Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah. [1] Q.s. al-Balad: 4

Kosa kata: kabad pada ayat di atas berarti susah payah, artinya ayat ini untuk mengingatkan bahwa manusia itu diciptakan Allah dalam kondisi yang tidak lepas dari beban.

Setelah bersumpah Allah menyampaikan pesan penting yang hendak dikemukakan-Nya yang karena itu İa perlu terlebih dahulu bersumpah. Pesan itu adalah bahwa manusia itu terlahir dalam kesulitan. Maksudnya, manusia tidak bisa lagi hidup tanpa susah payah sebagaimana dialami oleh nenek moyang mereka, adam dan hawa, di surga, karena dısana semuanya tersedia tetapi mereka harus hidup dengan terlebih dahulu bersusah payah: bersuaha mencari rizqi mengatasi berbagai rintangan dan sebagainya. berdasarkan perjuangan tersebutlah Allah menilai manusia tersebut. semakin besar perjuangan yang dilakukan manusia dan semakin besar manfaat yang diberikan hasil perjuangannya itu bagi umat manusia,maka semakin tinggi nilai manusia tersebut di sisi Allah. Begitu pula nabi muhammad di kota ini, beliau perlu perjuangan agar kebenaran menjadi nyata dan kebatilan menjadi sirna. Demikian pula seluruh manusia.

Sulitnya ingin meraih impian

Saya yakin seyakin yakinnya bahwa semua orang pasti punya impian dalam hidupnya dan serıng terlintas dalam dirinya bisa menghasilkan impian tersebut dengan berjalan mulus tanpa ada rintangan. Padahal al-Quran menjelaskan dengan sangat tegas bahwa kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari beban rintangan yang hasrus siap untuk dihadapi. Tidak heran kalau banyak orang-orang yang menjadi setres ketıka mereka melihata fakta yang ia hadapi, atau ada yang secara sengaja melupkan impiannya karena banyaknya persoalan-persoalan yang ia hadapi, mungkin karena menghindari strees, bahkan ada yang sampai lari terbirit-birit karena takut menghadapi masalahnya.

Para santri yang ada di pondok ini pasti juga sama punya impian, karena tidak sedikit dari mereka datang kesini benar-benar mempunyai minat yang menggebu dan rela berkorbanan untuk meraih tujuannya, namun yang namanya hidup tidaklah mudah, persoalanpun muncul, santri yang mempunyai minat dan semangat yang menggebu dia dihadapkan dengan kurangnya ekonomi, dan yang masalah ekonominya sudah dianggap cukup dan punya semangat cukup namun otaknya tidak mendukung, dan ada yang ekonomi cukup otak mumpuni namun tidak mempunyai kesemangatan untuk meraih tujuannya dan masıh banyak lagı masalah-masalah yang laın. Yang jelas hidup ini pasti ada masalah tidak mungkin kita hidup mulus tanpa adanya masalah.

Apa yang harus kita lakukan?

1. Harus punya kemauan kuat (himmah)

Pertama-tama yang harus kita lakukan adalah meyakinkan pada diri kita bahwa apa yang kita perjuangkan itu hal yang mulia dan bermanfaat pada kita sehingga muncul dalam dirikita kemauan untuk meraihnya.tanpa kemauan dari diri sendiri maka akan sangat mudah kemauan tersebut hilang dan tidak terlaksana. Untuk mempunyai kemauan kita harus punya motifasi. Motifasi (kemauan keras untuk berhasil) biasa terdapat pada tiga keadaan:

Menginginkan sesuatu, membutuhkan sesuatu dan memimpikan sesuatu. Ketiga keadaan ini yang sering menuntut seseorang untuk membuat tujuan dan memperjuangkan tujuannya. Banyak orang yang menganggap ketiga perkara yang sama padahal ketiganya ini keadaan berbada yang ada pada diri seseorang; keinginan: harapan kita yang berdimensi jauh kedepan tapi hanya bersifat sementara, tidak mendesak dan tidak mempunyai emosional(semangat tinggi). Kebutuhan: harapan kita yang bersifat mendesak, mempunyai emosional tinggi akan tetapi tidak berdimensi jauh kedepan. İmpian : harapan kuat (himmah) yang mempunyai dimensi jauh kedepan dan mempunyai emosional yang besar untuk mewujudkannya.

Sebaiknya motifasi yang kita pakai adalah keadaan yang ketiga, agar kita dalam memperjuangkan harapan tersebut bertahan lama tidak mudah hilang keika ada masalah-masalah disekitar kita atau pada waktu kita dalam keadaan-keadaan sulit, dan juga mempunyai emosinal(semangat tinggi) untuk mewujudkannya. Kalau kita sudah punya impian yang kuat(himmah) dan ada kesempatan maka dengan sendirinya akan timbul suatu komitmen, kesemangatan, antosiasme keteguhan hati pada harapan tersebut.

2. mewujudkan kesemangatan (komitmen)

setiap orang punya tujuan yang ingin dia raih sepanjang hidupnya. Antusiasme, yang sering ditujukan untuk keuntungan material, juga mengemuka ketika nafsu keduniaan dibicarakan. Sebagian orang berusaha untuk menjadi kaya, untuk memiliki karir yang cemerlang atau jabatan yang prestisius, sementara yang lain berusaha untuk tampil lebih unggul atau untuk meraih prestise, penghormatan, dan pujian. Namun, dalam hidup kita tentu tak akan pernah kosong dari yang namanya masalah, kurang yakin pada diri sendiri(pesimis), maka teruslah berusaha sampai kiti berhasil sukses. Dengan modal impian yang jelas anda akan memperoleh energi yang besar tidak mudah surut pada saat jalan yang kita lalui mendapatkan kesulitan.

Selama orang percaya usahanya akan mem­berikan kebaikan dan keuntungan baginya, pasti semangat dan gairahnya tidak pernah padam. Namun tidak satu pun tujuan yang hendak dicapai oleh orang yang melalaikan akhirat tidak layak untuk diberi semangat terus-menerus.

Namun, semangat sebagian besar orang tidak bertahan seumur hidup karena tidak punya landasan yang kuat. Sering kali tidak ada tujuan khusus yang akan mempertahan­kan semangat dalam semua keadaan dan memberikan kekuatan kepada mereka.

Jika seseorang menjumpai kesulitan sedikit saja, kegagalan atau kritik, dia mungkin secara alami akan merasa letih dan meninggalkan tujuan­nya. Di samping itu, dia mungkin menjadi putus asa. Pemikiran negatif seperti, "Saya sudah bersusah-payah untuk mencapainya tetapi gagal," menyeret dia ke dalam pesi­misme dan memadamkan semangatnya.

Orang yang telah bertahun-tahun memen­dam ambisi untuk menjadi seorang arsitek mungkin tiba-tiba kehilangan semangat ketika dia menjumpai kesulitan-kesulitan dalam menggambar bangunan. Atau orang yang tertarik untuk melukis mungkin kehi­lang­an semua minatnya setelah beberapa kali mencoba.

Satu-satunya orang yang tidak pernah kehilangan semangat di hati mereka sepanjang hidup adalah orang-orang beriman, karena sumber semangat mereka ialah keimanan kepada Allah dan tujuan utama mereka ialah mem­per­oleh keridhaan Allah, rahmat-Nya dan surga-Nya. Seorang yang beriman seharusnya mengharapkan dan menanamkan dalam hatinya dalam semua pekerjaan untuk mendapatkan ridlo Allah. Karena dengan harapan iulah suatu harapan imian bisa kita perjuangkan sampai akhir. Contoh seorang santri bermimpi ingin menjadi seorang alim maka dia harus mendasari impian tersebut dengan mencari ridlo Allah

Orang-orang beriman adalah mereka yang menjadikan ridha Allah sebagai tujuan tertinggi dalam kehidupan mereka dan ber­usaha keras untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam al-Qur’an, Allah menyebut mereka orang-orang yang berjuang dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah2. untuk mencari ridha Allah dan mendapatkan surga-Nya, orang-orang ber­iman punya sifat-sifat penting yang memung­kinkan mereka untuk menyibukkan diri, dan dalam keadaan yang sangat berat sekalipun, meng­ucap­kan, HasbunAllah (cukuplah bagiku Allah) 3. Mereka men­dambakan keridhaan Allah.

Gairah yang dihasilkan oleh iman merupa­kan kekuatan yang dapat meningkatkan kemampuan fisik dan mental, sehingga dia dapat menjalani setiap saat dalam kehidup­annya dengan sangat baik dan produktif. Semangat yang tumbuh karena kecintaan kepada Allah ini memberikan kekuatan spiritual, kekuatan dan daya tahan yang besar, kemauan dan keberanian yang membaja. Melalui kekuatan spiritual orang-orang ber­iman mengatasi setiap kesulitan dan terus berusaha keras untuk menuju Allah apa pun kondisi dan keadaan yang mereka hadapi.

Ada satu ciri umum yang menonjol dalam semua ini – antusiasme menimbulkan karakter kuat dan khas pada seseorang yang kecil kemung­kin­annya akan muncul jika tidak ada sema­ngat. Risiko-risiko yang dalam keadaan normal dihindari akan diambilnya demi mewujudkan suatu tujuan. Pengorbanan diri yang belum pernah dilakukan sebelumnya, dilakukan tanpa ragu-ragu. Memang, orang mungkin akhirnya memperoleh kekuatan yang besar baik dalam pengertian material dan spiritual dengan menggunakan penge­tahu­annya dan kemampuannya secara mak­simal. Hasrat untuk memperoleh ridha Allah merupakan sumber terpenting sema­ngat dan kegembiraan bagi orang-orang beriman. Cita-cita untuk memperoleh ridha Allah dan mencapai surga menjadi sumber energi dan semangat dalam diri orang-orang beriman.

Sesungguhnya orang-orang mukmin hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka demi membela agama Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar."(Q.s. al-Hujurat: 15).

"Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik."(Q.s. al-A‘raf: 56).

Makna dari "Rasa takut dan harapan" ialah sebagai berikut: Orang beriman tidak pernah dapat yakin apakah Allah ridha dengan mere­ka, dan apakah mereka telah mem­perlihatkan perilaku moral yang baik, yang membuat mereka layak mendapatkan surga. Karena alasan ini mereka takut akan hukuman Allah dan terus-menerus berusaha untuk menyem­pur­nakan moral. Semen­tara itu, mere­ka tahu bahwa melalui gairah dan ketulusan, mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh ridha Allah, cinta-Nya dan rahmat-Nya. Mereka mengalami ketakut­an dan harapan sekaligus; mereka bekerja keras tetapi tidak pernah merasa usaha mereka cukup dan tidak pernah menganggap diri mereka sempurna, sebagaimana dinyatakan dalam ayat:

"Mereka takut kepada Tuhannya dan takut dengan hisab (perhitungan amal) yang buruk." (Q.s. ar-Ra‘d: 21).

Karena itu, mereka memeluk agama Allah dengan semangat besar dan melakukan usaha besar untuk kepentingan ini. Rasa takut kepada Allah menyebabkan mereka tidak lemah-hati atau lalai, dan perasaan ini mendu­kung semangatnya. Karena tahu bahwa Allah memberikan kabar gembira tentang surga bagi mereka yang beriman dan beramal saleh, sehingga mendorong mereka untuk terus ber­amal dan memperkuat komit­mennya.

Orang-orang beriman tahu bahwa tipu daya setan itu lemah dan mereka juga tahu jenis tipu daya yang digu­nakan setan ketika mendekati mereka. Mereka tahu cara-cara untuk mengalah­kan­nya dan tidak pernah membiarkan setan mematahkan semangat karena mereka mem­ben­tuk kehidupan mere­ka sesuai dengan ajaran al-Qur’an. Sikap tegas dan tulus orang beriman digambarkan sebagai berikut:

"Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya."(Q.s. al-A‘raf: 200-1).

Orang yang ingin memperoleh ridha Allah dalam kehidupan di dunia ini akan memper­lihatkan tekad besar untuk menjaga moral yang baik yang disukai Allah. Mereka yang tidak memiliki keimanan yang ikhlas kepada Allah dan yang tidak bersemangat untuk mem­peroleh ridha-Nya, akan merasa bahwa tugas itu berat. Itu disebabkan karena moral yang baik meliputi pelaksanaan secara sem­purna atas kehendak dan hati nurani. Mereka yang tidak punya gairah dan semangat ke­iman­an di hatinya tidak akan menam­pakkan kepekaan hati nurani dan kehendak. Kon­seku­ensinya, mereka tidak memper­li­hatkan moral yang baik dalam pengertian yang sebe­narnya.

