Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang berarti dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Secara politik berarti kedaulatan tertinggi negara ada di tangan rakyat. Otoritas rakyat melalui parlemen sampai pada perumusan undang-undang untuk kepentingan negara. Karena tidak mungkin bagi seluruh rakyat untuk bisa berperan langsung, maka rakyat berkepentingan untuk memilih wakil mereka dalam kapasitasnya menyusun undang-undang, menjalankan pemerintahan dan menegakkan hukum. Untuk kepentingan ini, Montesque mendefinisikannya dengan istilah trias politika; kekuasaan yudikatif, eksekutif, dan legislative. Ketiga lembaga pemerintah tersebut bertugas untuk menjamin kebebasan umum dengan titik tolak realisasi keadilan dan hak asasi manusia. Dalam sejarahnya, konsep demokrasi pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Yunani, namun kemudian bangsa tersebut gagal pada tataran implementasi ideal.
Landasan yang paling fundamental dari pilar demokrasi berdiri di atas pemikiran mengenai pemilihan umum, kebebasan individu dan hak asasi manusia. Namun sebelum konsep ini dikenal sebagai embrio pemerintahan negara, konsep ini hanyalah merupakan buah dari pemikiran yang bisa saja diejawantahkan dalam berbagai bentuk dan system ketatanegaraan.
Komunitas dunia saaat itu pun sudah menganut berbagai macam system pemerintahan. Bangsa Yunani hanya berlaku sebagai pioneer peletak batu pertama untuk sebuah system yang dikenal dengan demos dan kratos. Konsep demokrasi tidak begitu mengalami kesulitan yang berarti dalam melakukan penetrasi budaya ini kepada umat Islam. Hal ini karena Islam sendiri sudah mengenal satu system pemerintahan yang disebut musyawaroh/syuro. Islam sebagai agama tidak melulu mengurusi ibadah, namun juga concern dengan mekannisme pemerintahan yang juga, sebagaimana konsep demokrasi, brdiri di atas keselaasan prinsip fundamental hak asasi -pribdi dan komulatif- manusia.
Berbicara tentang demokrasi atau ideologi syuro, berarti kita tidak lepas dari konsep kepemimpinan Islam. Penulis mencoba sedikit untuk menjelaskan tentang kepemimpinan Islam. Menurut penulis, kepemimpinan Islam itu lebih tepat jika didasarkan pada system dan cara yang dipraktekkan dalam memimpin. Jadi,kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang mempraktekkan nilai-nilai ajaran Islam, terlepas apakah elakunya seorang muslim atau tidak. Sebab kenyataan di lapangan tidak sedikit para pemimpin yang beagama Islam bahkan mungkin sudah haji berkali-kali tetapi ketika ia menjadi pemimpin, tidak e,praktekkan norma atau ajaran Islam. Seperti sifat amanah (dapat dipercaya), ‘adalah (keadlian), syuro (musyawaroh) dan sebagainya. Sebaliknya kadang kita jumpai seorang pemimpin nonmuslim sebuah organisasi tertentu, ternyata justru memprakekkan system dan cara memanage yang islami. Pemimpin tersebut konsekwen melaksanakan disiplin, tepat waktu, mempunyai karakter yang baik, suka bermusawaroh, adil, dan sebagainya. Namun seorang muslim tentunya akan memilih seorang pemimpin yang muslim dan konsekwen terhadap ajaran islamnya. Jika demikian, berarti dapat dikatakan bahwa kepemimpinan yang ideal adalah kepemimpinan, system, dan mekanisme manajerial dalam sebuah organisasi, orang yang memimpin dan anggotanya adalah orang-orang taat yang konsekwen mengamalkan prinsip-prinsip ajaran Islam. Memakai simbol-simbol keislaman dalam organisasi sah-sah saja, akan tetapi yang penting adalah bagaimana agar orang tidak terjebak pada simbolisme semata.
Dalam pandangan Islam, kepemimpinan merupakan amanah dan tanggung jawab yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada anggota-anggota yang dipimpinnya, tetapi juga akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jadi pertanggungjawaban kepemimpinan dalam Islam tidak hanya bersifat horizontal formal sesama manusia, tetapi bersifat vertikal moral, yakni tanggungjawab terhadap Allah di akhirat kelak. Seorang pmimpin boleh jadi dianggap lolos dari tanggungjawab formal di hadapan orang-orang yang dipimpinnya, tapi belum tentu lolos ketika ia harus bertanggungjawab di hadapan Allah SWT. Kepemimpinan sebenarnya bukan sesuatu yang mesti menyenangkan, tetapi merupakan tanggungjawab sekaligus amanah yang amat berat dan harus diemban sebaik-baiknya.
Dalam hal ini Allah berfirman:
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (8) وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ (9) أُولَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ (10) الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (11)
Artinya : "Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya." (Q.S. Al Mu’minun: 8-11)
Ajaran Islam sangat menekankan bahwa otoritas eksekutif adalah amanah dan tanggungjawab. Seorang pemimpin eksekutif adalah orang yang paling bertanggungjawab kepada kemaslahatan umum, tidak dibenarkan baginya untuk menggunakan kewenangannya di luar kepentingan umum. Sebagai wakil rakyat, seorang pemimpin eksekutif mempunyai kewenangan yang relatif sangat luas. Otoritasnya terpisah dari kewenangan legislative dan udikatif. Konsep pemisahan kewenangan seperti ini adalah hasil dari pemikiran para fuqoha. Standarisasi pemerintahan yang ditawarkan sangat mirip dengan apa yang dianut demokrasi. Para fuqoha mensinyalir sistim pemisahan kekuasaan ini berpatk ada konsep syuro yang ditawarkan al-Qur’an. Imam At Tabrasi mendefinisikan terma syuro sebagai diskusi untuk menemukan hak. Sedang Roghib Al Asfahani menegaskan bahwa system syuro adalah upaya menemukan pemikiran yang selaras dengan endapat orang banyak. Ibnu ‘Arobi dalam kitabnya ‘Ahkamul Qur’an’ menyatakan bahwa yang dimaksud dengan syuro adalah pertemuan yang mendiskusikan silang pendapat untuk menemukan pendapat terbaik.
Pada kasus syuro, ada banyak hadis yang sampaikan, diantaranya, Abu Hurairoh yang menyatakan, "Aku tidak menemukan orang lain yang paling sering bermusyawaroh selain Rasulullah." (HR. Tirmidzi). Selain itu juga menyatakan bahwa Rasulullah bersabda: "Orang yang bermusyawaroh dapat dipercaya." (HR. Abu Dawud) Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya umatku tidak dibenarkan untuk berkumpul dalam suatu kebatilan. Apabila menemukan perbedaan, selesaikanlah dengan bermusyawaroh." (HR. Ibnu Majah)
Menurut sebagian ulama, bahwa hukum musawaroh adalah wajib, sedang jumhur ulama berpendapat bahwa hukum seorang eksekutif untuk menyerahkan pembahasan masalah ijtihadiyah kepada dewan syuro adalah wajib. Ibnu ‘Athiyah berpendapat bahwa permusyawarotan adalah salah satu prinsip Islam dan fundamental hukum, apabila salah seorang ahli tidak mengindahkan prinsip-prinsip musyawaroh, maka adalah hal yang wajib untuk mengisolirnya. Dan ketentuan ini tidak bisa ditawar lagi. Ibnu Khunaiz Mihdad berpendapat : "bagi seorang pemimpin wajib untuk meminta pendapat kepada para ahli dalam memecahkan persoalan yang tidak menjadi kompetensinya, permasalahan ketetapan hukum agama yang masih menjadi keraguan, persoalan militer dalam kondisi perang, kasus kepentingan social, dan kasus kepegawaian nasional yang mempunyai pengaruh penting terhadap kemakmuran negara."
Dalil syari’ah yang mengarahkan kepada kewajiban syuro adalah perinah Allah kepada Rasulullah untuk bermusyawaroh dengan sahabatnya. Nash imperative berarti wajib dan berlaku secara general. Firman Allah:
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ.
Artinya : "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka." (Q.S. Asy Syuro : 38)
Dalam ayat tersebut, perintah musyawaroh disandingkan dengan perintah solat. Karena solat adalah wajib, maka musyawaroh juga wajib. Apalagi jika kasusu yang diangkat permusyawarotan tersebut berkenan dengan kepentingan masa depan umat di bidang ekonomi, social dan pendidikan. Asumsi syari’ah dapat mentolelir kewajiban syuro menjadi kasus hukum yang disunahkan, jika kasus yang diangkat dalam per musyawarotan tersebut hanyalah kasus kecil yang tidak bersinggungan dengan kepentingan umum taupun apabila umat berada dalam keterbatasan waktu untuk menjalani proses per musyawaroh, sedangkan kebijakan yang harus diambil bersifat emergency.
As-Syuro dalam perspektif Islam tidak datang dalam satu mekanisme tertentu. Untuk itu, bentuk formalitas apapun yang dikembangkan bukanlah hal yang dipermasalahkan selama formalitas tersebut mampu membawa kepada pencapaian tujuan yang sudah digariskan. Konsep syuro adalah konsep yang sangat terbuka terhadap setiap input inovatif, formulasinya dapat selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman. Rasulullah tidak menetapkan satu bentuk formalitas apapun yang menggiring umatnya untuk disyariatkan. Rasulullah menerahkan permasalahan ini kepada umatnya. Nah, sebagai mana kasus syuro, konsep demokrasi menurut penulis bukan merupaka konsep formal. Dengan demikian konsep ini masih membuka diri untuk disusun aturan formalitasnya, disesuaikan dengan sarana dan prasarana yang mendukung untuk tercapainya tujuan dari demokrasi itu sendiri.