sama; realisasi maslahah bagi manusia, seperti Al-Masyaqqoh Tajlibu Al-Taisir (Hal yang memberatkan menarik sebuah kemudahan).

Artikulli paraprakHIKMAH 50 : DOSA KECIL DAN DOSA BESAR
Artikulli tjetërHIKMAH 51 : JANGAN MENYEPELEKAN AMAL

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini