Wawancara dengan KH. A’wani Sya’rowi (Salah satu santri pertama Syaikhina) pengasuh PP. Al-Musthofa Lodan, Sarang.
KH. Maimoen Zubair atau lebih sering disapa Mbah Yai di kalangan para Santri adalah salah satu tokoh ulama’ yang sangat dihormati oleh berbagai kalangan, mulai rakyat biasa, pejabat pemerintah, ulama, santri dan banyak tokoh nasional maupun internasional yang mengenal Mbah Yai. Hal ini mungkin didasari dari akhwal pribadi Mbah Yai yang mencintai semua orang tanpa memandang status sosial. ditambah dengan pembawaan Mbah Yai yang ramah dan santun semakin menguatkan kharismanya. Menjadikan Mbah Yai sebagai tokoh panutan yang ideal bagi semua orang lebih-lebih bagi santri beliau yang dalam banyak momen sering bermulazamah dengan beliau. Berikut wawancara reporter Mading As-Sharh PP. Al-Anwar dengan KH. A’wani Sya’rowi salah satu santri beliau angkatan pertama dan Pengasuh PP. Al-Musthofa Lodan, Sarang :
1. Bagaimana kesan Kiai ketika dulu mengaji bersama Mbah Yai ?
Waktu nyantri di Mbah Moen, nomor induk santri yang saya ingat berada diurutan 158. Waktu itu mayoritas santri bersekolah di Madrasah Ghozaliah Syafi’iyyah. Sedangkan sekitar 20-an santri hanya mengaji di pondok, tidak ikut bersekolah di Madrasah. Saya akhirnya berinisiatif agar para santri-santri yang tidak ikut bersekolah tidak terlalu banyak main, kluyuran atau menganggur, saya ajak mereka bermusyawaroh setiap siang membahas kitab Fathul Qorib dan Fathul Mu’in. Kajian di dalamnya juga membahas Ushul Fiqh dan Mantiq.
Dulu teman-teman santri selain jam sekolah di Madrasah, mengaji dengan Mbah Moen ba’da Magrib, ba’da Ashar, ba’da Isya’ dan ba’da Shubuh. Adapun saya bersama teman saya Khafid dari Cilacap, punya jadwal ngaji khusus dengan Mbah Moen. Hanya kami berdua yang mengaji dengan beliau pada saat itu. Kitab yang dibacakan Mbah Moen kepada kami berdua yaitu kitab Syarah Jauharul Maknun. Mengenai waktunya, oleh beliau tidak ditentukan. Terkadang pagi, siang atau sore. Sewaktu-waktu jika beliau kerso (Ingin), saya dan teman saya dipanggil untuk segera mengaji kepada beliau. Peristiwa ini berlangsung selama dua tahun. Sehingga membuat saya tidak berani keluar pondok karena takut ditimbali (dipanggil) beliau untuk mengaji.
2. Menurut Kyai, apa yang menjadikan Mbah Yai menjadi begitu alim dan mampu mencetak kader yang alim pula ?
Yang menjadikan Mbah Moen alim itu Pengeran. Ada cerita dulu waktu beliau masih muda, setiap malamnya sering ngincengi (melihat secara sembunyi) dan keliling pondok untuk melihat aktivitas para santrinya yang masih terjaga. Delalah (bertepatan) yang selalu terjaga saya terus. Saya sedang belajar kitab sendirian. Tiba-tiba beliau datang dan memarahi saya dengan berucap: “Koe iku deras-deres wae, anggepmu opo deresmu seng dadekno awakmu pinter ?”. waktu itu saya menjawab: “Mboten Mbah, niku pancen mondok iku kepengen deres ngoten iku. Pinter nopo mboten ngeh mboten urusane kulo.” Artinya kamu tetap belajar, namun niatnya harus ditata dengan baik. Misalnya diniati senang mencari ilmu dan mencari pahala.
