Ibadah menurut terminologi Islam adalah kepatuhan kepada Tuhan yang didorong rasa kekaguman dan ketakutan. Jadi, tahap paling awal ibadah adalah kepatuhan kepada Allah yang didorong rasa kekaguman dan ketakutan. Tetapi apabila ibadah itu sudah berkembang kualitasnya, artinya ibadah bukan karena rasa kagum dan rasa takut semata, maka ibadah memiliki beberapa muatan-muatan yang dianggap berkualitas jika di dalamnya tercakup aspek kekaguman, keikhlasan, kepatuhan, pengharapan dan sekaligus kecintaan. Kekaguman kepada Tuhan karena kebesaran_Nya, kenikmatan, atau kekuasaan_Nya, keikhlasan yang mendalam, rasa kepatuhan, ketakutan kepada Tuhan kalau sampai meninggalkan ibadah, pengharapan akan ridloNya dan kecintaan kepada Tuhan. Karena nikmat dan anugrahNya ibadah yang mengandung muatan-muatan seperti yang disebutkan di atas merupakan ibadah yang benar-benar berkualitas.
Di dalam Al-Qur’an surat al-Anfal ayat 2 dijelaskan;
"Hanyalah orang mu’min yang benar jika nama Allah disebut hati merka bergetar, merinding. Apabila diperdengarkan kepada mereka ayat-ayat Tuhan bertambah kuat iman mereka. Dan kepada Tuhan mereka selalu pasrah”.
Ada suatu cerita tentang salah seorang pendiri madzhab sunni, yaitu imam Syafi’i. Menurut kisah ini, Imam Syafi’i setiap malam melaksanakan shalat tahajjud. Usai shalat, beliau selalu membaca Al-Qur’an sampai tidak terasa kalau waktu subuh sudah tiba. Bagi Imam Syafi’i membac a Al-Qur’an merupakan sesuatu yang nikmat dan menarik hati, sehingga tidak bisa mengakhirinya. Mengapa? Sebab setiap kali membaca Al-Qur’an dia merasakan kenikmatan yang luar biasa sebagai pengaruh dari membaca Al-Qur’an tersebut. Kisah ini sebagai contoh betapa Al-Qur’an mengundang dan mengandung daya magnetik luar biasa, mempengaruhi pembacanya yang mengetahui isi dan kandungannya.
Kalau Imam Syafi’i merasakan kenikmatan membaca Al-Qur’an dan menambah keimanan setiap mengulanginya, sebaliknya betapa banyak di antara kita sekarang yang tidak merasakan manfa’at apa-apa saat memnbaca Al-Qur’an kecuali “sekedar membaca”. Kondisi ini mungkin mendekati apa yang diprediksikan oleh Nabi, di akhir zaman akan datang suatu zaman di mana orang-orang muslim sama-sama membaca Al-Qur’an secara verbal, Artinya Al-Qur’an hanya dibaca secara verbal dan hafalan, tetapi tidak ada pengaruh yang masuk ke dalam hatinya. Membaca Al-Qur’an hanya sebatas menjadi kegiatan-kegiatan mulut, bukan kegiatan-kegiatan hati.
Di dalam Al-Qur’an disebutkan;
“Orang-orang mukmin yang berkualitas adalah orang-orang mukmin yang beriman kepada Tuhan dan rasulNya, kemudian- sebagai tindak lanjut dari imannya- mereka merasa terpanggil dan tidak ragu-ragu melakukan perjuangan dengan harta maupun jiwanya demi kepentingan agama Tuhan”. Semua itu dilakukan karena imannya telah kokoh tertanam di hatinya sehingga tanpa ada keraguan sedikit pun untuk melakukan perjuangan di jalan Allah dengan harta maupun jiwanya. Orang mukmin dengan ciri-ciri itulah yang pada akhir ayat tersebut "orang yang imannya benar".
Ayat-ayat di atas menunjukkan ada kaitan antara iman dan ibadah. Iman mendasari pelaksanaan ibadah, sebaliknya ibadah tidak bernilai jika tanpa landasan iman, begitu juga dengan iman, tidak mungkin iman itu ada tanpa adanya ilmu. Ada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Malik yang disebutkan dalam kitabnya, Al-Muwatho’, Sunan Imam Nasa’i. Nabi Muhammad Saw bersabda;
ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الايمان
"Ada tiga hal yang jika terdapat pada diri seseorang maka orang itu akan menemukan kelezatan iman.
Pertama, kata Nabi…
كان الله ورسوله أحب اليه مما سواهما من ,
Yaitu, pada saat orang merasakan bahwa mencintai Allah dan RasulNya melebihi cintanya pada selain keduanya. Kalau ada orang yang cintanya kepada Allah dan RasulNya sudah lebih berat dari pada lainnya, maka orang ini akan menemukan manisnya iman.
Alkisah, ada seorang sahabat perempuan yang bernama Ummu Syarik. Pada waktu Perang Uhud, Ummu Syarik ini ditinggal oleh suaminya, ketiga anaknya, dan adiknya yang berangkat menuju medan Perang Uhud bersama pasukan Nabi lainnya. Dia selalu mencari berita dari mulut kemulut tentang berlangsungnya Perang Uhud. Dia mendapat kabar bahwa di saat Perang Uhud berlangsung ini banyak umat Islam yang gugur menjadi syahid, terluka maupun meninggal dunia. Sewaktu sahabat-sahabat pulang dari medan laga, Ummu Syarik mencegat mereka di luar kota Madinah. Tapi anehnya dia tidak menanyakan bagaimana keadaan suami, anak atau adiknya yang ikut berperang, akan tetapi sebaliknya, dia langsung menanyakan perihal Rasulullah. Sahabat yang ditanya menjawab bahwa Rasulullah dalam keadaan sehat wal-afiat. Namun dia belum percaya karena Rasulullah belum masuk kota Madinah. Ummu Syarik bertanya lagi beberapa kali kepada rombongan lain yang baru datang dengan pertanyaan yang sama, “Apakah Rasulullah dalam keadaan selamat?” Jawab sahabat “Rasul dalam keadaan baik. Hanya saya hendak menyampaikan berita yang mungkin mengejutkan hatimu wahai Ummu Syarik. Adikmu gugur, kedua anakmu luka parah, sedangkan suamimu juga luka, sekarang mereka masih di belakang. Tanpa disangka apa jawab Ummu Syarik,” Allah wa Ar.Rasul kulluma siwa rasul shaghir”. Kalau persoalanya bukan Allah dan Rasul itu kecil. Jawab tandas Ummu Syarik mengejutkan sahabat. Keprihatinan dan kecintaanya pada Rasul melebihi kecintaanya kepada keluarganya sendiri.
Dari kisah sahabat Nabi di atas bisa dijadikan teladan untuk kita, yang mana Ummu Syarik merupakan contoh sahabat yang cintanya kepada Allah dan Rasulnya sudah melampaui cintanya pada siapapun, termasuk keluarga terdekatnya sekalipun.
Semoga kita selalu mendapat hidayah dari Allah, sehingga kita bisa meniru kisah dari Ummu Syarik yang cint akan Allah dan RasulNya, amin.