BACA JUGA :  Tanggapan Surat Pembaca Tentang Artikel Ancaman Liberalisme, Salafy-wahabi, Sekularisme Terhadap Eksistensi Ahlussunnah wal Jama'ah

Orang-orang beriman yang memeluk agama dengan gigih, sebaliknya, akan dengan senang hati menjalani kehidupan sesuai dengan prinsip moral yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan mendapatkan kesenangan dari pengamalan itu. Kadang-kadang mung­­­kin mereka menghadapi situasi-situasi yang meng­goda, tetapi ketika mereka menolak untuk mengikuti naluri hewani, mere­ka me­rasa puas mencapai prestasi moral ini. Mereka sering menjumpai kesulitan-kesulitan dan masalah-masalah namun tetap tegar dan berani.

"Maka berlomba-lombalah berbuat keba­jikan." (Q.s. al-Ma’idah: 48).

Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Namun berlomba-lomba ini bukanlah seperti dalam masya­rakat awam untuk tujuan mengalahkan orang lain. Seba­liknya, ini adalah berlomba untuk mem­perbanyak kebajikan dan amal. Tujuan orang-orang beriman berlomba-lomba bukanlah untuk memperoleh keuntungan dunia atau untuk mengungguli orang lain. Sebaliknya, mereka berlomba-lomba untuk taat kepada perintah Allah, untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang disenangi Allah, dan untuk mencapai ridha Allah. Keterlibatan mereka dalam lomba seperti itu adalah manifes­tasi dari ketakutan dan iman mereka kepada Allah. Memang, usaha yang dilakukan sese­orang merupakan ukuran tentang keikh­lasan dan komitmennya. Dia ingin Allah ridha, memberi rahmat, dan surga, maka dia mela­ku­kan segala upaya dengan sungguh-sung­guh. Dengan menggunakan akal budi, hati nurani, dan kemampuan fisiknya secara mak­simal, dia berusaha untuk hidup sesuai dengan al-Qur’an dalam cara sesempurna mung­kin. Allah mem­beri tahu kita, bahwa usaha tulus mereka­lah yang membuat orang-orang beriman unggul dalam pandangan Allah.

"Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya."(Q.s. al-Mu’minun: 61).

3. Keuletan dan pantang menyerah

Dalam memperjuangkan impian, kita harus selalu optimis bahwa impian kita akan terwujud walaupun keadaan lingkungan belum menunjukkan sinyal kita akan berhasil. Pada zaman rasulullah sebelum menjadi nabi beliau sangat dipercaya, disayangi oleh semua masyarakat qurays, namun disaat beliau tepat berumur 40 th beliau diangkat jadi nabi keadaan berubah secara drastis yang dulunya mengatakan muhammad al-amin berubah mengatakan muhammad al-kadzub, akan tetapi rasulullah menghadapi cobaan tersebut penuh komitmen dan rasa optimesme, hal itu terlihat saat beliau disuruh pamannya untuk berhenti berdakwah karena pamanya merasa hawatir atas keselamatannya beliau menjawab: demi Allah saya tidak akan mundur satu langkah dari perkara ini pun sehingga Allah menjadikan perkara ini menang atau keluarga kamu mengikutinya. Keuletan dan pantang menyerah adalah modal kita menghadap rintangan,cobaan yang pasti akan ada pada perjalanan kita. Karena tidak mungkin cobaan tersebut diberikan Allah kepada orang yang tidak mampu mereka tang­gung karena Allah maha adil dan tidak pernah berbuat dzalim.

Al-Qur’an menyatakan:

"Allah tidak membebani seseorang melain­kan sesuai dengan kesanggupannya. Ia men­dapat pahala dari kebajikan yang diusaha­kannya dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya."(Q.s. al-Baqarah: 286).

"Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik" (Q.s. al-Ma‘arij: 5).

Orang beriman akan merasa aman dan nyaman karena tahu bahwa Allah tidak membebani mereka melebihi apa yang dapat mereka tang­gung. Dalam menghadapi kesusahan, mereka ingat bahwa ini adalah kejadian yang akan dapat mereka atasi, dan karena itu mereka menghadapinya dengan sabar. Maka, tak peduli betapapun berat penderitaan, mere­ka berusaha untuk menunjukkan sikap ber­serah diri kepada Allah.

Di samping itu, mereka tahu bahwa pen­deritaan-penderitaan telah menimpa orang-orang beriman di masa lalu, dan bahwa cobaan yang dihadapi orang di masa lalu akan mereka hadapi juga. Seseorang beriman sadar akan fakta ini, siap sejak lama sebelum dia benar-benar menghadapi kesulitan; dia telah ber­tekad bahwa dia akan tetap setia kepada Tuhan­­nya, dan dengan demikian, bertekad untuk menunjukkan kesabaran dan tawakal kepada Allah dalam keadaan apa pun.

"Dan sesunguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah dahulu bahwa mereka tidak akan berbalik ke belakang. Dan adalah perjanjian dengan Allah akan dimin­ta pertanggungjawabannya." (Q.s. al-Ahzab: 15).

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kela­paran, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (Q.s. al-Baqarah: 155).

Ada hal terakhir yang harus diingat. Cara orang-orang beriman menghadapi kesulitan dengan kesabaran berbeda dari pemahaman orang awam tentang kesabaran, yang sekadar pasrah. Namun, pemahaman orang beriman, bukan hanya "pasrah" tetapi meng­hadapi masalah dan berusaha menyelesaikan dan mengatasinya. Karena itu, orang beriman berusaha secara maksimal mencari solusi dengan menggunakan akal budinya dan semua sarana material dan fisiknya. Sambil melakukan itu semua, mereka berdoa kepada Allah agar memberi mereka kekuatan:

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rah­mati­lah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (Q.s. al-Baqarah: 286).

Sungguh, sikap dalam menghadapi kesu­litan inilah – usaha sungguh-sungguh dan sikap menerima – yang menunjukkan gairah sejati. Kekuatan iman mereka kepada Allah dan akhirat memungkinkan orang beriman untuk berjuang keras menghadapi kesulitan-kesulitan tanpa pernah merasa lemah-hati. Sebaliknya, ketika mereka menghadapi kesukaran, gairah mereka tumbuh bahkan lebih besar lagi, karena orang tidak dapat mencapai surga kecuali jika mereka telah diuji dengan kesu­litan-kesulitan sebagaimana orang-orang dari generasi masa lalu.

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepada­mu cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?" (Q.s. al-Baqarah: 214).

Karena itu, orang beriman pasti akan men­jumpai masalah-masalah dan kesulitan dan hal itu merupakan ketentuan agama. Dengan kata lain, ujian-ujian ini menentukan sifat-sifat penting orang-orang Beriman dan mem­beri­kan petunjuk bahwa mereka berada di jalan yang lurus.

KHATIMAH

Kita telah membahas bagai­mana orang-orang beriman dengan sung­guh-sungguh menjalani kehidupan berdasarkan prinsip-prinsip agama, bagai­mana mereka memperoleh kesenangan dari perjuangan mereka, dan bagaimana mereka akan menda­pat­kan ganjaran dengan karunia dan kehor­matan yang besar di mata Allah. Perhatian dicurahkan pada intensitas, kete­guh­an, dan keberanian yang ditimbulkan oleh semangat kepada orang-orang beriman. Yang juga berhubungan dengan ini adalah betapa ayat, "…. padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang beriman." (Q.s. Ali Imran: 139). Merupakan manifestasi bagi mereka yang berjuang dengan ikhlas.

Demikian pula telah digambarkan, kega­gal­an bagi mereka yang tidak berjuang dengan sungguh-sung­guh dan tertinggal di belakang, sekalipun mereka benar-benar mengetahui adanya Allah dan akhirat. Juga dijelas­kan ke­ru­gi­an yang akan mereka derita dan besarnya penyesalan yang akan mereka rasa­kan serta ratapan mereka, "Seandainya aku dahulu termasuk orang-orang yang memeluk agama ini dengan penuh kesungguhan…" Mereka telah diingatkan bahwa mereka dapat saja termasuk orang-orang yang hidupnya sia-sia dan telah diseru agar supaya beriman dengan sepenuh hati sementara mereka masih memi­liki waktu. Mereka yang hidup di tengah orang-orang beriman dan membaca al-Qur’an, namun menunjukkan karakter yang berbeda dengan orang-orang beriman telah diserukan agar beriman dengan tulus dan beramal dengan sungguh-sungguh.

