HIKMAH 9 : Warna-Warni Amal Manusia
Oleh : KH. A. Wafi, Lc.
تنوعت اجناس الأعمال بتنوع واردات الأحوال
"Amal itu bermacam-macam sesuai keadaan manusia"
1. Penjelasan dan Contoh
Manusia memiliki kondisi (keadaan) yang berbeda-beda. Keadaan seorang manusia belum tentu sama dengan keadaan manusia yang lain. Secara spesifik, keadaan tersebut terbagi menjadi dua macam.
Pertama : keadaan hati (al-Ahwal an-Nafsiyyah)
Kedua : keadaan sosial (al-Ahwal al-Ijtima’iyyah)
a. Ahwal Nafsiyyah
Yang dimaksud dengan keadaan hati di sini adalah suatu ibarat dari perasaan yang masuk (lewat) dalam diri manusia dan tidak menetap. Perasaan tersebut datang dari hasil berfikir dan berangan-angan terhadap sifat dan nama-nama Allah yang baik (Al-Asma’ Al-Husna). Sifat-sifat itulah yang mempengaruhi dan mendorong untuk melakukan amal-amal yang sesuai dengan dirinya. Perasaan tersebut juga bisa ditimbulkan oleh keadaan masa lalu seseorang yang gelap dan bergelimbang dalam ma’siat. Perasaan salah ini akan menambah rasa takut manusia akan siksa Allah dan rasa sakit ketika ingat masa lalunya di sisi Allah SWT.
Sebagian orang shalih misalnya, ada yang selalu bersikap ramah, dermawan, berbuat baik, dan selalu memaafkan. Semua sikap tersebut bersumber dari selalu mengingat sifat-sifat jamalullah (keindahan) dari Al-Asma’ Al-Husna. Oleh karena itu, dia selalu melakukan amal shalih yang berlandaskan atas prasangka baik terhadap Allah (husnu dzan). Sehingga ketika dia mengingatkan manusia kepada Allah SWT mereka selalu mengingatkan akan besarnya anugerah, pemberian nikmat dan ampunan-Nya.
Sebagian mereka juga ada yang selalu dihinggapi perasaan takut karena yang selalu dia pikir adalah sifat-sifat jalalullah (keagungan Allah) seperti al-Qahar al-Muntaqim . maka mereka akan beramal menurut perasaan takut ini, khususnya bagi mereka yang mempunyai masa lalu kelam.
Perbedaan-perbedaan inilah yang dimaksud dengan kondisi manusia (ahwal). Kondisi tersebut datang kepada manusia, kemudian menetap (bisa lama dan bisa sebentar). Perbedaan kondisi inilah yang menjadikan amal itu bermacam-macam.
Cerita para shalihin
Di sini perlu kita jelaskan perbedaan para auliyaillah yang menjelaskan bahwa mereka berbeda-beda dalam amalnya karena tergantung keadaan hati mereka yang berbeda-beda:
a. Dawud Al-Tha’i
Dia adalah salah satu ulama shalihin yang selalu melewati malam tanpa memejamkan mata (tidur). Dia selalu berdo’a : "Ya Allah, dengan selalu memikirkanmu menjadikan hilangnnya kesusahan-kesusahan duniaku dan menghalang-halangi diriku dari tidur".
b. Fudlail Ibnu Iyadh
Diceritakan bahwa suatu ketika dia wukuf di Arafah bersama orang-orang yang haji. Namun dia tidak berdo’a dan berdzikir sebagaimana yang dilakukan jamaah haji lain. Dia hanya ingat terhadap masa lalunya yang gelap, sehingga lupa untuk berdo’a dan berdzikir. Imam Ishaq bin Ibrahim Al-Thabari bercerita bahwa dia wukuf bersama Imam Fudlail bin Iyadh di Arafah. Dia tak pernah mendengar Imam Fudlail berdo’a. Imam Fudlail hanya menaruh tangan kanannya, ditempelkan ke pipinya dan menundukkan kepala seraya menangis. Hal ini yang dilakukan Imam Fudlail sepanjang hari arafah, dan ketika sudah sore (sudah waktunya berangkat) dia berdoa serasa mengangkat tangan "Oh..alangkah jeleknya diriku walaupun Tuan telah mengampuniku" .
c. Imam Sirry Al-Shaqathy
Imam Sirry Al-Shaqathy selalu beristighfar dan memohon ampunan kepada Allah selama 30 tahun. Hal itu dia lakukan tidak lain hanya karena dia mengucapkan Alhamdulillah satu kali ketika dia mendapat kabar bahwa tokonya selamat dari kebakaran sedangkan toko-toko yang lain terlalap api.
d. Ma’ruf Al-Kharkhi
Suatu ketika Imam Ma’ruf Al-Kharkhi berpuasa, lalu dia mendengar orang yang memberi sadaqah minuman berkata : "Semoga Allah memberi rahmat orang yang mau minum dariku". Kemudian dia mendatangi orang tersebut dan minum darinya. Ketika ditanya "Bukankah engkau berpuasa?", dia menjawab : "Ya, tetapi saya mengharap do’a orang tersebut".
Apa yang dilakukan para auliya’ tersebut bisa jadi mendapat kritik dari orang yang tidak paham nasehat Ibnu Atha’illah:
تنوعت اجناس الأعمال بتنوع واردات الحوال.
Artinya : "Amal itu bermacam-macam sesuai dengan keadaan manusia".
Memang amal yang sesuai dengan keadaan Fudlail Ibnu Iyadh ketika wukuf di Arafah adalah menundukkan kepala dan merasa malu kepada Allah SWT, karena dia teringat kedaan masa lalunya yang selalu jauh dari Allah SWT. Jadi tidak perlu dipungkiri lagi bahwa pahala Imam Fudlail sama dengan pahala orang yang berdo’a dan dzikirnya wukuf di Arafah.
Begitu juga dengan amal yang sesuai keadaan lmam Sirry al-Ahaqathy, ketika dia menyesal dan malu kepada Allah SWT karena dia mengucapkan Alhamdulillah (waktu tokonya tidak terbakar) adalah beristighfar dan mohon ampunan Allah SWT, karena itu berarti dia telah merasa mementingkan diri sendiri dan tidak perduli akan musibah yang melanda muslimin lain.
Adapun amal yang sesuai dengan keadaan Imam Dawud Al-Tha’i (tidak bisa tidur di malam hari) adalah kesusahan hatinya itu sendiri. Sebagaimana cerita di atas, dia tidak bisa tidur karena memikirkan Allah. Maka tidak boleh dikatakan bahwa dia menyalahi sunnah Rasulullah SAW. Sebagaimana sabda Rasulullah :
أما أنا فأصوم وأفطر وأنام الليل وأتزوج النساء.
Artinya : "Adapun aku, maka berpuasa, berbuka, tidur malam dan juga menikahi wanita".
Imam Dawud tidak bisa dikatakan menyalahi Nabi, karena memang keadaannya memaksa dia untuk tidak bisa tidur.
Imam Ma’ruf Al-Karkhi juga demikian. Ketika dia mendengar orang yang memberi minum berkata : "Semoga Allah memberi rahmat orang orang yang mau minum dariku". Lalu dia minum air darinya dan membatalkan puasanya. Hal tersebut tidak lain karena Al-Karkhi berharap semoga Allah memasukkannya termasuk orang yang mendapat rahmat-Nya. Jadi tidak boleh dikatakan bahwa yang dilakukan Imam Ma’ruf itu tidak sesuai dengan pendapat sebagian ulama’ fiqih, bahwa amal sunnah itu jika sudah dikerjakan, maka wajib untuk diteruskan dan tidak boleh dipotong. Karena konteks di sini adalah masalah hukum ijtihadi. Sebagaimana ulama’ fiqih boleh berijtihad maka begitu juga Imam Ma’ruf berhak untuk berpendapat bahwa yang baik baginya adalah membatalkan puasa.
Jika kita telah mengetahui apa yang dimaksud hikmah Ibnu ‘Atha’illah dengan berbagai contoh di atas, maka kita pasti tidak akan berani untuk menyalahkan dan menghina As-Shalihin. Terkadang kita melihat apa yang dikerjakan mereka dari segi dhahirnya itu menyalahi syari’at, namun dari segi batinnya apa yang mereka kerjakan adalah benar karena memang itu yang cocok dengan keadaan perasaan hati mereka.
b. Ahwal Ijtima’iyyah
Di sini kami kemukakan beberapa contoh yang memudahkan kita untuk memahami perbedaan amal karena beda-bedanya keadaan status sosial masyarakat.
1). Orang yang belum menikah tidak memiliki tanggung jawab kecuali pada dirinya sendiri. Oleh karena itu amal yang sesuai dengan dirinya adalah amal-amal yang bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah. Setelah mengerjakan amal wajib, maka yang perlu dilakukan adalah mengosongkan waktu untuk menambah ibadah-ibadahnya. Misalnya dengan memperbanyak membaca Al-Qur’an, menghadiri majlis dzikir, majlis ilmu dan sebagainya.
2). Orang yang telah menikah, maka dia memiliki tanggung jawab yang lebih, yaitu pada dirinya sendiri dan keluarganya. Dia harus bisa adil dan seimbang antara mengurusi keluarga dan beribadah kepada Allah. Dia harus mengetahui bahwa usahanya dalam mencukupi kebutuhan keluarga merupakan amal ibadah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, termasuk di antaranya adalah duduk dan berkumpul bersama keluarga, supaya tercipta suasana kasih sayang dan harmonis. Bekerja di pasar untuk mencari rizqi, mendidik anak dan menjaga agar selalu lurus di jalan hidayah merupakan suatu amal ibadah yang penting. Selain melakukan tanggung jawab kepada keluarga, dia juga tidak boleh melupakan kewajibannya sendiri, yaitu beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana yang dia kerjakan sebelum menikah.
3). Seseorang yang bekerja dalam suatu pabrik, amal yang bisa mendekatkan dirinya kepada Allah (setelah amal wajib) adalah tekun bekerja sebagaimana yang telah ditugaskan dan diamanatkan dari perusahaan dan atasannya. Artinya semua waktu kerja yang telah ditetapkan sepenuhnya harus untuk bekerja, kecuali hanya beberapa menit untuk melaksanakan shalat fardlu. Oleh karena itu, dia tidak boleh menggunakan waktu satu menit pun untuk melaksanakan amal sunnah seperti membaca Al-Qur’an dan mempelajari ilmu syari’at.
Sekarang ini ada sebagian pekerja yang sengaja mengulur-ulur waktu dengan memperlama wudlu dan shalatnya, karena mereka memang sangat malas untuk bekerja. Terkadang juga ada yang menggunakan waktu (setelah shalat) untuk membaca Al-Qur’an dan berdiskusi seputar agama. Mereka berasumsi bahwa pekerjaan tersebut bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah. Sungguh sangat keliru argument tersebut, karena mereka telah menggunakan waktu yang bukan miliknya. Sesungguhnya waktu yang dia gunakan adalah milik pemilik pabrik yang harus mereka gunakan untuk bekerja. Inilah hukum syari’at yang telah ditetapkan dalam bab sewa-menyewa (ijarah) yang bersumber dari syari’at Islam.
4). Seorang pegawai yang bekerja dalam sebuah kantor, maka amal yang harus dikerjakan adalah tekun dalam menjalankan tugas yang telah di bebankan kepadanya. Dia harus mengetahui bahwa pahala yang disiapkan Allah sebagai imbalannya dalam menjalankan tugas tersebut tidak akan kurang dari pahala ibadah dan amal yang dilakukan orang-orang yang berdzikir dan membaca Al-Qur’an. Namun dengan syarat bahwa dia harus bekerja untuk mencari ridla Allah SWT dan apa yang dia kerjakan itu ada manfaatnya bagi orang lain dan juga disyari’atkan oleh agama Islam.
5). Orang yang memiliki jabatan kekuasaan, maka yang harus dia kerjakan adalah melayani masyarakat, menjaga hak-haknya dan menjaga keamanannya. Kita tidak boleh beranggapan bahwa apa yang menjadi tugasnya itu tidak terlalu penting dan tidak bisa menjadi amal ibadah. Kita juga tidak boleh berasumsi bahwa tugasnya tersebut tidak bisa mengalahkan amal orang-orang yang beribadah dan menjalankan shalat-shalat sunnah. Apa yang dikerjakan tersebut dapat menjadi amal ibadah jika memang didasari ridla kepada Allah dan yang perlu diperhatikan, pejabat tersebut juga tidak boleh meninggalkan kewajiban-kewajiban dan rukun-rukun Islam.
2. Kesimpulan
Allah telah memberikan kekuatan yang berbeda-beda untuk melaksanakan ibadah dan amal yang juga berbeda-beda. Konsekwensinya, setiap individu harus melakukan amal yang sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya. Sehingga ada orang yang diberi kemampuan oleh Allah untuk menyebarkan dan mengajarkan ilmu agama, konsekwensinya dia harus menyebarkan dan mengajarkan dengan cara apapun.
Ada juga orang yang diberi kemampuan untuk mendamaikan dua orang yang sedang berselisih, maka tugas itulah yang harus dikerjakan karena itu merupakan anugerah Allah SWT. Dia harus yakin bahwa itu merupakan amal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah.
Dan ada juga orang yang tidak memiliki kemampuan sedikitpun, namun dia sangat giat dan senang untuk menolong masyarakat dan memenuhi kebutuhan mereka, maka pekerjaanya itu adalah amal ibadah yang menjadi kewajibannya dan telah dibebankan oleh Allah kepadanya.
Dengan demikian maka amal setiap manusia tidak harus sama dengan manusia yang lain. Allah telah menentukan amal apa yang sesuai dengan masing-masing individu, sehingga jelaslah apa yang dimaksud dengan hikmah Ibnu ‘Atha’illah di atas. (Mazkain)