Islam – sebagai ajaran yang meng-esa-kan Tuhan – merupakan agama yang yusrun (mudah dan fleksibel) dan tidak terlalu memberatkan atas pemeluknya. Demikian ini bukan berarti tanpa undang-undang atau aturan-aturan (baik dalam masalah dogma maupun tatacara beribadah). Undang-undang inilah yang nantinya wajib dan harus dijalankan. Dan bagi yang tidak menjalankan akan dijatuhkan hukuman yang setimpal. Namun, Sang Creator dan Arsitek alam ini – include manusia dan jin – tidak semata-mata membebani makhluknya dengan ancaman-ancaman yang ditujukan bagi mereka. Di sektor lain, Dia menjanjikan bagi mereka yang mau beramal, bahwa akan diberikannya pahala yang berlipat-ganda paling sedikit 10 kali lipat dari apa yang diamalkan.
Kemudian agar para makhluk – yang segment-nya lebih ditujukan kepada manusia dan jin – dapat tertarik dalam ajakan-Nya (melalui utusan), dan mau menta’ati aturan-aturan tersebut, maka Allah pun secara tidak langsung telah mengajarkan kita tentang strategi marketting. Yaitu dengan mempromosikan produk terbaik-Nya (yakni surga) yang didedikasikan bagi mereka yang ta’at beribadah, yang biasanya diikuti dengan ayat adzab atau ayat yang menjelaskan siksa yang amat pedih. Tujuannya adalah agar para makhluk tersebut – yang pasti akan bahagia ketika memperoleh kesenangan dan juga akan susah ketika mendapatkan siksaan – lebih memilih surga dari pada siksa api neraka, sehingga mau mengikuti ajakan-Nya. Sama seperti ketika kita hendak menawarkan barang dagangan, tentunya akan mengunggul-unggulkan produk kita sendiri kemudian membuat konsumen merasa menyesal apabila sampai tidak memilikinya. Ada banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang sifatnya promosi, misalnya pada ayat 15 surat Muhammad:
مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ آَسِنٍ وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَأَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَمَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ (النحل : ١٢٦)
Seperti yang baru saja dijelaskan, Allah akan memberi pahala berlipat-lipat paling sedikit 10 kali lipat, dan akan memberi balasan yang setimpal atas keburukan seseorang. Disinilah salah satu dalil atau bukti sifat Ar-Rahman dan Ar-Rachim-nya Allah. Sepuluh banding satu. Sungguh selisih yang tidak sedikit. Selain itu, Allah juga memberikan teladan langsung bagi mahluknya agar memberi balasan yang setimpal dan tidak berlebihan atas perbuatan jahat seseorang, tetapi sabar itu lebih baik (dari pada membalas). Dan sebisa mungkin untuk membalas amal baik seseorang dengan yang lebih baik. Seperti yang terdapat pada Al-Qur’an:
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ (النحل : ١٢٦)
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ـ ـ ـ ـ ـ الآية (النسآء : ٨٦)
Ayat yang pertama – yakni ayat 126 surat An-Nahl – diturunkan setelah perang Uhud. Dalam peperangan itu tidak sedikit syuhadaa’ul muslimiin yang terenggut nyawanya, termasuk paman tercinta Baginda Nabi Muhammad, paman Hamzah bin Abdil Muthollib Radliyallahu ‘Anhu. Seusai peperangan, sampailah berita wafatnya paman beliau. Dan ketika Nabi datang untuk melihat keadaan mayat pamannya, Nabi dikejutkan dengan pemandangan yang sangat mengerikan. Tubuh pamannya tersebut terkoyak dengan hidung, kuping, alat kelamin yang terpotong, dan juga isi perut yang tercabik-cabik keluar. Pembunuhnya adalah Wachsyi, seorang hamba sahaya yang dijanjikan oleh Hindun binti ‘Utbah (isteri Abu Sufyan) sebuah freedom bagi dirinya apabila berhasil membunuh paman Hamzah. Setelah terbunuh, Hindun langsung membelah dan mengeluarkan isi dalam perutnya, termasuk hati beliau – paman Hamzah – yang mulia. Belum puas rupanya dengan hanya membunuh dan mencabik-cabik perut paman Nabi tersebut, Hindun mengambil dan mengunyah sepotong hati paman Hamzah lalu meludahkannya. (Tapi, bagaimanapun kita tidak boleh melaknat dan mencela Hindun beserta Wachsyi. Pun pada akhirnya mereka berdua memeluk agama yang dibawa Rasulullah Sallallaahu ‘Alaihi Wasallam, agama Islam). Melihat keadaan mayat paman beliau, spontan Nabi bersabda: "Demi Allah, aku akan melakukan hal seperti ini atas 70 orang kafir sebagai pembalasan karena telah membuat pamanku seperti ini". Kemudian turunlah ayat ini. Dan Nabi pun memilih untuk bersabar, yang pada akhirnya berbuah Islamnya kedua orang yang telah membunuh paman beliau.
Adapun ayat kedua – yakni ayat 86 surat An-Nisaa’ – meskipun ini menerangkan bab salam yang merupakan penghormatan untuk sesama kaum muslimin, namun tidak ada salahnya dalam memutuskan sebuah hukum, kita menggunakan makna yang tersurat dari dhahirnya suatu redaksi (lafadh), dan bukan dari khususnya tujuan atau sebab (as-sabab) dikeluarkannya redaksi tersebut. Seperti kaidah yang terdapat dalam ilmu Al-Qawaa’id Al-Fiqhiyyah:
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Kembali ke persoalan awal bahwa agama Islam adalah agama yang mudah tetapi juga memiliki aturan-aturan tertentu yang kudu dilakukan seorang muslim. Dan bagi sebagian muslimin yang ta’at dalam beribadah, senantiasa menjalankan syari’at secara konsisten dan mau mematuhi rambu-rambunya, disamping akan ditempatkan pada tingkatan/derajat yang tinggi di sisi-Nya, yaitu derajat kewalian (setelah melewati beberapa fase dan derajatnya itu tetap di bawah derajat kenabian tentunya), juga akan diberikan keistimewaan-keistimewaan yang bersifat khusus. Perlu diketahui bahwa ada beragam istilah yang berbeda untuk keistimewaan-keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada makhluknya. Yakni, untuk para Nabi atau Rasul dinamakan Mu’jizat (sebagai tanda bukti risalah dan kenabiannya). Untuk para calon Nabi atau Rasul dikenal dengan istilah Irhash. Untuk para wali disebut Karaamah (keramat). Dan istilah untuk orang awam adalah Ma’uunah. (untuk keterangan lebih jelas, bisa ditela’ah dalam kitab-kitab Tauhid (Teologi), semisal kitab "Jauharatul Tauhiid").
Lalu bagaimana jika ada seseorang yang Tholih (lawan kata sholih) memiliki beberapa kehebatan/ke-jadug-an. Misalnya orang yang mengamalkan Kejawen dengan berbagai kejadugkannya, atau banyaknya pasien-pasien yang merasa cocok ketika berobat kepadanya, atau banyaknya kekayaan yang dimilikinya. Termasuk yang manakah keistimewaan/khususiyyah yang dimilikinya? Ma’uunah-kah itu? Keramat-kah? Atau bahkan mu’jizat-kah itu?
