"Berawal dari bukulah amanah itu dapat terealisasikan. Dari buku, seorang bisa masuk surga dan neraka. Berawal dari buku, kebenaran, hidayah dan ridho Allah dapat diperoleh. Buku adalah simbol ilmu dan manifesto kebenaran. Kebenaran tidak boleh ditempuh dengan cara ilegal dan kebohongan ilmiah. Itu adalah bentuk pendustaan ilmiah dan pembohongan publik," Syaikh Idahram.

Allah menciptakan manusia dengan latar belakang yang bermacam-macam. Aneka ragam ini dihiasi dengan profesi yang berwarna-warni pula. Ada yang menjadi ulama, pejabat, petani, nelayan, wartawan, dan penulis. Semuanya itu, nanti akan dimintai pertanggung jawaban atas perbuatannya kelak di akhirat. Sekecil apapun amalnya, hal itu tidak akan pernah luput dari pantauan Allah. Lebih-lebih seorang penulis yang meninggalkan sebuah karyanya. Tatkala dia meninggal, karyanya masih bernyawa. Selalu memberikan kiriman pahala dan dosa sesuai dengan isi dan tujuan ketika membuatnya. Dzun Nun al-Mishri mengatakan," Setiap penulis pasti akan dijemput kematian. Waktu menghancurkannya dan akan menghancurkan apa yang telah ia tulis. Maka, janganlah engkau menggunakan tanganmu untuk menulis sesuatu, kecuali sesuatu itu akan membuatmu gembira di hari kiamat tatkala engkau melihatnya."

Karya tulis dapat memberikan dampak positif dan negatif tergantung dengan penulisnya. Jika isi dan tujuannya baik, maka buah kebaikan itu akan dinikmati penulisnya. Baik di dunia maupun di akhirat. Jika sebaliknya, maka tunggulah akibatnya. Jika di dunia tidak terkena imbasnya, pasti di akhirat dia akan merasakan pembalasan tersebut. Hal ini disebabkan semua gerak-gerik manusia selalu dipantau oleh Allah Yang Maha Melihat.

Baik buruk suatu tulisan itu tergantung di saat pena digoreskan. Tujuan apa yang diinginkan dari tulisan tersebut. Apakah hanya ingin mencari dunia dan kepopuleran semata? Ataukah ingin mencari ridha Allah dan untuk memperjuangkan agama-Nya? Semua ini tergantung penulisnya. Sejauh manakan dia akan menggunakan talenta yang diberikan Allah untuk dikreasikan. Leo Tolstoy, sastrawan Rusia berkata,"Tuhan tahu, tapi menunggu kapan, bagaimana dan untuk apa anugrahnya dimanfaatkan."

Memang benar, pena atau alat yang digunakan untuk menulis merupakan benda mati. Namun, dia dapat berperan sebagai benda yang hidup. Tulisan yang digoreskan di dalam buku dapat berbicara sepanjang masa, selagi itu masih dibaca dan dikomsumsi konsumen. Buku tersebut dapat berbicara seperti halnya mulut manusia. Maka dari itu, jagalah bukumu dari tulisan ghibah (membicarakan kejelekan orang lain), takabur, fitnah dan sifat tercela lainnya yang merugikan orang lain dan hal yang dilarang Allah. Al-Ghazali menuturkan,"Pena merupakan salah satu alat untuk berbicara. Maka dari itu, jagalah penamu sebagaimana engkau menjaga mulutmu."

BACA JUGA :  CINCIN BAGI KAUM PRIA

Menjaga pena bagi seorang penulis memanglah berat. Sama halnya beratnya menjaga mulut agar tidak berbicara kecuali dalam hal kebaikan. Mulut kita sering sekali berkata dengan sesuatu yang dilarang agama, padahal sudah kita tutup rapat-rapat. Kadang karena adanya desakan ekonomi, iming-imingan dunia dan fanatik golongan yang berlebihan, seorang penulis hilang kontrol. Dia melupakan norma-norma agama yang menjadi pondasi pokok dalam menjalani hidup. Dia menjadi tidak obyektif dalam berkarya. Sesuatu yang seharusnya putih dapat menjadi hitam dan merah. Dia mewarnai sesuai dengan selera dan pesanan tanpa memandang kebenaran. Dampaknya, masyarakat awam menjadi bingung dalam mencari pegangan. Sebab, kebenaran sudah samar dan suram dari karya yang dinodai dan dipalsukan.

Banyak sekali pelencengan-pelencengan yang dilakukan oleh sebagian penulis. Padahal mereka sama-sama muslim. Mereka dengan terang-terang memperkosa dalil-dalil dalam al-Quran dan al-Hadist supaya dapat berpihak kepadanya, dan menjatuhkan yang selainnya. Padahal sejatinya, dalil-dalil itu tidak berpihak kepadanya. Bahkan sangat jauh diharapkan untuk menjadi pendukung misinya.

Anehnya, jika mereka tidak bisa berkarya sebaik dengan apa yang dimiliki rivalnya, mereka memalsukan isi karya rivalnya tersebut dengan menambah, mengurangi dan menyusupkan pemikiran yang bersebrangan dengan naskah yang asli. Di antara contoh karya-karya yang dipalsukan yaitu, kitab Ibanah karya Imam Asy’ari, kitab tafsir al-Kasysyaf karya Imam Zamakhsari, kitab al-Adzkar karya Imam an-Nawawi dan lain-lain. Tentang pemalsuan ini, dapat kita lihat dari buku,"Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Ulama Klasik," karya Syaikh Idahram.

Pemalsuan dan pelencengan tulisan juga kerap terjadi pada seorang wartawan. Dengan alasan takut majalah atau korannya tidak diminati pembaca, mereka rela menempuh jalan yang bersebrangan dengan larangan-larangan agama. Berita yang disajikan terkadang tidak obyektik dengan kejadian yang telah terjadi. Mereka sering memuat pendapat yang menguntungkan dalam masalah finansial tanpa memandang baik dan buruknya menurut kaca mata agama. Adapun pendapat yang baik menurut agama, jika tidak menguntungkan, tidak akan dipublikasikan. Seandainya diplubikasikan itupun jumlahnya sangat minim sekali. Semua ini karena dilatar belakangi urusan dunia. Sungguh hina orang yang menjual akhiratnya hanya karena urusan dunia semata.

Tentunya, kita sebagai manusia mempunyai fitrah yang sama. Yaitu, tidak ingin menyakiti dan disakiti. Namun, sudah menjadi ketentuan, apabila ada kebaikan pasti ada keburukan. Ujung keduanya adalah surga dan neraka. Maka dari itu, kita sebagai seorang penulis harus berhati-hati dalam meneteskan tinta pena. Jangan sampai tulisan kita mengantarkan penulisnya sendiri menuju neraka. Jadikanlah tulisan sebagai media untuk mencapai surga dan jalan ridha-Nya. Amiin.

Artikulli paraprakSinopsis Novel “di Bawah Naungan Ka’bah”
Artikulli tjetërHidup Itu Sulit, Kalau Tidak Mau Sulit Ya Jangan Hidup

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini