Pagi buta itu, aku telah berdandan rapi dan siap menjemput hari yang paling kunantikan. Semalam aku tidur tidak lebih dari satu jam saja. Entah mengapa kelopak mataku begitu congkak tak mau sedikitpun terpejam. Mungkin kabar gembira dua hari yang lalu tentang panggilan kerja di PT. Persada Muda telah membuatku berbangga hati.

Menurutku hal ini adalah prestasi besar dalam hidupku. Dari penyaringan 1500 pendaftar, namaku termasuk lima orang yang diterima di perusahaan itu. Tapi aku masih ragu apakah memang aku termasuk lima terbaik dari sekian banyak orang. Setidaknya aku harus yakin bahwa aku lebih bernasib baik ketimbang mereka. Aku tak mungkin egois dengan mengatakan aku lebih berkualitas dari pada mereka. Bayangkan, aku belajar selama 12 tahun dikurangi liburan sekolah 12 kali sebulan dan tiap pekannya aku hanya menyisakan 6,5 jam X 6 hari. Itupun belum dikurangi 2X15 menit istirahat dan sering molor menjadi 2X20 menit.

Praktis di umurku yang ke 20 tahun ini aku hanya menghabiskan tidak lebih dari 2 tahun saja untuk belajar. Selebihnya adalah waktu yang sangat mungkin untuk melupakan sesuatu yang hanya dua tahun itu.

Tepat pukul 06.00 WIB aku telah duduk di halte bus yang tak jauh dari tempatku beberapa hari ini menumpang tidur. Agar tidak terlalu kepagian, aku bermaksud duduk-duduk dulu di tempat itu membayangkan suasana kantor yang bersih dan bertemu bos yang sangat tegas dan menakutkan. Tapi apapun karakternya, aku akan dengan senang hati menjalankan tugas yang dibebankan kepadaku.

Jalan raya di depanku belum begitu padat, hanya dilewati mobil L300 yang mengangkut sayur dari daerah pinggiran dan beberapa sepeda motor yang menuju ke arah pasar.

"Koran-koran, Koran, baru Koran," Suara itu muncul dari orang yang mengenakan kaos oblong dengan celana pendek, bertopi hitam dan memanggul tumpukan Koran di pundaknya.

"Jam berapa ia bangun. Masih pagi begini sudah menjajakan koran. Terus jam berapa ia pergi ke agennya untuk mengambil Koran," Pikirku yang heran melihat semangat kerja tukang koran itu. Mengetahui aku yang dari tadi mengamatinya, tukang koran tersebut tersenyum dan berjalan mendekat ke arahku.

"Koran pak, beritanya bagus-bagus," Sambil menunjukkan halaman depan koran yang ia bawa.

"Maaf Bang, ntar pasti sudah ada di kantor!" Jawabku dengan sedikit melirik kearah foto yang tertera di koran.

"Buat penglaris pak. Dari tadi belum ada yang beli," Ibanya.

"Ini kan masih pagi. Ntar juga laku!" Tegasku menolaknya karena masih terus-terusan disodori koran itu.

"Pak, tolong beli satu dong pak, buat sarapan saya!" Rengeknya sambil menggaruk-garuk kepalanya.

"Memangnya berapa sih harganya?"

"Buat penglaris, Rp 3500 aja deh."

Orang itu langsung menaruh korannya di tanganku.

"Ya memang harganya segitu kan. Pake buat penglaris segala. Gini aja, kalau boleh Rp.?  3000 aku ambil satu," Aku berikan lagi koran yang telah aku pegang tadi. Mendengarkan tawaranku, ia diam sejenak lalu tersenyum.

"Ya udah pak. Gak apa-apa tapi jangan bilang yang lain. Ini harga teman, alias harga khusus," Ia meringis dan memberikan koran itu ke tanganku lagi.

Di dompetku yang hanya berisi dua lembar uang dua puluh ribuan, terpaksa aku harus mengeluarkannya satu untuk membeli koran itu.

"Ini uangnya, kembali Rp. 17000,- ya…"

"Sebentar, aku tukarkan dulu ke warung sebelah ya pak ya?!"

"Iya sana!"

Sambil menunggu, aku mulai mencari halaman olahraga karena ingin mengetahui hasil pertandingan liga Eropa pekan ini. Sampai tuntas aku membaca halaman itu, tukang Koran belum juga kembali memberikan kembalian uangku.

"Kemana orang itu, Ah barang kali dipakai sarapan dulu!" Pikirku yang heran kenapa ia lama sekali menukarkan uangku yang katanya ke warung sebelah. Meski sudah tidak sabar lagi menunggu orang itu, aku paksakan meneruskan membaca ke halaman berikutnya. Tapi sudah berkali-kali aku membolak-balik koran itu ia belum juga datang.

"Ah, sialan!" Aku bener-bener tidak sabar lagi menunggu orang itu yang sudah lebih dari setengah jam. Aku melihat di sekitar samping kananku tempat tadi ia berlari hendak menukar uang, tapi aku tak melihatnya. Aku merasa jengkel. Koran yang kubawa aku banting dan aku tinggalkan di halte itu.

Aku berjalan tanpa arah karena tak tahu persis jejaknya. Masuk ke gang-gang kecil dan entah berapa kali aku melewati tikungan aku tak melihat satu orangpun di tempat itu. Semua pertokoan yang kulihat belum buka. Sebentar di ujung pertokoan itu aku melihat tukang sapu sedang mengangkut sampah di tong-tong sampah yang tersebar di depan pertokoan. Aku tak dapat melihat wajah orang itu secara jelas karena wajahnya tertutup masker kain berwarna putih. Meskipun aku sedikit gerogi, aku memberanikan diri bertanya kepada tukang sapu yang sedang sibuk mengangkat sampah untuk dimasukkan ke dalam gerobaknya.

"Maaf pak, apa bapak tadi melihat tukang koran lewat sini?"

Orang itu tidak menggubris pertanyaanku. Pikirku mungkin ia belum mendengarnya. Aku mengulang pertanyaanku dengan suara agak keras tapi tetap saja ia tidak menjawab. Malah menatapku tajam dan mengangkat sapu lidinya seperti hendak memukulku. Serentak saja aku lari terbirit-birit ketakutan. Aku terus berlari hingga membuat baju yang kubeli tempo hari harus basah karena keringat kecapean dan ketakutan yang bercucuran. Parfum yang pagi tadi masih wangi kini malah berganti asam.

Merasa tak kuat lagi meneruskan dan rasa capek yang telah menumpuk, aku duduk di emperan toko yang masih tutup. Baru saja aku meluruskan kedua kakiku dilantai itu, jam di tangan kiriku terlihat telah berubah. Sudut kedua jarumnya aku perhatikan dengan seksama. Ternyata memang jarum itu menunjukkan pukul 08.15 WIB. Betapa gusarnya aku yang hari pertama masuk kerja ini harus terlambat 15 menit, belum lagi ditambah perjalanan menuju kantor yang tidak kurang dari 20 menit. Tanpa berpikir panjang aku berlari sekencang-kencangnya mencari jalan raya yang dilewati angkot. Dari ujung penglihatan aku mulai melihat jalan raya di sebrang sana. Tanpa melihat ke sekitar, aku terus berlari ke depan bahkan aku harus melompati got untuk mencapai jalan raya yang kulihat tadi. Aku tak sempat lagi mengusap keringat yang terus menetes dari dahi dan punggungku. Aku juga tak menghiraukan sepatuku yang semalam kusemir dan mengkilap, sekarang menjadi kotor di penuhi debu-debu dan bercampur tanah-tanah becek yang melekat.

Masih berlari kencang kulambaikan tanganku karena melihat salah satu angkot yang berjalan pelan dan berjajar rapat dengan kendaraan-kendaraan lain. Tapi angkot itu tetap saja melaju pelan. Barangkali sopirnya tidak melihat lambaian tanganku yang masih berjarak 20 Meter dari jalan tersebut. Terpaksa aku harus memacu kakiku lebih cepat untuk mengejar angkot yang tak menghiraukan lambaianku, aku mulai memasuki ruas jalan dan mencari celah di antara kendaraan-kendaraan yang sedang melaju.

"Jlugh…." Lega rasanya meraih pegangan di atas pintu samping kiri angkot itu.

"Udah penuh mas!" Teriak pak sopir sambil melihatku dari kaca spion.

"Nggak apa-apa pak, saya berdiri di pintu ini saja"

Angin bercampur asap kendaraan di sampingku terasa seperti tisu-tisu putih yang menghisap cucuran keringatku. Setidaknya angin itu menawarkan sedikit keteduhan untuk kurasakan. Sepuluh menit kumenggantung di pintu angkot itu, aku mulai menjumpai persawahan yang subur dengan udara yang lebih segar, dari pada jalan raya yang padat tadi.

"Kenapa ada sawah di sini? Kenapa masih banyak tanah kosong? bukankah kota ini telah padat dengan pabrik-pabrik?" Pikirku sambil menikmati jalur yang tak pernah sekalipun kulewati itu.

"Atau jangan-jangan….."

"Pak sopir, kejalan Diponegoro masih lama nggak?" Tanyaku.

"Lho mas, angkot ini jalurnya ke pinggiran kota, kalau mas mau ke jalan Diponegoro harus balik ke terminal angkot tadi, terus nyari angkot biru leter GA."

Ah, sepertinya ubun-ubunku telah mencapi titik didih mendengar penjelasan pak sopir. Semua orang di angkot itu hanya diam saja memandangku.

"Berhenti-berhenti, berhenti pak"

Pak sopir menginjak pedal remnya,akupun melompat dan langsung berlari ke seberang jalan.

"Mas, mas ongkosnya belum…!"

"Kenapa sih, pak sopir nggak pernah lupa dengan ongkos." Aku kembali dan memberikan satu-satunya uang di dompetku.

BACA JUGA :  Intelegitas VS Moralitas

"Ini pak!"

"Uang kecil nggak ada??" Tanya pak sopir yang menerima uangku.

"Nggak ada pak, cepetan pak! Aku terburu-buru!"

"Tukarkan ibu yang di dalam itu lho pak!"

Tapi sepertinya penumpang yang di dalam itu tidak nyaman dengan yang ku katakan. Mereka diam saja dan beberapa orang menggelengkan kepala.

"Iya buk, ongkosnya bayar dulu biar kupakai untuk kembaliannya mas ini!" Ibu-ibu itu membuka dompetnya dan memperlihatkan uangnya yang juga pecahan 20 ribu dan 50 ribuan. Pak sopir menyaksikan kaget karena hanya menemukan satu orang saja yang memberikan uang pas lima ribuan.

"Gimana sih pak!" keluhku.

"Mas, ikut saja nanti sampai pangkalan angkot di sana nanti aku tukarkan di sana juga, sekalian mas nanti naik angkot dari sana, ongkosnya sama aja kok!"

"Masalahnya aku sudah telat pak! Ya udahlah kembali lima ribu nggak apa-apa, mana?!!!"

Segera aku berlari lagi sambil mencari angkot. Jalan itu sangat sepi tidak seperti jalan raya yang di kota. Aku mencoba mencari tumpangan dari sepeda motor yang lewat maupun truk. Tapi sampai lelah tanganku melambai tak ada satupun yang menghiraukanku. Mereka telah sibuk sendiri dengan urusannya, seperti aku yang telah sibuk dengan urusanku dan tak menghiraukan jeritan otot-ototku yang dari tadi merengek kelelahan. Aku terus berlari sebisa-bisanya dan tak tahu lagi telah berapa kilo meter jarak yang ku tempuh dan tak tahu juga masih berapa kilo lagi jarak yang menantiku.

Sementara aku berlari di sebuah pertigaan seorang bapak di atas Honda GL Max menyapaku.

"Ojek mas!"

Tawaran itu sepertinya diamini oleh kedua kakiku yang telah melelah.

"Ke jalan Diponegoro berapa Bang?"

"Murah saja, cukup Rp 15.000."

"Rp. 5000 mau nggak Bang?"

"Lari aja sono! Nanti uang lima ribunya buat beli air!"

"Gini aja deh pak, saya bayar pakai jam tangan ini." Aku tunjukkan jam tanganku yang laju jarum-jarumnya semakin menguras keringatku. Keterlambatanku telah dua jam.

"Oh jam murahan kok dipakai bayar ojek, nggak ahh.."

"Harganya dulu 50.000 Bang!!"

"Ya udah, jual aja dulu. Nanti kalau laku 50 ribu, barikan saya 15 ribu saja!" Tukang ojek itu terus-terusan mengejekku. Sebagai laki-laki, telingaku serentak memerah karena mendengarkan ejekannya.

Dengan mengumpulkan seluruh nyaliku, aku paksakan menegurnya,

"Apa sampean nggak bisa ngomong lebih sopan sedikit!!"

Mendengar ucapanku dia langsung turun dari sepeda motornya, seketika aku gemetar karena ia mencengkeram kerah bajuku sambil melotot marah seperti hendak memakanku.

"Emangnya kenapa? Nggak terima?? Ayo lawan aku!" Ia membenturkan dahinya ke dahiku.

Tanpa sedikitpun aku membalas perlakuannya, aku berusaha melepaskan diri dan berlari sekencang-kencangnya.

"Aah… hari yang melelahkan," Aku tak ubahnya anak panah yang terlepas dari busurnya. Harus selalu berlari ke depan dan tak boleh sedetikpun berhenti untuk sekedar melepaskan dahaga. Setelah jauh aku berlari tanpa arah, aku mulai menemukan jalan raya yang dipadati kendaraan bermotor. Angkot-angkotpun telah simpang siur di tengah-tengah keramaian itu. Aku memperhatikan kode yang tertera di kaca depan angkot-angkot. Letter GA yang kutunggu-tunggu telah terlihat. Meski hanya angkot tapi kehadirannya mampu membuatku kegirangan bahagia. Aku yakin kebahagiaan ini melebihi kebahagiaan Ariel Peterpan yang meminang Luna Maya.

Berdesak-berdesakan di dalam angkot itu tak menjadi masalah buatku. Perjalanan yang sangat biasa ini menjadi sangat indah dan menentramkan. Betapa tidak, kaki dan ototku rasanya mulai meringis bahagia dan tak menjerit-jerit lagi. Lima belas menit di dalam angkot itu, bayangan kantor terasa mulai hidup lagi.

"PM… PM…"

Intruksi dari pak sopir sambil melirikku dari cermin di depannya. Aku hanya diam saja, karena tidak begitu mengenal tempat yang dikatakan itu.

"Mas turun mana?"

"em…ke Jl Diponegoro pak!"

"Lha ini kan Jl Diponegoro!"

"Anu pak, ke PT. Persada Muda!"

"Lha iya, PM itu kan Persada Muda"

"Ya udah turun sini pak!!"

Aku memberikan lembaran lima ribuanku pada pak sopir itu dan serentak berlari menyebrang jalan mendekati gedung tinggi yang bertuliskan PT. Persada Muda. Berhenti di depan pintu gerbang pabrik itu.

Aku heran bercampur kaget. "Mengapa di dalam sepi sekali, apa aku telatnya udah kelewat batas ya??" pikirku yang dihantui rasa khawatir. Aku datang di lokasi tersebut 3 jam lebih lama dari jam masuk.

"Aku pasti dipecat, jika aku masuk, aku yakin sekali pasti si bos akan marah padaku terus mengusirku keluar!" Seperti telah kalah dari peperangan yang menguras seluruh energi, perlahan merasa aku tak kuat lagi berdiri dan terduduk bersandar di pintu gerbang tersebut. Masih memegangi pintu, tubuhku terasa makin mengecil memikirkan kejadian hari ini. "Si bos pasti tak dapat menerima penjelasanku!" "Disamping itu, aku juga tak akan dapat merangkai kata untuk menjelaskan ceritaku, karena otakku sendiri tak dapat mempercayai tentang apa yang telah kualami"

"Tapi aku harus masuk ke dalam, apapun yang terjadi. Aku akan merengek pada direkturnya jika ia memecatku, aku juga akan bersedia dipotong gajiku. Aku akan berjanji tidak akan mengulanginya sampai kapanpun. Ya, sampai kapanpun itu!!" Aku menyebarkan pandanganku ke dalam, mencari satpam yang bisa membukakan pintu gerbang yang tertutup. Semua tampak sepi, lama menganguk-anguk suara orang di dalam pabrik dari arah yang berlainan menyapaku.

"Ada apa pak?" Ucap orang yang memakai kaos dalam warna putih dan masih memakai celana satpam.

"Maaf pak, tolong bukain pintunya!"

"Bapak mau kemana?"

"Aku pegawai sini pak!!"

"Trus masuk ke sini mau apa?"

"Ya masuk kerja lah… tapi di jalan tadi ada masalah jadi saya terlambat dan baru sekarang sampai sini."

"Ini kan hari Minggu pak, masuk kerjanya besok pagi. Hari Senin."

Rasanya aku tak percaya dengan apa yang telah dikatakan orang itu. Aku mengingat-ingat lagi hitungan hari. Aku sama sekali tak dapat membenarkan perkataannya. Apa yang baru saja ia katakan adalah salah ucap.

"Pokoknya bukain pintunya, Ini nggak mungkin hari Minggu!!"

"Ya Allah pak, bapak lihat lagi kalendernya. Kalau masih nggak percaya juga, ya sudahlah bapak masuk saja sana dan lihat sendiri!" Aku menyelonong masuk ke dalam setelah pak satpam membukakan pintunya. Aku melihat seluruh ruangan sepi dan tidak ada orang sama sekali.

"Kenapa seperti ini??" pikirku yang kewalahan dengan apa yang terjadi. Aku kembali menemui pak satpam yang duduk di posnya.

"Pak…. Kenapa sekarang hari Minggu pak? Kenapa? Kenapa tidak hari Senin saja?" Pak satpam hanya diam saja menatapku seperti orang kebingungan.

"Pak satpam, tolong jawab Pak! Kenapa sekarang hari Minggu? Kenapa sih…"

"Saya harus jawab bagaimana? Saya nggak ikut-ikutan menentukan hari?"

"Tapi mestinya pak satpam bilang dari kemarin bahwa sekarang hari Minggu sehingga saya nggak perlu repot-repot datang kesini!"

"Saya nggak tahu pak! Yang saya tahu kemarin hari Sabtu"

"Trus hari Seninnya kapan??"

"Ada apa dengan bapak, kenapa tanya hari Senin"

"Ya mau kerja lah saya adalah pegawai disini"

"Hari Seninnya besok pagi pak!"

"Yang bener besok pagi?"

"Ya pak, pasti besok pagi karena setelah hari Minggu pasti Senin!!"

"Kenapa tidak Senin dulu baru Minggu?? Kenapa pak, pak satpam, kenapa bapak satpam?"

Nggak tahu apa yang dipikirkan pak satpam, tiba-tiba ia memegangi pundakku.

"Bapak, mendingan bapak sekarang pulang aja! Istirahat di rumah"

Aku tak begitu paham kenapa ia berkata seperti itu. Aku menuruti sarannya dan melangkah keluar. Aku tak ingin berlari lagi. aku hanya ingin melangkah menuruti kehendak kakiku. Sepanjang jalan aku selalu menanyakan apa yang telah kutanyakan pada pak satpam tadi kepada orang di pinggir-pinggir jalan. Tapi sama saja. Mereka mengatakan seperti apa yang telah dikatakan pak satpam. Malah ada yang hanya diam saja lalu tertawa terbahak-terbahak.

Artikulli paraprakMau Sampai Kapan ?
Artikulli tjetërSambutan Sayyid Muhammad Di Dubai Dalam Rangka Maulid Nabi Shollallohu ‘alaihi Wasallam

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini