"Mas, syrupnya berapa?", Kata salah seorang pembeli.

"Murah kok pak, tujuh ribu lima ratus," sahut penjual syrup.

"Yawdah, saya beli tiga. Cepet dikit ya, mas?!"

"Sebentar pak? Saya buatkan nota pembeliannya."

"Ah?! Nggak usah pake nota-notaan segala?! Kaya orang China aja?!"

Di atas adalah cuplikan percakapan yang terjadi antara pembeli dan penjual syrup di salah satu event pasar murah di Kudus.

Rupanya warga kita masih banyak yang miskin "kesadaran". Kebanyakan dari mereka bersifat antipatif dan skeptif terhadap sesuatu yang bukan asli miliknya, dengan tanpa melihat sisi positifnya. Nota pembelian, misalnya, dianggap hal yang keliru hanya karena telah menjadi kebiasaan orang China dalam perniagaan. Penilaian seperti ini bukanlah penilaian yang objektif. Karena nota bukanlah sekedar hitam di atas putih. Melainkan dapat menjadi hujjah untuk melakukan komplain apabila terdapat kerusakan pada apa yang telah kitabeli.

Pemakaian nota adalah termasuk hal yang positif. Meskipun kebanyakan dipraktekkan oleh sebagian orang China, kalau memang itu baik, apa salahnya kita ambil. Toh, mutiara-mutiara yang tersebar di dunia ini hekekatnya adalah milik kita. Jadi kita masih berhak untuk mengambilnya kembali.

Sebenarnya, Islam telah lebih dulu mengajarkan kita tentang manajemen keuangan, yang termasuk di antaranya adalah penulisan setiap transaksi jual-beli yang kita lakukan (QS. Al-Baqarah : 282). Allah adalah Dzat Yang Mahamengetahui segalanya. Bahkan, tiada daun jatuh kecuali Dia pasti mengetahuinya. Lantas mengapa Allah mengutus para malaikat-Nya dan sebagian dari mereka ada yang ditugaskan untuk mencatat amal kita, baik amal buruk ataupun amal saleh.

Ada pelajaran berharga yang dapat kita serap dari hil ini. Secara tidak langsung, Allah telah mengajarkan kepada kita tentang kedisiplinan, ketertiban dan keteraturan. Ini (mungkin saja) dimaksudkan agar nantinya di hari akhir, di mana pengadilan tertinggi akan digelar kemudian dihisablah semua amal, para makhluk tidak akan dapat mengelak dari tuduhan yang memang telah dilakukannya di dunia. Karena nantinya semua makhluk akan diperlihatkan catatan amal perbuatan masing-masing.

Ada lagi "kemiskinan" yang melanda kebanyakan warga kita, yaitu kedisiplinan. Salah satu syarat suatu negara agar bisa maju adalah mempunyai tingkat disiplin yang tinggi. Bagaimana negara itu ingin berkembang (apalagi ingin menjadi negara maju), ketika para warganya tidak tepat waktu dalam bekerja. Perbaikan jalan yang seharusnya bisa diselesaikan dalam waktu satu Minggu, bisa menjadi dua Minggu, sebab keterlambatan para pekerja. Bagaimana mungkin seseorang dapat menyelesaikan tugasnya dengan bertindak semaunya tanpa menyisihkan waktu khusus untuk fokus.

Agama mensyari’atkan shalat lima waktu, yang masing-masing mempunyai waktu tersendiri (QS. An-Nisa’ : 103). Dan sebaik-baik shalat adalah shalat yang dilakukan pada awal waktu. Lagi-lagi kita dilatih untuk disiplin waktu. Dan masih banyak lagi ibadah yang ada hubungannya dengan waktu, misalnya: zakat fitrah, shalat â€?Ied, puasa, haji, dll. Dan kesemuanya itu ada standar batas waktu (deadline) tertentu. Bahkan ada salah satu maqalah Arab yang artinya kurang lebih; "Waktu adalah laksana pedang. Jika engkau tidak memotongnya, maka engkaulah yang justru akan dipotong olehnya."

Ini menunjukkan bahwa Islam menaruh perhatian yang intens terhadap kedisiplinan. Di dalam perusahaan, seorang salesmen yang selalu berhasil menyelesaikan tugas-tugas sebelum habisnya batas waktu yang telah ditentukan dan mampu mencapai target, maka dialah yang lebih berpeluang untuk mendapatkan bonus (insentif) dari perusahaan tersebut. Begitu juga hamba yang dalam waktu tertentu dia mampu menyelesaikan tugas (shalat) sebelum batas waktunya (telah mencapai target), maka dia juga lebih berpeluang untuk mendapatkan pahala tambahan.

Sebaliknya, salesman yang gagal mencapai target dan tidak mampu menambal kegagalannya di hari-hari berikut, maka yang didapat adalah impas dan tidak akan mendapatkan apa-apa. Bahkan dalam perusahaan yang menerapkan sistem atau manajemen yang lebih ekstrim, salesman yang seperti di atas akan dikeluarkan dari perusahaan tersebut. Ini juga mungkin saja terjadi pada hamba yang tidak mampu mencapai target. Karena shalatnya yang terlambat, pun seandainya dia meng-qadla’ shalatnya yang ketinggalan, dia tetap tidak akan mampu menambal pahala shalat yang telah ditinggalkan. Impas saja dia sudah sangat beruntung. Inilah pentingnya shalat. Amal yang pertama kali dihisab adalah shalat.

Shalat tidaklah sesederhana namanya. Banyak makna yang terkandung di dalamnya. Bahkan ada orang yang ahli dalam tenaga dalam Chi, mampu mendeteksi seberapa besar kekuatan seseorang ketika sedang melakukan shalat. Gerakan-gerakan shalat bukanlah sekedar gerakan biasa, melainkan gerakan meditatif. Namun yang dianggap aneh adalah seringnya orang yang meremehkan shalat. Mereka lebih mementingkan kerjaan yang belum selesai sehingga shalatnya pun diakhirkan. Untuk itu, perlu direnungkan lagi, bagaimanakah shalat kita selama ini.

Masih mengenai krisis yang kita alami. Dalam negara kita, ada sebuah istilah yang sudah merupakan hal yang lazim dan biasa, yaitu "jam karet" (JK). Entah kenapa budaya yang satu ini sulit ditinggalkan. Padahal ini jelas-jelas merupakan budaya yang tidak perlu dilestarikan dan harus dihilangkan. Ditinjau dari segi agamapun "JK" merupakan tindakan yang dilarang. Bagaimana tidak? Seumpama kita janji untuk datang ke rumah tetangga pada jam sekian. Tapi karena si "JK" minta diikutsertakan, akhirnya tidak dapat datang tepat waktu. Bukankah mengingkari janji merupakan something forbidden alias dilarang oleh agama. Bahkan dalam salah satu hadits Nabawi di sebutkan bahwa "ingkar janji" adalah termasuk ciri-ciri orang munafiq.

Satu lagi penyakit yang memupuk si "JK" adalah bermalas-malasan dan juga melakukan hal yang sebenarnya tidak penting. Malas adalah penyakit yang parah. Nabipun berdo’a agar dijauhkan dari sifat malas. Inilah bahayanya memanjakan diri dengan tidak melakukan apa-apa. Mungkinkah kita dapat menghafal pelajaran dengan hanya bermalas-malasan. Mungkinkah nasi masuk dengan sendirinya ke dalam mulut tanpa ada yang menyuap kita. Di sepakati bahwa jawabannya adalah tidak. Dan jawaban itu akan berbeda ketika kita berada di dalam mimpi. Akan tetapi, kita tidak selamanya hidup di alam mimpi. Kehidupan kita adalah kehidupan yang nyata. Untuk itu, kita perlu bekerja keras untuk mencapai sesuatu yang diinginkan.

BACA JUGA :  FIQH ISLAM, Antara Fakta Dan Sejarah Bag. 2

Orang tidak bisa merasakan manis sebelum pernah mencicipi rasa pahit. Begitu juga dalam kehidupan ini. Untuk dapat menggapai kesuksesan, kita harus bersusah-payah dulu. Beginilah sunnatullah yang telah didesain oleh sang creator alam semesta yang indah nan dahsyat.

Alangkah baiknya kita tidak meniru gaya hidup para "pemalas berseragam hijau" (Pemalas Nyari Suap), yang menginginkan bayaran besar dengan kerja yang seenaknya, kerja yang tanpa rasa tanggung jawab. Yang mengaku diri sebagai pelayan masyarakat tetapi wajahnya dilipat rapat-rapat (seperti unta) di saat ada masyarakat yang meminta bantuannya. Yang akan memasang senyumnya ketika ada "pelicin" untuk kantong mereka. Mereka tidak akan puas dengan gaji yang mereka peroleh. Semakin mereka mendapatkan "uang makan", semakin mereka giat dalam nencari "uang-uang " yang lain.

Inilah kehidupah dunia, tidak akan ada kupuasan atas kenikmatan-kenikmatan di dalamnya. Karena apa? Karena hakekat kenikmatan dan siksaan di dunia ini merupakan sample untuk kita cicipi (QS.Huud:9). Kata "mencicipi" berarti tidak akan puas, sebab seseorang mencicipi makanan, pasti akan sedikit yang diambil. Dan mencicipi itu tidak untuk enak-enakan, akan tetapi hanya sekedar untuk merasakan.

Seperti inilah ajaran islam, sangat bagus, rapi dan perfect. Namun belakangan ini, budaya-budaya islam kurang begitu diperhatikan oleh pemeluknya. Ada satu hal lagi yang sering kita umat islam mengabaikannya, yaitu masalah kebersihan dan kerapian (baik dalam lingkungan, pakaian, maupun makanan). Karena, dari kebersihan inilah nantinya tercipta kesehatan jasmani dan rohani. Contoh kecil misalnya; dengan bersih dan rapinya ruang kerja atau kantor, maka kita akan lebih bersemangat dalam mengerjakan job-job kita. Berbeda jika keadaanya kotor dan kumuh. Bukan semangat yang didapat, akan tetapi musuh utama orang sukses (malas)-lah yang akan diperoleh. Bagaimana kita mau belajar kalau di kanan-kiri kita terdapat banyak dahak (riyak) yang berceceran di mana-mana. Bahkan nabi pernah menggambarkan shalat lima waktu dengan mandi, lalu nabi bersabda, "Bagaimana seandainya orang mandi lima kali dalam sehari ?" Tentu ini pertanyaan yang jelas sekali jawabannya. Ini adalah sebuah isyaroh bagi kita tentang pentingnya kebersihan dan sadar akan kebersihan.

Dalam menjaga kesehatan, kita harus pandai-pandai meneliti makanan dan minuman kita yang sekiranya aman serta bersih untuk dikonsumsi. Misalnya kita lebih memilih untuk menggunakan makanan dan minuman yang alami, kecap & syrup pun juga harus yang alami dari gula asli.

Selain lingkungan dan makanan/minuman, pakaian juga harus diperhatikan. Kita punya imam Zakariyya al-Anshari yang selalu berpenampilan rapi dan bersih. Allah Dzat Yang Maha Agung, juga menyukai keindahan. Maka tidak ada salahnya kita berpenampilan rapi. Tidak hanya dalam penampilan saja kita dituntut untuk rapi, dalam segala hal juga harus rapi. Kejahatan yang terorganisir dengan rapi cukup untuk mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir.

Mengenai keindahan dan kebersihan, ada kritikan atau koreksi terhadap kita. Koreksi ini keluar dari orang non-muslim yang diajak putranya agar mau memeluk agama Islam. Dia adalah ayah kandung dari pakar ekonomi Islam berdarah Tiong-Hoa, Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec. Suatu saat Dr. Antonio mengajak ayahnya untuk juga masuk agama Islam sebagaimana dirinya. Dengan santai ayahnya menjawab, "Besok-besok aja kalau masjid-masjid dan toiletnya sudah bersih."

Apakah ini penghinaan? Ataukah hanya kritikan yang menghancurkan? Atau justru kritikan yang konstruktif? Semuanya tergantung bagaimana kita menyikapi.

Namun, kalau kita tilik secara obyektif, memang masih banyak masjid yang terabaikan kebersihannya. Terutama bagian kamar mandi dan toilet. Entah malas atau memang tidak mampu menjaganya. Yang jelas kenyataannya seperti itu. Dan setelah melihat tempat peribadatannya seperti itu, tidak menutup kemungkinan, orang non-muslim akan memikir ulang apabila mereka diajak masuk agama Islam.

Sebenarnya kita sudah cukup pandai dalam membuat gedung-gedung masjid yang besar dan berkesan wah. Tapi yang lebih penting dari itu adalah perawatannya. Di samping terdapat masjid yang sangat besar dengan luas tanah sampai berhektar-hektare. Tapi di sana-sini masih saja terlihat yang namanya sampah dan rumput-rumput liar. Di Tuban juga ada masjid yang berwarna-warni. Namun, nasibnya hampir tak jauh beda. Merawat lebih penting dari pada membuat.

Kalau sudah terjadi seperti ini, maka siapakah yang salah. Justru yang merusak citra dan nama baik Islam adalah para pemeluknya sendiri.

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seharusnya kita malu dengan keadaan kita yang sekarang. Mau sampai kapan kita seperti ini. Mungkinkah negara kita dapat maju menyusul negara-negara benua Asia semisal Jepang dan China, yang sedikit demi sedikit semakin menampakkan taringnya. Kita harus ingat, perubahan tidak akan terjadi apabila kita tidak mau memulainya dari sekarang. Tidak ada yang tidak mungkin sebelum dicoba. Sudah saatnya kita rubah kebiasaan hidup yang masa bodoh dengan kebersihan lingkungan, dan kita tinggalkan sikap bermalas-malasan.

Mari budayakan tepat waktu. Jangan memelihara budaya korupsi waktu, seperti yang sering dilakukan oleh para Pemalas Berseragam yang telah disinggung di depan, yang sering terlambat masuk kerja, dan juga sering membolos (mblorot) mencari waktu untuk sarapan atau jajan di tengah-tengah jam kerja.

Budayakan juga membaca dan tingkatkan minat membaca kita. Apalagi jika minat membaca itu berubah menjadi kebiasaan membaca. Sungguh akan luar biasa manfaatnya bagi bangsa kita ini. Coba kita lihat, di negara-negara maju, tingkat kebiasaan membacanya tinggi sekali. Pun wahyu yang pertama kali diturunkan adalah iqra’ yang berarti bacalah. Ini bermakna kita dituntut untuk membaca yang bukan sekedar membaca. Akan tetapi membaca dengan memahami makna lalu menindaklanjuti dengan perbuatan di dalam kehidupan sehari-hari.

Adalah sebuah hal tragis apabila kita termasuk buta huruf. Akan tetapi lebih tragis lagi jika kita diberi anugerah melek huruf akan tetapi tidak kita manfaatkan.

Artikulli paraprakHIKMAH KE-116 PEMBERSIH HATI
Artikulli tjetërKenapa Ya?!

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini