مِنْ عِلاَمَةِ اتِّبَاعِ الْهَوَى، الْمُسَارَعَةُ اِلَى نَوَافِلِ الْخَيْرَاتِ، وَالتَّكَاسُلُ عَنِ الْقِيَامِ بِالْوَاجِبَاتِ
“Termasuk tanda dari mengikuti hawa nafsu: bersegera dalam melaksanakan kesunnahan, tetapi bermalas-malasan dalam menunaikan kewajiban”
Mengikuti hawa nafsu merupakan mara bahaya terbesar bagi manusia yang kerap kali disepelekan. Nafsu yang acap kali mereka umbar-umbarkan itu terkadang terlihat seolah-olah seperti kebaikan dan kesalehan yang membuat orang melihatnya akan tertegun kagum. Padahal dibalik itu terdapat bahaya besar yang terpicu dari hati yang cemar.
Manusia bisa terjerumus ke dalam lubang hawa nafsu karena dua hal :
1. Mengerjakan kesunnahan sedang ia mengabaikan kewajiban (fardhu) “ Tarku al wajib lis sunnah “.
2. Dalam pengamalanya hanya mementingkan bagian luar dan mengabaikan bagian dalam (niat dan ikhlas). Padahal sebuah amal itu jika tidak diiringi dengan keihlasan dan tidak sesuai dengan tuntunan syari’ah maka ibadah tersebut tidak akan diterima oleh Allah,
بلى من اسلم لله وهو محسن فله اجره عند ربه ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون
“Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”( Al Baqoroh : 112 )
Contoh orang yang melakukan kebaikan tetapi masih tergolong mengikuti hawa nafsunya adalah seorang santri atau pelajar yang ketika belajar (muthola’ah) saking seriusnya sampai malam menjadi larut sehingga kadang mereka tak terasa kalau waktu sudah mendekati subuh. Akan tetapi, bukannya menunggu adzan dan sholat subuh terlebih dahulu mereka malah bergegas mengambil bantal dan menyiapkan tempat tidurnya. Akhirnya, bangunnya pun kesiangan dan sholat subuh pun harus di qodlo’.
Begitu juga orang yang suka berdakwah dan mengikuti jama’ah tabligh yang sampai lupa akan keadaan sekitarnya, malah keluarganya pun ditinggal dalam keadaan tidak diberi nafkah. Padahal hal memberi nafkah kepada keluarga itu hukumnya wajib bagi mereka. Tak jauh pula orang yang pergi bekerja dan bertemu dengan banyak orang, mereka selalu bersikap sosial dan mengembangkan senyumnya untuk orang banyak tetapi ketika sudah kembali ke rumah mereka sudah merasa capek untuk melempar senyum ataupun sekedar menampakkan wajah yang berseri kepada istri dan anak-anaknya.
Ibnu ‘Athoillah berkata : “sesungguhnya tanda bahwa mereka semua –bahkan semisalnya masih banyak lainnya- termasuk mengikuti hawa nafsunya adalah berpalingnya mereka dari kewajiban yang konsekuensinya adalah siksa bagi mereka ketika meninggalkannya, dan bersegeranya mereka akan kesunnahan-kesunnahan yang ketika ditinggalkan pun tidak ada dosa bagi mereka.
Kongklusinya, jika kita mengharapkan ridho Allah SWT maka perkara-perkara sunnah tersebut harus kita nomer dua kan dan lebih memprioritaskan perkara yang wajib. Menuruti hawa nafsu itu sebenarnya bukan hanya berbentuk kemaksiatan, banyak hal yang berbentuk keta’atan tetapi tergolong mengikuti hawa nafsu. Hal itu bisa terlihat pada orang yang beribadah akan tetapi tidak memandang pada tingkatan-tingkatan ibadahnya dan tidak tahu mana yang lebih utama. Jangan sampai melakukan perkara yang memberi maslahah secara harta (مصالح المال) akan tetapi meninggalkan perkara yang memberi maslahah secara agama (مصالح الدين). Begitu juga mencari kebutuhan yang bersifat sekunder (حاجية) tanpa memandang kewajiban yang bersifat primer (ضرورية) terlebih dahulu. begitu pula meninggalkan kebutuhan sekunder (حاجية) demi perkara yang pelengkap dan penghias atau tersier (تحسينية). Dan yang lebih penting lagi, hati kita boleh-boleh saja ingat pada perkara-perkara yang selain Allah tetapi kita tidak boleh hanya sampai terikat pada perkara itu saja dengan melupakan Allah SWT. Sehingga proses dzikru ilallah itu harus terus tetap terjaga.