Orang itu harus menyerah dengan Gusti Allah. Jangan sampai punya I’tikad (keyakinan) bahwa karena seringnya belajar menjadikan orang cepat alim. Tapi niatilah dengan niat yang baik, Sehingga dengan begitu, bukan karena seringnya mengaji dan belajar yang membuat seseorang itu bisa menjadi alim, tapi karena ilmu itu pemberian Pengeran. Dengan mengaji, seseorang menta’zhimi (menghormati) ilmu dan dosa-dosanya ikut dibersihkan sehingga Allah memberikan ihda’ (hadiah) kepadanya menjadi orang yang alim. Sedangkan menghormat dan memulyakan ilmu merupakan tujuan mengaji. Barang siapa yang memuliakan ilmu, maka ia akan diberi Allah SWT ilmu. Banyak orang yang tidak berhasil karena ia tidak mengetahui bahwa ilmu adalah pemberian Allah. Ia mengira bahwa sulitnya mencari ilmulah yang membuatnya berhasil. Kalau seperti itu isrof tidak ? Jadi musrik tidak ?
Sekarang banyak pondok yang mentereng-mentereng berprinsip bahwa teorilah yang menentukan. Andaikan teori yang paling menentukan, santrinya Mbah Ma’shum itu keliru semua karena tidak mendengar jelas suara ngaji beliau, padahal santrinya alim semua. Mbah Ma’shum ketika mengajar selalu menjaga hatinya agar tidak dikatakan niat yang macam-macam. Hatinya terjaga dari niat yang bersandar pada manusia dan usaha sehingga tidak menjadi syirik.
Mbah Moen ketika mendidik saya ketika niat mengaji tidak karena supaya pintar, pintar itu pemberiannya Allah SWT. Allah memberikan ilmu-ilmunya kepada orang yang hatinya bersih. Jika hatinya kotor karena banyaknya dosa dan maksiat, ilmu yang sudah di dalam sanubari tidak betah sehingga ilmunya akan pergi lagi. Dengan mengaji, orang yang banyak dosanya hatinya akan dibersihkan. Kesempatan mendapat ilmu itu ketika hatinya sudah bersih, adapun bersihnya hati jika dosa-dosanya telah diampuni. Dia diampuni karena dia mau mengaji. Karena hasil mengaji itu yang paling tampak adalah dosanya diampuni. Itu juga berkat para malaikat ikut hormat kepada orang-orang yang mengaji mendo’akannya agar dosa-dosa mereka diampuni oleh Allah SWT. Ketika mondok, yang terpenting dosanya hilang.
Menurut analisa saya, prinsip beliau yang paling kuat adalah pengamalan ilmu Tauhidnya. Jika ilmu tauhidnya kuat, ilmu-ilmu yang lain hasilnya mudah didapat. Oleh sebab itu, Orang-orang itu harus selalu bersandar kepada Allah. Saya Tidak pernah melihat beliau sambat ketika tidak memiliki apa-apa. Pokoknya beliau hanya diam saja, punya atau tidak punya tidak ada orang yang tahu. Qona’ah beliau sangat dalam sekali.
Setiap Kiai yang saya selidiki, Kiai yang seperti itu Kiai-Kiai yang sangat berpegang teguh pada ilmu Tauhid. Buktinya kebanyakan karangan kitab beliau rata-rata membahas ilmu tauhid. Jika berurusan tentang ketauhidan, beliau sangat kuat sekali sandarannya.
3. Amaliah apa yang sering atau disukai oleh Mbah Yai?
Ya jama’ah. Jama’ah itu dianggap suatu yang paling penting. Setelah itu wiridan dan do’a yang dipanjatkan beliau. Itulah sebabnya para santri banyak yang kefutuh (terbuka hatinya) sehingga mereka cepat menjadi orang alim. Faktanya Ilmu yang diperoleh ketika di Pondok dan di rumah itu tidak seimbang. Di pondok ilmunya sedikit, pas di rumah bertambah banyak. Tidak ajek. Jika di pondok meskipun tidak terlalu bisa tapi jama’ahnya rajin, pas di rumah bertambah banyak ilmunya. Itu tambahnya dari mana ? (kalau tidak dari Jam’ah dan do’a dari beliau). Kiai yang model kayak gini gak ada.
4. Menurut Kiai, manhaj apa yang selalu dipegang teguh oleh Mbah Yai ?
Jama’ahnya, ngajinya, istiqomahnya dan tidak pernah sambat (mengeluh) ketika tidak mempunyai apa-apa.
5. Apakah Kiai punya momen paling berkesan selama bersama Mbah Yai ?
Beliau pernah dawuh: “Wong nak mapak kaji nak iso ojo di sela-selani wong akeh. Nak iso kudu pertama kali”. Dulu waktu Mbah Moen kundur haji, saya menunggu beliau di gerbang gardu pondok sebelah selatan. Saat beliau turun dari mobil, saya orang pertama kali yang menyalami beliau. Lalu beliau dawuh: “Koe bakale kaji. Tahun buri kaji, gak usah bayar.” Akhirnya saya bisa berangkat haji tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Saya berangkat bersama 48 santri Sayyid Muhammad al-Maliki Mekkah yang diajak oleh Sayyid Abbas berangkat ke Tanah Suci.
Waktu itu, ada perpecahan di santri putrinya Mbah Ali. Akhirnya saya diutus oleh beliau untuk mengajar di Musholla belakang Ndalem. Saya didawuhi: “koe mulang nak langgar kono lak apik.” Yang mengaji dengan saya saat itu wanita-wanita dari kampung sekitar 15 san puteri yang bersekolah di Madrasah Banat. Memasuki bulan Ramadhan, Lama-kelamaan orang yang ikut mengaji semakin banyak. Akhirnya saya sering ditimbali beliau untuk berbuka puasa bareng beliau di Ndalem. Waktu itu hanya saya yang diajak beliau buka bersama. Istri beliau saat itu Bu Nyai Masthi’ah. Ini terjadi selama bulan Ramadhan. Pernah sesekali saya tidak berbuka puasa dengan beliau. Akhirnya saya didukani beliau: “Ni, awakmu klayapan nak ndi ae. Tak kon buko bareng aku kok gak gelem ?”. Mbah Moen sampai ngrumat (merawat) saya kayak gitu karena saya membuat pondok puteri. Setiap Ramadhan saya disuruh mengaji di sana, sampai akhirnya ada orang Lamongan, Demak, Surabaya dan banyak lagi.
Setiap tanggal 7 Maulid, di pondok biasa mengadakan pengajian dengan mengundang penceramah dari luar. Biasanya yang sering diundang oleh beliau adalah Kiai Bisri Musthofa, ayahnya Gus Mus Rembang karena masih sanak kerabat. Kemudian saya ditimbali beliau, saya ditanya: “Koe ape nekakno sopo?.” Saya jawab akan mengundang Kiai Bisri. Mendengar hal itu, beliau melarangnya sambil dawuh: “Ojo diundang!. Temenan ojo. Golek Kiai liane ae.”. lalu saya bertanya: “La terus ngundang sinten Yai ?”. Beliau menjawab: “Iku lo, Kiaimu Kudus kono. Parani ! .” “Sinten Mbah ?” tanyaku. Beliau dawuh: “Kiai Sya’roni.” Akhirnya saya menuruti perintah beliau. Selang beberapa waktu kemudian, sebelum tiba bulan Maulid, ternyata Kiai Bisri Musthofa yang awalnya dijadwalkan untuk mengisi rutinan pengajian Maulid meninggal dunia. Saya baru tahu maksud dawuh beliau melarang mendatangkan Kiai Bisri setelah kewafatannya. Jadi saya awasi Mbah Moen seperti itu. Jika menyangkut perkara rahasia, beliau bisa tahu. Ada Kiai yang akan meninggal dunia beliaupun tahu.
6. Apakah ada pesan terakhir Syaikhona untuk para santri dan masyarakat yang Kiai ketahui ?
Saya kurang tahu. Karena dimasa tuanya, saya sering ke Sarang tapi jarang sowan ke beliau karena takut menganggu waktu istirahat beliau sehingga membuat beliau mudah kelelahan.
7. Mungkin ada pesan-pesan untuk para santri Sarang ?
Para santri harus punya I’tikad (keyakinan) bahwa ilmu yang diperolehnya hanya dari Pengeran, bukan karena hasil belajar atau banyaknya mengaji. Sebab apapun yang disandarkan pada selain Allah adalah syirik karena menyandarkan hasil sesuatu pada makhluk atau usaha dari manusia.
Jika secara teori orang menjadi alim karena usaha pribadi atau usaha dari para guru, maka teori seperti itu akan terbantahkan dengan pengajiannya Mbah Ma’shum Lasem. Beliau waktu mengaji baca kitabnya gremeng/gak ceto (tidak jelas suara dan bacaannya). Namun banyak muridnya menjadi orang-orang alim. Menurut pengamatan saya, Beliau sangat khawatir niatnya salah karena dikatakan beliaulah yang membikin pintar murid-muridnya.
Kiai A’wani dawuh: “Nak ilmu jeru, wong dianggep minterno lak dianggep gusti Allah. Endi-endi wong (makhluk) wong kok disembah, mongko panggonane Neroko. Fir’aun disembah Neroko, berholo disembah Neroko. Seng disembah gak dadekno mlebu Neroko iku mok nyembah Gusti Allah” Adapun Nabi Isa, yang disembah bukan beliau, namun yang disembah oleh orang-orang Nasrani adalah salib. Jadi orang mengajar itu tidak boleh niat membikin orang itu pintar, karena kepintaran seseorang didapat karena pemberian Allah SWT semata. Mencari guru yang seperti itu yang sulit. Guru yang niatnya bukan karena ingin membikin pintar ya Mbah Moen itu. Beliau banyak menerangkan dan berbicara saat mengaji itu hanya supaya orang yang mendengarkan biar senang, begitu saja. Nah orang-orang sekarang itu tujuan mengajar agar supaya muridnya cepat bisa, padahal pahala didapat itu karena mengaji, bukan karena kepintarannya. Ini yang saya terima dari ilmunya Mbah Moen.
Ilmu itu makhluk tidak ?. Makhluk !. Jadi ilmu itu berkeliling mencari tempat yang membuatnya betah. Adapun tempat yang dituju adalah tempat yang tidak banyak maksiatnya. Menurut Mbah Moen, selama tidak banyak melakukan kemaksiatan, para santri bisa cepat menjadi orang alim. Imam Syafi’I pernah bersya’ir:
شكوت الى وكيع سوء حفظي فأرشدنى الى ترك المعاصي
فأخبرني بأن العلم نور ونور الله لا يهدى للعاصي
Saya mengadu kepada Imam Waqi’ tentang jeleknya hafalanku. Beliau memberikan petunjuk kepadaku untuk meninggalkan maksiat. Lalu beliau menjelaskan bahwa ilmu adalah Nur. Sedangkan nurnya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.
Operasi hati ini juga tidak hanya dialami seorang santri, Kanjeng Nabi SAW ketika akan mendapatkan ilmu juga pernah hatinya dioperasi, yaitu saat hatinya dibedah oleh malaikat Jibril dan dibersihkan dengan air zamzam agar kotoran-kotoran yang ada di dalam hatinya hilang. Peristiwa ini terjadi lima kali selama hidupnya. Pertama, ketika Kanjeng Nabi SAW berumur sekitar 4 tahun. Kedua, ketika berumur 10 tahun. Ketiga, ketika Akil baligh. Keempat, saat menjadi Rasul. Kelima, menjelang peristiwa Isro’ Mi’roj.
Kanjeng Nabi saja meskipun tidak pernah melakukan perbuatan dosa hatinya masih dioperasi, apalagi manusia biasa ?. Adapun operasinya manusia itu bagaimana ?. ya mengaji. Dengan mengaji ia operasi membersihkan hati.
Wawancara dengan KH. A’wani Sya’rowi, Pengasuh PP. Al-Musthofa Lodan, Sarang. oleh tim mading As-Sharh PP. Al-Anwar.
Jum’at, 16 Rabi’ul Akhir 1441 H/12 Desember 2019 M.
Editor : Tim Media PP. Al-Anwar