Telah diingatkan mengenai kabar gembira, yaitu kasih sayang Allah bagi mereka yang memeluk Islam, sementara bagi mereka yang hidup di tengah-tengah orang-orang beriman dan melihat dari jarak dekat kesem­purnaan nilai-nilai al-Qur’an dan agama Allah namun tidak menanggapinya, maka mereka diingat­kan agar berhati-hati bahwa kehidupan mere­ka nantinya akan berakhir dengan kerugian yang amat besar. Sebagai­mana firman Allah di dalam al-Qur’an:

"Maka perhatikanlah bagaimana kesu­dahan orang-orang yang diberi peringatan itu. " (Q.s. ash-Shaffat: 73).

Sekali lagi, semua orang yang berakal diingatkan agar supaya mendengarkan suara hati nurani mereka dan bersungguh-sungguh menanggapi panggilan Allah. Ini karena manu­sia hanya punya kesempatan untuk hidup di dunia ini sekali saja. Dengan demi­kian, ia hanya akan diuji sekali saja. Begitu maut datang menjemputnya, tidak ada lagi kesempatan kedua.

Kehidupan di dunia ini berlalu "sekejab mata". Dalam kehidupan sekarang ini bila sese­orang mengikuti nuraninya dan menge­rahkan daya kehendaknya untuk waktu yang terbatas ini, ia akan menikmati karunia yang dianugerahkan oleh Allah untuk selama-lamanya. Namun bila ia berpaling dari agama yang hak, dan berkata, "Aku lebih suka menu­ruti hawa nafsuku," ia akan kehilangan karu­nia abadi sebagai harga yang harus dibayarnya untuk kehidupan yang singkat dan tidak sempurna ini, dimana hal ini adalah pertukar­an yang tidak menguntungkan dan tidak bijaksana.

Satu-satunya hal yang bijak untuk dikerja­kan adalah menghentikan obsesi atas kehi­dup­an dunia ini dan mencari pahala untuk akhirat. Karena begitu seseorang bertemu dengan malaikat maut, ia tidak akan punya waktu untuk berpikir atas kesenangan-kese­nang­an yang dinikmatinya di dunia ini atau pun hal-hal yang dianggapnya begitu penting. Begitu nyawa sampai di tenggorokan, ia tidak akan ingat lagi pada kesenangan-kesenangan yang pernah dirasakannya dalam kehidupan di dunia ini dan hanya akan menghadapi teror Hari Pengadilan.

Meskipun demikian, bila seseorang mencu­rahkan hidupnya untuk Allah dan dengan penuh gairah memeluk Islam, tidak ada alasan baginya untuk merasa takut terhadap siksaan dan akan mendapatkan kedamaian hati dan pikiran karena catatannya bersih. Dengan tidak merasa takut, pada hari itu ia akan berkata dengan gembira:

"Maka dia berkata: ‘Ambillah, bacalah kitabku ini’." (Q.s. al-Haqqah: 19).

Sementara sekarang masih ada waktu untuk mendapatkan akhir kehidupan yang penuh karunia, mengapa seseorang malah memilih untuk merasa takut diungkapkannya catatan amalnya kelak dan menderita penye­sal­an serta siksa yang kekal? Satu-satunya hal yang diperlukan untuk mendapatkan akhir kehidupan yang berbahagia adalah dengan mengikuti hati nurani dan hidup dengan nilai-nilai al-Qur’an secara tulus dan penuh gairah. Satu-satunya cara untuk mendapatkan kedamaian dan memperoleh kesenangan di dunia ini dalam arti yang sebenarnya adalah dengan cara hidup ini. Jika seseorang lebih suka menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk kepentingan yang sifatnya material, ia akan segera menyadari bahwa ia tidak mem­peroleh apa-apa darinya.

Artikulli paraprakBerkarya, Jalan Menuju Surga dan Neraka
Artikulli tjetërHuruf Pegon, Pemersatu Ulama Nusantara

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini