Banyak orang yang salah dalam memahami substansi pengagungan dan ibadah. Mereka mencampur adukkan kedua substansi ini dan menganggap segala bentuk pengagungan adalah ibadah kepada yang diagungkan. Berdiri, mencium tangan, mengagungkan Nabi SAW dengan sebutan “Sayyidina” dan “Maulana”, dan berdiri di depan beliau saat berziarah dengan penuh sopan santun; semua ini tindakan berlebihan di mata mereka yang bisa mengarah kepada penyembahan selain Allah.
Pandangan ini sesungguhnya adalah pandangan bodoh dan membingungkan yang tidak diridhoi Allah dan Rasulullah SAW serta menyusahkan diri sendiri yang tidak sesuai dengan ruh syari’ah islamiyah. Nabi Adam AS, adalah manusia pertama dan hamba Allah yang shaleh yang pertama dari jenis manusia, oleh Allah malaikat diperintahkan untuk bersujud kepadanya sebagai bentuk penghargaan dan pengagungan atas ilmu pengetahuan yang diberikan Allah kepada Nabi Adam dan sebagai proklamasi kepada para malaikat atas dipilihnya Nabi Adam bukan para makhluk lain. Allah berfirman:
وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ قَالَ ءَاَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِيْنًاۚ{61} قَالَ اَرَاَيْتَكَ هٰذَا الَّذِيْ كَرَّمْتَ عَلَيَّ لَىِٕنْ اَخَّرْتَنِ اِلٰى يَوْمِ الْقِيٰمَةِ لَاَحْتَنِكَنَّ ذُرِّيَّتَهُ اِلَّا قَلِيْلًا{62}
“Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu semua kepada Adam,” lalu mereka sujud, kecuali Iblis. Ia (Iblis) berkata, “Apakah aku harus bersujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?” {61} Ia (Iblis) berkata, “Terangkanlah kepadaku, inikah yang lebih Engkau muliakan daripada aku? Sekiranya Engkau memberi waktu kepadaku sampai hari Kiamat, pasti akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebagian kecil.” {62}
Dalam ayat lain Allah berfirman:
قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِيْنٍ
Iblis menjawab “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari
api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” {Q.S. Al-A’raf: 12}
Dan dalam ayat yang lain;
فَسَجَدَ الْمَلآئِكَةُ كلُّهُمْ أَجْمَعُوْنَ إِلَّا إِبْلِيْسَ أَبَى أَنْ يَكُوْنَ مَعَ السَّاجِدِيْنَ
“Maka bersujudlah Para Malaikat itu semuanya bersama-sama, Kecuali
iblis. ia enggan ikut bersama-sama (malaikat) yang sujud itu.”
{Q.S. Al-Hijr: 32-31}
Para Malaikat akhirnya bersujud mengagungkan makhluk yang diagungkan oleh Allah SWT. Sedangkan Iblis tetap angkuh dan enggan bersujud kepada Nabi Adam, makhluk yang diagungkan oleh Allah yang diciptakanNya dari tanah liat. Iblis makhluk pertama yang berani membangkang perintah Allah untuk ikut serta memuliakan Nabi Adam. Ia membantah, “Aku lebih baik darinya”. Iblis membantah Allah dengan argumen bahwa dirinya diciptakan dari api sedangkan Nabi Adam diciptakan dari tanah liat. Ia enggan memuliakan Nabi Adam dan menolak untuk bersujud kepada Nabi Adam. Akhirnya Iblis dijauhkan dari rahmat Allah karena kesombongannya.
Pembangkangan Iblis terhadap Allah adalah bentuk kesombongan yang luar biasa, sebab hakikat sujud hanya ditujukan kepada Allah SWT semata. Adapun sujud yang ditujukan kepada Nabi Adam AS hanyalah bentuk pengagungan dari Allah. Iblis sebenarnya termasuk makhluk yang mengesakan Allah akan tetapi persaksiannya atas keesaan Allah tidak berguna lagi karena keangkuhannya.
Salah satu firman Allah yang menjelaskan tentang pengagungan terhadap orang-orang shalih adalah firman Allah yang menyangkut Nabi Yusuf AS:
وَرَفَعَ اَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوْا لَهُ سُجَّدًاۚ
“Dan dia menaikkan kedua orang tuanya ke atas singgasana. Dan mereka (semua) tunduk bersujud kepadanya (Yusuf).”
Sujud ini adalah bentuk penghormatan, memuliakan, dan mengagungkan kepada Nabi Yusuf AS atas saudara-saudaranya. Sedangkan praktek sujud menyentuh tanah yang dilakukan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf ditunjukkan dengan firman Allah berupa kalimat “وَخَرُّوْا”, bisa jadi praktek demikian diperbolehkan dalam syariat Nabi yusuf, atau seperti sujud para Malaikat kepada Nabi Adam AS sebagai bentuk memuliakan, penghormatan dan memenuhi perintah Allah SWT yang menafsirkan mimpi Nabi Yusuf AS. Sebab, semua mimpi para nabi adalah wahyu.
Sedangkan penghormatan kepada Nabi kita Muhammad SAW, Allah memperbaharui tata cara dalam menghormatinya, seperti dalam firman Allah:
إِنَّآ أَرۡسَلۡنَٰكَ شَٰهِدٗا وَمُبَشِّرٗا وَنَذِيرٗا لِّتُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوه
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya dan membesarkan-Nya.” QS. Al-Fath: 8-9
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya.” QS. Al-Hujurat: 1
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَرۡفَعُوٓاْ أَصۡوَٰتَكُمۡ فَوۡقَ صَوۡتِ ٱلنَّبِيِّ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi.”
لَا تَجۡعَلُواْ دُعَآءَ ٱلرَّسُولِ بَيۡنَكُمۡ كَدُعَآءِ بَعۡضِكُم بَعۡضًا
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).”
Dalam konteks penghormatan kepada Rasulullah SAW, Allah melarang kita untuk berbicara mendahului Rasulullah SAW dan bersikap tidak sopan kepada beliau.
Sahal bin Abdillah berkata: “Janganlah kalian mendahului perkataan Nabi SAW sebelum beliau berkata. Dan jika beliau sedang bersabda dengarkanlah dengan seksama dan perhatikanlah.” Para sahabat juga dilarang memberi keputusan apapun baik perihal perang atau hal lain yang berkenaan dengan urusan agama sebelum Nabi SAW memberi keputusan. Allah SWT memperingatkan para sahabat dan seluruh umat nabi dengan firman-Nya:
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” QS. Al-Hujurat: 1
As-Silmi berkata: “Bertakwalah kepada Allah. Janganlah kalian melalaikan perintah-Nya dan menyia-nyiakan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya. Sebab Ia Maha Mendengar ucapan kalian dan Maha Mengetahui perbuatan kalian.
Allah SWT juga melarang para sahabat untuk mengeraskan suara melebihi suara Nabi SAW dan melarang berbicara dengan lantang kepada beliau seperti halnya berbicara lantang kepada sesamanya. Selain itu Allah juga mengajarkan kepada para sahabat dan seluruh umat untuk tidak memanggil beliau SAW seperti halnya memanggil kepada sesama. Allah mengajarkan agar para sahabat memanggil beliau SAW dengan sebutan yang mulia seperti “Ya Rasulallah” dan sebagainya. Allah berfirman:
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا ۚ
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).” QS. An-Nur: 63
Ayat ini dilatarbelakangi dengan peristiwa sekelompok orang yang datang kepada Rasulullah SAW dan memanggil beliau dengan nama beliau secara langsung. Kemudian Allah SWT menegur dan mengecam tindakan mereka sebagai tindak kebodohan.
‘Amr bin ‘Ash berkata,
“Tidak ada orang yang aku cintai melebihi Rasulullah SAW. Dan di mataku tidak ada yang lebih agung melebihi beliau. Aku tak mampu memandang beliau dengan mata terbuka lebar semata-mata karena menghormatinya. Jika saya ditanya bagaimana saya mensifati beliau, saya takkan mampu menjawab, sebab saya tak mampu memandang beliau dengan mata terbuka lebar.” HR. Muslim
“Pernah suatu ketika Rasulullah SAW keluar menemui sahabat Muhajirin dan Anshor yang sedang duduk. Diantara mereka terdapat Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar. Tidak ada satupun sahabat yang berani memandang beliau dengan wajah terangkat kecuali Abu Bakar dan Umar. Beliau dan mereka berdua saling memandang dan saling melempar senyuman.” HR. Turmudzi
Semua sahabat nabi selain Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar selalu menundukkan kepala saat mendengarkan Nabi SAW bersabda, seolah-olah kepala mereka sedang dihinggapi burung. Bukan berarti Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar tidak memiliki tata karama seperti para sahabat yang lain, akan tetapi kekuatan cinta beliau berdua dan cinta Baginda Nabi SAW sudah saling tertaut antara satu sama lain.