Mengenai keistimewaan dan reputasi yang diraih olehnya di dunia, yang katanya banyak klien, punya rumah, mobil mewah bahkan mungkin dia dapat terbang, dapat mengetahui isi hati orang (yang dalam istilah Jawa kita kenal dengan istilah weruh sakdurunge winarah), itu semua tidaklah layak bagi kita untuk heran dan terkagum-kagum. Tidak perlu jauh-jauh, pun banyak orang yang ahli maksiat bahkan orang kafir yang bergelimang harta, tahta, mahkota, dan mempunyai kehebatan tertentu. Dalam istilah ilmu Tauhid, hal seperti ini – keistimewaan seperti tersebut di atas – disebut istidraj (khususiyyah atau hal yang luar biasa yang diberikan oleh Allah untuk hamba-hamba yang durhaka dan kufur sebagai penglulu dari-Nya). Artinya mereka dibiarkan oleh Allah untuk berbuat apa saja yang mereka suka di muka bumi ini. Namun dibalik itu, telah menanti atas mereka adzab atau siksa yang sangat pedih kelak di desa kekal. Allah berfirman:
سنستدرجهم من حيث لا يعلمون
Jadi, ketika ada orang yang mengaku bahwa dirinya adalah orang yang mempunyai derajat tinggi (baca:wali) dengan keistimewaan-keistimewaannya, akan tetapi dia enggan melakukan syari’at Islam, maka jelaslah bagi kita bahwa dia adalah – meminjam istilahnya Al-Sayyid Abu Bakar Al-Makkiy ibnu Al-Sayyid Muhammad Syatha Al-Dimyathiy – tergolong orang yang sesat sekaligus menyesatkan. Dan pengakuannya (sebagai seorang wali) adalah bualan belaka. Kita jangan langsung percaya dan terbujuk dengan kehebatan yang dia miliki. Selain itu kita juga harus mengkritisi omongannya. Karena tidak mungkin waliyullah atau orang yang dekat dengan Allah untuk meninggalkan perintah-perintah-Nya. Mungkinkah bagi seseorang untuk mengkhianati kekasihnya sendiri, padahal dia sangat menyayangi dan mencintai kekasihnya tersebut? Mungkinkah peraturan-peraturan yang dibuat oleh sang kekasih diterjang? Impossible, right??!! Bahkan salah satu penyebab orang berhenti merokok adalah karena larangan dari sang istri yang bukan lain merupakan orang yang sangat dicinta dan disayang. Ini menunjukkan bahwa orang ketika cintanya kepada sang kekasih sangat dalam, maka dia tidak akan meninggalkan perintah dan juga tidak akan menerjang larangan yang dibuat kekasihnya tersebut. Karena orang yang memerintahkan sesuatu automaticly dia juga melarang sesuatu yang pasti berlawanan dengan apa yang diperintahkan.
Coba kita simak sebuah hadits Nabi yang terdapat dalam kitab Kifaayatul Atqiyaa’ wa Minhaajul Ashfiyaa’ dan juga terdapat dalam kitab Syarhun Nawawi ‘alal Muslim:
فلقد صح أن رسول الله كان يصلى حتى تتورم قدماه، فقيل له مرة: "ألم يغفر الله لك ما تقدّم من ذنبك وما تأخّر؟" فقال: "أفلا أكون عبداً
شكوراً؟" وفى رواية : حَتَّى تَفَطَّرَتْ رِجْلَاهُ، ومَعْنَى تَفَطَّرَتْ : تَشَقَّقَتْ
"Nabi adalah orang yang sudah dijaga (ma’shum) kesuciannya dari perbuatan kotor dan dosa. Satu saat kaki Nabi terlihat bengkak (dalam riwayat lain menggunakan lafadh " تفطرت"yang berarti pecah-pecah) karena seringnya melakukan shalat. Lalu hal tersebut ditanyakan kepada beliau: "Bukankah Allah telah mengampuni bagimu dosa-dosa yang telah lampau dan yang akan datang? " Kemudian Nabi bersabda: "Apakah aku tidak menjadi hamba yang sangat bersyukur?" (Apakah aku tidak mensyukuri ni’mat yang salah satunya berupa diampunkannya seluruh dosa tanpa terkecuali.Pen). Disini bukan berarti Nabi pernah melakukan dosa kemudian diampuni. Akan tetapi – sekali lagi saya jelaskan bahwa – Nabi memang sama sekali tidak pernah melakukan dosa sekecil apapun, sejak beliau lahir sampai wafat, karena Nabi terjaga (ma’shum) dari perbuatan-perbuatan dosa.
Dari hadits nabawiy tersebut dapat kita pahami bahwa, Nabi – yang sudah dijamin tidak akan melakukan dosa dan telah dijamin masuk surga, dan derajatnya sudah jelas lebih tinggi dari pada wali – masih diwajibkan atasnya apa-apa yang diwajibkan atas umatnya. Beliau pun senantiasa dengan ikhlas melakukan dan menjalankan ajaran-ajaran (syari’at Islam) yang dibawanya, semisal shalat. Bagaimana dengan kita yang jelas-jelas derajatnya sangat jauh sekali di bawah beliau. Seorang wali pun tidak akan mampu naik ke derajat kenabian. Bahkan ada beberapa amal ibadah yang hukumnya wajib atas Nabi akan tetapi tidak diwajibkan atas umatnya. Karena apa? Karena Allah sebagai pembuat undang-undang syari’at (Al-Syaari’) telah mengetahui bahwa orang yang tidak pada derajat kenabian pasti tidak akan mampu untuk menjalankannya. Ini cocok dengan Firman-Nya di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat terakhir, yakni ayat 286 (bagi ulama’ yang berpendapat bahwa jumlah surat Al-Baqarah adalah 286 ayat. Karena ada yang berpendapat bahwa ayatnya berjumlah 287). Dan sekali lagi, ini menunjukkan bahwa "addiinu yusrun". Agama (Islam) merupakan agama yang mudah dan tidak terlalu memberatkan atas pemeluknya.
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَاـ ـ ـ ـ ـ الآية (البقرة : ٢٨٦)
Dari perkataan Nabi: "Apakah aku tidak menjadi hamba yang sangat bersyukur?" – yang terdapat di dalam haditsnya di atas – dapat kita simpulkan bahwa diwajibkannya suatu ibadah atas seorang hamba disamping karena harus menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang hamba, juga sebagai wujud rasa syukur atas semua yang telah diberikan oleh Allah yang memang sudah semestinya harus dan wajib untuk disyukuri. Dan diantara cara seorang hamba bersyukur kepada Allah adalah dengan mengetahui dan menyadari apa-apa yang telah dikaruniakan Allah pada hamba tersebut, memuji atas-Nya, dan juga melanggengkan ibadah-ibadah dengan tujuan ta’at kepada-Nya.
Sebagai penutup, perlu ditambahkan sebuah penjelasan bahwa untuk dapat mencapai suatu tingkatan dimana seorang hamba telah sampai pada tujuan terakhir pengembaraan spiritualnya menuju Allah – yang dalam istilah tasaufnya disebut wushul yakni berasal dari kata dalam bahasa Arab "washala" yang berarti sampai – itu harus melewati tiga tingkatan atau jalan yang harus dilaluinya. Ketiga jalan tersebut yaitu: Syari’at, Thariqah, dan Hakikat. Hakikat inilah yang disebut tujuan paling akhir. Dan pada tingkatan yang ketiga inilah seorang hamba akan diberikan keistimewaan yang tidak diperoleh pada tingkatan-tingkatan sebelumnya, yaitu berupa ma’rifatullah dan musyaahadatu nuurit tajalli. Artinya seseorang yang telah sampai pada tingkatan ini hatinya akan futuh atau dibukakan oleh Allah sehingga dapat melihat barang yang bersifat ghaib (gaib). Adapun hakikat ma’rifat ialah mau mensyukuri atas cobaan/bala’ (niqmah) dari-Nya sebagaimana mensyukuri nikmat-nikmat (ni’mah) dari-Nya. Inilah derajat yang tertinggi bagi manusia.
Tingkatan ketiga atau Hakikat ini tidak dapat dicapai kecuali telah melewati dua tahap sebelumnya. Artinya, seseorang tidak akan mampu mencapai derajat hakikat atau thariqah tanpa menjalankan syari’at dengan baik. Jadi, sebaik apapun kualitas iman seseorang, setinggi apapun derajatnya, masih tetap diwajibkan atasnya untuk menjalankan syari’at dan tidak meninggalkannya. Nabi – dalam kisah hadits yang tersebut di atas – yang sudah dijamin masuk surga saja masih diwajibkan atasnya. Oleh karena itu, hakikat tanpa syari’at adalah bathil. Dan syari’at tanpa hakikat akan hampa dan sia-sia, meskipun tidak sepenuhnya sia-sia (Akan dijelaskan nanti, insya Allah).
Misal orang yang hanya menggunakan hakikat tanpa ber-syari’at; Kita menyuruh seseorang agar melakukan shalat. Namun dengan hanya mengandalkan hakikat dan dengan kebodohannya itu dia berkata: "Ah, untuk apa shalat itu!? Bukankah beruntung (dan celaka)nya seseorang itu sudah ditetapkan pada zaman Azali (zaman dimana belum terciptanya satu pun makhluk.Pen). Pun kalau saya ditakdirkan termasuk orang yang beruntung, maka saya dapat masuk surga walaupun tidak shalat. Apabila tidak tergolongnya, maka tidak dapat masuk surga meskipun saya shalat dengan raka’at yang tak terhitung". Jelaslah bahwa anggapan seperti ini adalah salah (bathil).
Adapun misal orang yang hanya ber-syari’at dan tanpa diimbangi hakikat, ialah; Seseorang beramal karena mengharapkan surga. Lalu ia berkata: "Wah, seumpama tidak karena amal ibadahku ini, pasti saya tidak akan dapat masuk surga". Hal yang seperti ini juga pemahaman yang salah dan berujung pada kesia-siaan. Karena – seperti yang terdapat dalam hadits yang mulia diterangkan bahwa – seseorang masuk surga itu semata-mata anugerah (fadlal) dari Allah, dan sama sekali bukan karena amal ibadah itu sendiri.
Ada satu maqalah ‘Arab yang sesuai dengan penjelasan di atas:
من تفقّه ولم يتصوّف تفسّق، ومن تصوّف ولم يتفقّه تزندق
"Barangsiapa mendalami fan Fiqh (syari’at) tanpa diimbangi ilmu Tasauf (hakikat), dia dapat menjadi fasiq (orang yang berdosa besar). Dan barangsiapa bertasauf tanpa belajar Fiqh, dia dihukumi kafir Zindiq (na’udzubillah min dzaalik)".
Maqalah ini kalau dicermati dengan seksama akan menjelaskan kepada kita bahwa mereka yang notabenenya ahli Fiqh – meskipun dia tidak memperdalam Tasauf – itu lebih baik dari pada mereka yang mendalami Tasauf akan tetapi meninggalkan Fiqh. Karena gelar fasiq yang disandang ahli Fiqh itu lebih ringan dari pada gelar sebagai kafir Zindiq yang diperuntukkan kepada mereka ahli Tasauf yang anti-Fiqh. Ini bukan sekedar filsafat (buah pemikiran) kita. Ada ta’bir/statement yang mendukung kesimpulan di atas:
العالم حبيب الله ولو كان فاسقاً، والجاهل عدوّ الله ولو كان عابداً
Bahwa orang alim (dalam ilmu Fiqh) adalah kekasih Allah, meskipun dia seorang yang fasiq (karena dia tidak mau mengamalkan ilmunya, misalnya). Dan orang yang alpha dan bodoh (akan Fiqh) adalah musuh Allah, meskipun dia itu seorang ahli ibadah.
Karena ahli Fiqh dengan amalnya yang sedikit (misalnya.Pen) itu lebih besar kemungkinannya untuk diterima oleh Allah karena dia tahu betul bagaimana cara manjalankannya, dan inilah yang saya maksudkan dengan hampa/sia-sianya amaliah seorang ahli Fiqh yang fasiq meskipun tidak sepenuhnya sia-sia. Berbeda dengan orang yang bodoh. Meskipun dia melakukan ibadah siang-malam, akan tetapi dia tidak mengetahui bagaimana cara yang benar dalam menjalankannya, sehingga sudah tentu kesempatan (chance) diterimanya amaliah mereka menjadi sulit. Karena ketika ditanya mengenai tatacara beribadah, mereka menjawab: "Kita hanya ikut-ikutan orang lain. Orang lain beribadah seperti ini, ya saya ngikut aja caranya sesuai yang dijalankan". Mereka – orang-orang bodoh – tidak memiliki prinsip agama yang kuat dan hanya bisa taqlid buta. Lantas, bagaimana ketika yang dianutnya ternyata salah? Sebab itulah, Allah menjadikannya sebagai musuh. Hal ini sudah pernah dibahas dalam sebuah sya’ir Arab:
وكل من بغير علم يعمل * أعماله مردودة لا تقبل
Dalam sebuah perusahaan, manakah yang lebih diprioritaskan untuk diterima. Apakah sales yang pintar dan profesionalisme kerjanya tinggi akan tetapi dia terkadang mencuri dan mengambil keuntungan tersendiri atas pabriknya. Ataukah sales yang bodoh, kurang mampu melaksanakan tugas akan tetapi dia jujur, dan tidak mau colong-jumput?
So? Let’s wake up!! And Don’t ever give up!! Sebelum maut menjemput kita, hilangkanlah rasa patah semangat dalam belajar khususnya belajar ilmu agama. Teruslah belajar, belajar, dan belajar. Semakin banyak ilmu yang didapat, semakin banyak experience yang kita peroleh sebagai bekal dalam mengarungi hidup ini. Apalagi hidup di zaman yang modern dengan perkembangan IPTEK yang sangat pesat.
Mari kita tengok kembali penjelasan tentang ketiga tahap yang harus dilalui seorang hamba dalam pengembaraan spiritualnya. Ketiga tahap atau tingkatan tersebut yaitu: Syari’at, Thariqah, dan Hakikat. Syari’at adalah perintah dan larangan Allah yang telah ditetapkan oleh-Nya. Thariqah adalah menjalankan syari’at tersebut dan mengamalkannya. Sedangkan Hakikat ialah tingkatan dimana dalam tingkatan tersebut seorang hamba dapat melihat bathin-bathin atau hakikat-hakikatnya suatu perkara, kenapa seseorang diperintah ini-itu, dan dilarang ini-itu, dan sebagainya.
Penjelasan kontekstualnya seperti di bawah ini.
Syari’at ibarat sebuah kapal (dengan berbagai alat bantu selam.Pen). Thariqah adalah lautannya, yaitu tempat dimana mutiara tersimpan. Dan Hakikat merupakan mutiara yang terdapat dalam dasar laut tersebut, yang dapat dimanfaatkan dan sangat berharga. Seseorang yang mengincar/mencari mutiara (Hakikat), dia tidak akan dapat sampai padanya kecuali telah berada di tengah laut (Thariqah). Dan dia tidak akan mampu berada di tengah laut – untuk kemudian diselami dan diambilnya mutiara tersebut – kecuali dengan menggunakan kapal dan alat bantu selam (Syari’at). Karena itulah, hakikat tanpa syari’at adalah bathil. Sebab sama saja dia menginginkan mutiara yang berada di dalam laut dan dia pun menyelam tetapi tanpa menggunakan kapal dan alat bantu selam. Bagaimanakah nasibnya? Begitu juga, syari’at tanpa hakikat juga hampa. Karena dia tidak akan mendapatkan apa-apa, apalagi mutiara yang sangat berharga yang berada di dasar laut. Dia mempunyai kapal beserta alat selam, akan tetapi tidak digunakannya. Bukankah ini hal yang sia-sia? Dan hanya akan berbuah kehampaan dengan tangan kosong, tidak mendapatkan satu apapun. Wallaahu a’lam bish-showaab.