Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan Muslimah kerap dihadapkan pada situasi di mana kedatangan atau berlanjutnya masa haid (menstruasi) bisa menjadi kendala dalam pelaksanaan ibadah, seperti shalat, puasa, dan ibadah haji atau umrah. Seiring perkembangan ilmu kedokteran, muncul pertanyaan terkait hukum penggunaan obat-obatan yang dapat mempercepat, mengurangi, atau bahkan menunda haid.
Pertanyaan:
Bagaimana hukum seorang perempuan yang meminum obat untuk mempercepat masa haid atau nifas, sehingga masa haid atau nifasnya berubah dari adat (kebiasaan) sebelumnya? Dalam hal ini, manakah yang menjadi acuan: adat (kebiasaan) atau kenyataan baru yang terjadi setelah penggunaan obat?
Jawaban:
Hukum perempuan yang meminum obat untuk mempercepat masa haid atau nifas ditafshil (dirinci) sebagai berikut:
- Boleh, apabila ada udzur syar‘i, seperti untuk menyempurnakan ibadah Haji atau Umrah.
- Makruh, apabila tidak ada udzur dan dapat memperlambat kehamilan.
- Haram, apabila penggunaan obat tersebut menyebabkan terhentinya kehamilan secara permanen (sterilisasi).
- Adapun hitungan masa haid atau nifas setelah penggunaan obat dihukumi berdasarkan kenyataan yang terjadi, bukan kebiasaan sebelumnya.
Penjelasan:
A. Ketentuan Masa Haid dan Nifas dalam Madzhab Syafi’i
Dalam fiqh Syafi‘i, masa haid dan nifas sudah ditentukan berdasarkan hasil istiqrā’ (penelitian empiris) Imam al-Syafi‘i terhadap kebiasaan perempuan-perempuan di zamannya. Ketentuan tersebut meliputi:
- Minimal haid: 1 hari 1 malam.
- Maksimal haid: 15 hari 15 malam.
- Masa suci minimal antar dua haid: 15 hari.
- Minimal nifas: Seketika (sekadar keluar darah).
- Maksimal nifas: 60 hari.
Perubahan masa haid atau nifas melalui obat-obatan adalah isu kontemporer yang menuntut kajian mendalam sesuai kaidah fikih dan maqāshid al-syarī‘ah.
B. Hukum Mempercepat atau Mengubah Masa Haid dengan Obat
Para ulama membahas hukum penggunaan obat yang mempengaruhi siklus haid dengan berbagai rincian (tafsil) sebagai berikut:
- Boleh dengan Uzur Syar‘i
في غاية تلخيص المراد من فتاوى ابن زياد الصفحة: 247 ما نصه:
وفي فتاوى القماط : ما حاصله جواز استعمال الدواء لمنع الحيض.
Dalam Ghayatu Talkhīṣ al-Murād min Fatāwā Ibn Ziyād dijelaskan bahwa menurut Fatawa al-Qimath, dibolehkan secara syariat menggunakan obat-obatan untuk menunda atau mencegah datangnya haid (menstruasi), terutama untuk tujuan ibadah seperti haji, puasa Ramadhan, atau umrah.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Ibnu ‘Umar, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fath al-Bārī karya Ibn Rajab, yang membolehkan wanita istihādhah meminum obat agar darahnya berhenti, demi bisa melaksanakan thawaf dan manasik haji.
فتح الباري – لابن رجب الجزء: 1، الصفحة : 456
ولكن قد روي عن ابن عمر ما يشعر بمنع المستحاضة من الطواف ، فروى عبد الرزاق ، عن معمر ، عن واصل مولى ابن عيينة . عن رجل سأل ابن عمر عن امرأة تطاول بها الدم ، فأرادت تنفر ، وأرادت تشرب دواء ليقطع عنها الدم ؟ قال : لا بأس به. ونعت ابن عمر لها ماء الأراك.
“Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Umar (sahabat Nabi) pernah ditanya tentang seorang Wanita yang darahnya mengalir terus-menerus (istihadhah) dan ia ingin berangkat (meninggalkan Makkah) serta ingin meminum obat agar darahnya terhenti. Maka Ibnu ‘Umar berkata: ‘Tidak mengapa (boleh baginya melakukannya).’ bahkan Ibnu ‘Umar pun menyebutkan (merekomendasikan) jenis obat air arak untuknya. yaitu air dari kayu siwak atau kayu arak yang diyakini bisa membantu menghentikan pendarahan.”
Pendapat ini juga sejalan dengan prinsip raf‘u al-haraj (menghilangkan kesulitan) dalam maqāshid al-syarī‘ah.
- Makruh tanpa Uzur
Jika penggunaan obat tidak dilandasi oleh kebutuhan syar’i dan hanya bertujuan menunda haid atau kehamilan tanpa keperluan mendesak, maka hukumnya makruh. Ini berdasarkan prinsip bahwa Islam menganjurkan untuk memperbanyak keturunan, serta memandang hifdzu al-nasl (penjagaan dan pengembangan keturunan) sebagai bagian dari maqashid syariah.
Dalam Hasyiyah al-Syarqawi ditegaskan bahwa penggunaan alat atau obat yang hanya memperlambat kehamilan tanpa memutusnya tidak haram, tetapi makruh jika tanpa alasan yang sah.
وفي حاشية الشرقاوي الجزء 2، الصفحة : 293, ما نصه:
واما استعمال ما يقطع الحبل من أصله فهو حرام بخلاف ما لا يقطعه بل يبطئه مدة فلا يحرم بل إن كان لعذر كتربية ولد لم يكره أيضا وإلا كره
“Menggunakan alat atau obat yang memutuskan kehamilan secara permanen (sterilisasi): Hukumnya haram, karena dianggap menghalangi keturunan secara total. Berbeda halnya dengan sesuatu yang tidak memutusnya, tetapi hanya memperlambat (menunda) kehamilan untuk sementara waktu, maka hukumnya tidak haram. Bahkan, Jika disertai uzur syar’i (misalnya demi mendidik anak agar mendapat perhatian lebih), maka tidak makruh. Tetapi jika tanpa alasan yang sah, maka makruh (tidak haram, tetapi sebaiknya dihindari).”
- Haram jika Menyebabkan Kemandulan Permanen (Sterilisasi)
Apabila obat atau tindakan medis yang dilakukan menyebabkan kemandulan permanen (sterilisasi), maka hukumnya haram. Hal ini karena bertentangan dengan tujuan syariat dalam menjaga kelangsungan keturunan (hifz al-nasl). Allah memerintahkan agar manusia menjaga keturunannya sebagai bagian dari tanggung jawab besar dalam kehidupan.
Pernyataan ini didukung oleh Hāsyiyah al-Syarqāwī dan Qurrat al-‘Ayn, yang secara tegas menyebutkan keharaman segala tindakan yang memutus keturunan secara mutlak.
واما استعمال ما يقطع الحبل من أصله فهو حرام
“Menggunakan alat atau obat yang memutuskan kehamilan secara permanen (sterilisasi): Hukumnya haram.”
Demikian pula dalam Qurrat al-‘Ayn bi Fatāwā al-Haramayn, disebutkan bahwa menggunakan obat untuk mencegah atau mengurangi haid hukumnya bisa haram, jika sampai menyebabkan terputusnya keturunan.
وفي قرة العين بفتاوى الحرمين الصفحة : 30, ما نصه:
مسألة : إذا استعملت المرأة دواء لمنع دم الحيض أو تقليله فإنه يكره ما لم يلزم عليه قطع النسل أو قلته وإلا حرم كما في حاشية الخرشي.
“Masalah: Jika seorang wanita menggunakan obat untuk mencegah darah haid atau menguranginya, maka hukumnya makruh selama tidak mengakibatkan terputusnya keturunan atau berkurangnya keturunan. Namun, Jika penggunaan obat tersebut menyebabkan terputusnya keturunan (steril) atau mengurangi keturunan secara signifikan: Maka hukumnya haram karena bertentangan dengan tujuan syariat yang memelihara kelangsungan keturunan (hifz al-nasl).”
C. Patokan Masa Haid: Adat atau Kenyataan?
Para ulama Syafi’iyyah bersepakat bahwa yang menjadi pegangan dalam penentuan masa haid adalah kenyataan yang terjadi, bukan adat kebiasaan sebelumnya. Dengan demikian, jika seorang perempuan biasa haid tujuh hari, tetapi setelah minum obat haidnya berhenti pada hari ketiga, maka yang dihitung sebagai haid adalah tiga hari tersebut.
Hal ini ditegaskan dalam kitab Al-Muhadzdzab, bahwa jika darah haid berhenti lebih awal dari adat, maka perempuan tersebut dihukumi suci berdasarkan kenyataan, bukan adat.
ففي المهذب الجزء : 1، الصفحة : 39 ما نصه :
وانقطع ليوم وليلة أو الخمسة عشر يوما أو لما بينهما فهو حيض فتغتسل عند انقطاعه سواء كان الدم على صفة دم الحيض أو على غير صفته وسواء كان لها عادة وخلفت عادتها أو لم تكن
“Jika darah terputus dalam sehari semalam atau lima belas hari atau antara keduanya, maka itu tetap dihitung haid, meskipun sifat darahnya berubah, adatnya berbeda atau bahkan tanpa adat.”
Maka, apabila seorang wanita meminum obat sehingga haidnya terpotong atau dipercepat, maka yang dihitung adalah kenyataannya, bukan adatnya. Sebab, hukum fiqh menyesuaikan dengan realitas darah yang keluar dan berhenti.
Sebagaimana kaidah fikih menyebutkan:
العبرة للظاهر لا للعادة
“Yang menjadi pegangan adalah kenyataan yang tampak, bukan adat kebiasaan.”
D. Dalil-dalil dari Riwayat Ulama
Dalam masalah ini, riwayat para sahabat dan tabi’in menjadi pijakan yang kuat. Dalam Fath al-Bari disebutkan bahwa Ibnu ‘Umar membolehkan seorang wanita menggunakan obat untuk menghentikan pendarahan agar dapat melaksanakan thawaf. Bahkan Ibnu ‘Umar memberikan rekomendasi jenis obat berupa air kayu siwak (air kayu arak).
Demikian pula Ibnu Juraij meriwayatkan dari Atha’ bahwa penggunaan obat tersebut tidak dipandang sebagai perkara yang terlarang.
وقال ابن جريج عن عطاء : أنَّه لم ير به بأساً . قال معمر : وسمعت [ ابن ] أبي نجيح يسأل عن ذَلِكَ ، فلم ير به بأساً
Ibnu Juraij meriwayatkan dari ‘Atha’ bahwa ia tidak memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang terlarang. Ma‘mar berkata: Aku mendengar Ibnu Abi Najih ditanya tentang hal itu, maka ia juga tidak memandangnya sebagai sesuatu yang terlarang.
Hal ini menunjukkan adanya kelonggaran syariat dalam masalah biologis seperti haid, khususnya dalam konteks ibadah.
Mayoritas ulama juga berpendapat bahwa wanita yang mengalami istihadhah tetap diperbolehkan melaksanakan thawaf atau ibadah lainnya dengan syarat menjaga kebersihan sesuai ketentuan. Sebagian pendapat mengatakan;
أن الأولى للمستحاضة أن لا تطوف حتى ينقطع دمها . وجمهور العلماء على جواز ذلك
“Sesungguhnya yang lebih utama bagi wanita istihadhah adalah tidak melakukan thawaf hingga darahnya berhenti. Akan tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa hal tersebut boleh (wanita istihadhah tetap boleh thawaf).”
Riwayat-riwayat ini memberikan legitimasi syar‘i bahwa tindakan medis untuk menghentikan atau mempercepat haid diperbolehkan apabila ada kebutuhan dan tidak menyebabkan mafsadah yang lebih besar.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
No. |
Hukum |
Penjelasan |
Contoh atau Syarat |
1. |
Boleh |
Diperbolehkan minum obat untuk mempercepat atau menunda haid apabila ada uzur syar‘i. |
Untuk menyempurnakan ibadah Haji atau Umrah, puasa Ramadan, thawaf, dan ibadah lainnya. |
2. |
Makruh |
Tidak dianjurkan (makruh) jika tidak ada kebutuhan syar‘i, dan dapat memperlambat kehamilan. |
Tanpa alasan syar‘i, hanya untuk kepentingan pribadi. |
3. |
Haram |
Diharamkan jika penggunaan obat menyebabkan kemandulan permanen atau memutus keturunan. |
Sterilisasi atau penggunaan obat permanen yang memutus keturunan. |
Adapun yang dijadikan patokan dalam menentukan masa haid atau nifas setelah penggunaan obat adalah kenyataan darah yang keluar dan berhenti, bukan semata-mata kebiasaan yang telah lalu.
Meskipun fikih memberikan ruang kebolehan, ada beberapa etika dan batasan yang perlu diperhatikan dalam penggunaan obat yang mempengaruhi haid:
- Harus mempertimbangkan maslahat dan mafsadat (dampak manfaat dan bahaya).
- Tidak boleh digunakan secara sembrono atau demi kepentingan yang tidak syar’i.
- Harus mendapatkan pertimbangan medis yang aman dan terpercaya.
Dalam tradisi Islam, pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs) dan keturunan (hifzh al-nasl) adalah dua tujuan pokok yang harus dijaga.
Wallāhu a‘lam bi al-shawāb.
Referensi:
Talkhishul Murod hal. 247
Asy Syarqowi Juz 2 hal. 293
Qurrotul ‘Ain Fiy Fatawil Haromain hal. 30
Al Muhadzdzab Juz 1 hal. 39
Fathu al Bari Li Ibni Rojab Juz 1 Hal 456.
Sumber; Hasil Nadawah Fiqhiyyah ‘Anil Qodloyo asy-Syar’iyyah H. PP. Al-Anwar 1 Sarang Rembang Jawa Tengah Tahun 1397 H.