Pernah suatu ketika saat Urwah bin Mas’ud menjadi utusan perwakilan kaum Quraisy saat mengadakan perjanjian, ia datang kepada Rasulullah SAW dan melihat bagaimana cara para sahabat menghormati beliau. Ia melihat jika Rasulullah SAW berwudlu maka para sahabat segera berebutan mengambil air wudlu. Bila beliau meludah maka para sahabat segera meraihnya dengan telapak tangan mereka lalu menggosokkannya pada sekujur tubuh dan wajah mereka. Apabila ada sehelai rambut beliau yang jatuh mereka segera mengambilnya. Jika Rasulullah SAW memberi perintah para sahabat segera mengerjakannya. Jika Rasulullah SAW berbicara para sahabat tidak berani mengeraskan suara. Para sahabat sama sekali tidak berani memandang Rasulullah SAW dengan pandangan tajam karena menghormatinya. Ketika Urwah bin Mas’ud kembali ia berkata, “Wahai kaum Quraisy, aku pernah mengunjungi kaisar dan kisro di istana mereka, dan Demi Allah aku belum pernah melihat raja bersama rakyatnya sebagaimana Muhammad dan para sahabatnya.”
Usamah bin Syuraik berkata,
“Kami sedang duduk-duduk di samping Nabi SAW, seolah-olah kepala kami sedang dihinggapi seekor burung. Tidak ada seorangpun diantara kami yang berani berbicara. Tiba-tiba datang segerombolan orang kepada Nabi SAW lalu mereka bertanya; ‘Siapakah hamba yang paling dicintai oleh Allah?’. Nabi menjawab; ‘yang paling baik budi pekertinya.’” HR. At-Thabrani & Ibnu Hibban
Al-Barra’ pernah berkata;
“Sungguh aku sangat ingin menanyakan sesuatu kepada Rasulullah SAW. Namun aku memendamnya selama dua tahun, tiada lain karena aku segan kepada beliau.” Riwayat Abu Ya’la
Az-Zuhri pernah berkata;
“Seorang Anshor yang tidak saya ragukan kejujurannya memberi kabar, bahwa Rasulullah SAW jika berwudlu atau meludah maka para sahabat berebutan mengambil air ludah beliau, kemudian mereka mengusapkannya pada wajah dan kulit mereka. Kemudian Rasulullah SAW bertanya, ‘mengapa kalian berbuat demikian?’ ‘Kami mencari berkah darinya.’ Jawab para sahabat. Lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang ingin dicintai Allah dan Rasul-Nya maka berkatalah jujur, menyampaikan amanah, dan jangan menyakiti tetangganya.” Riwayat Al-Baihaqi
Secara kesimpulan, ada dua persoalan besar yang harus digaris bawahi;
Pertama; Kewajiban memberi penghormatan kepada Baginda Nabi SAW dan memuliakan derajat beliau melebihi seluruh makhluk.
Kedua; mengesakan Allah SWT dan meyakini bahwa Allah SWT berbeda dari semua makhluk-Nya dalam dzat, sifat dan perbuatan.
Barang siapa meyakini adanya kesamaan antara Allah dan makhluk-Nya dalam salah satu dari 3 aspek di atas, maka ia telah menyekutukan Allah seperti halnya orang-orang musyrik yang meyakini bahwa tuhan memiliki bentuk seperti makhluk dan mereka gambarkan sebagai berhala. Dan barang siapapun yang merendahkan Baginda Nabi SAW dari kedudukan semestinya maka ia berdosa atau bahkan kufur.
Adapun orang yang menghormati Nabi dengan segala bentuk penghormatan, selama tidak mensifati beliau dengan sifat-sifat Allah maka ia telah berada di jalan yang benar. Dan secara umum telah menjaga aspek-aspek ketuhanan dan kerasulan. Sikap yang semacam ini adalah sikap yang sesuai dengan ajaran syariat Islam.
Apabila ditemukan dalam ucapan kaum mukminin penyandaran sesuatu kepada selain Allah maka wajib dipahami sebagai majaz ‘aqli. Tidak ada alasan untuk mengkafirkannya. Karena majaz ‘aqli digunakan dalam Al-Quran dan As-Sunnah.