Sebelum pesantren Sarang ini menjadi besar, terlebih dahulu pesantren ini telah ditirakati oleh pendahulunya. Yaitu, Mbah Muhdor dan Mbah Syamsyiyah. Mbah Muhdlor berasal dari Bonang yang bertempat tinggal di Sidoarjo. Sedangkan Mbah Syamsyiyah adalah anak Kiai Misbah dari Sedan yang masih mempunyai hubungan darah dengan Kiai Sulaiman Mojo Agung Jawa Timur.

Laluhur Mbah Syamsyiyah itu status sosialnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan status sosial leluhur Mbah Muhdlor. Dalam diri Mbah Syamsyiyah ini telah mengalir darah ke-kia-an dari Mbah Sulaiman yang merupakan seorang ulama yang alim dan sakti madraguna. Sehingga menjadi sebuah unen-enen (ucapan) kalau ada kiai sakti itu kebanyakan adalah keturunan Mbah Sulaiman Mojo Agung. Sedangkan Mbah Muhdlor itu hanyalah keturunan nelayan biasa.

Melihat kondisi nasab yang begitu jauh itu, saking cintanya kepada Mbah Syamsyiyah, Mbah Muhdlor bernazar jika dirinya dapat mempersunting Mbah Syamsyiyah yang merupakan cucu Kiai Sulaiman Mojo Agung, maka dirinya akan melakukan:

  1. Akan bertata bahasa halus ( kromo ) padanya (Mbah Syamsyiyah).
  2. Akan memenuhi semua permintaan Mbah Syamsyiyah selagi tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Nazar Mbah Muhdlor untuk Mbah Syamsyiyah dilaksanakan sebagaimana mestinya sebagai bukti cintanya kepada Mbah Syamsyiyah. Bukan itu saja, saking cintanya kepada Mbah Syamsyiyah, tatkala keduanya sedang melakukan perjalanan dari Sidoarjo menuju Sarang, Mbah Muhdlor mempersilahkan istri tercintanya untuk menaiki kuda, sementanra dirinya yang menuntunnya dengan berjalan kaki.

Ketika ijab qabul sudah berlangsung, Mbah Syamsiyah yang statusnya sudah menjadi istrinya Mbah Muhdlor itu rajin puasa setahun penuh (dahrii) dan tidak mau dikumpuli terlebih dahulu sebelum Mbah Muhdlor bersama Mbah Syamsiyah pergi haji.

Ketika keduanya melakukan perjalanan ibadah haji, keduanya terdampar di tiga pulau karena kapalnya masih berupa kapal layar. Tiga pulau tersebut yaitu ;

  1. Pulau Mondoliko Jepara
  2. Pulau pinang (kepulauan Riau atau Malaysia)
  3. Singgapura

Ketika Mbah Muhdlor dan Mbah Syamsyiyah dianugrahi putra-putri oleh Allah, maka namanya itu disesuaiakan dengan peristiwa yang pernah dialami keduaya ketika berhaji. Yaitu sebagai berikut:

  1. Dinamakan Nyai Mondolika (garwane KH Basyar/Tuban yang nanti menurunkan kiai-kiai Makam Agung Tuban).
  2. Dinamakan Nyai Pinang yang disunting oleh Kiai Ghozali Sarang yang menurunkan kiai-kiai Sarang.
  3. Dinamakan Kiai Singgopuro (Kiai Misbah) yang kelak menurunkan Kiai-Kiai Sidoarjo termasuknya KH. Ali Masyhuri bin Mubin bin Dasuki bin Misbah (Singgopuro).

Selain dengan Mbah Syamsyiyah, Mbah Muhdlor juga menikah dengan perempuan lain. Sebab, tatkala itu Mbah Syamsyiyah tidak mau diajak hubungan suami istri karena masih tirakatan. Mbah Syamsyiyah lebih suka tirakatan dari pada memenuhi ajakan suaminya tadi. Dengan penuh hormat dan cintanya kepada Mbah Syamsyiyah, Mbah Muhdlor mempersilahkan istri tercintanya itu untuk bertaqarrab dengan Allah lewat tirakatannya tadi.

BACA JUGA :  Cahaya Rasulullah Saw

Pernikahan Mbah Muhdlor dengan istri keduanya ini, dikaruniai putri satu yang diberi nama Afiyah. Tujuan pemberian nama ini disebabkan agar anak tersebut selamat. Afiyah ini dinikahkan dengan Yusuf, sosok pemuda yang tampan. Keturunan Yusuf dan Afiyah ini kemudian hari dipondokkan di pesantren Sarang. Mereka kebanyakan nakal-nakal. Keturunannya ini menyebar di beberapa tempat. Ada yang di Pati, Juwono dan Sarang. Kebanyakan dari mereka adalah menjadi rakyat biasa.

Sejarah pesantren Sarang ini tidak bisa dilepaskan dari Mbah Muhdlor dan Mbah Syamsyiyah. Sebab, dari Riyadhohnya (tirakatannya) Mbah Syamsyiyah, Allah telah menjadikan pesantren Sarang ini menjadi berkah. Mulanya berdirinya pesantren Sarang ini dipelopori oleh Mbah Ghazali bin Lanah yang merupakan menantunya Mbah Syamsyiyah. Lambat laun pesantren Sarang ini ramai. Sebab, keturunan Mbah Ghazali bin Lanah lah yang meramaikan pesantren Sarang ini.

Pondok pesantren Sarang yang pertama kali berdiri adalah pondok MIS. Pondok MIS ini berdiri sebelum adanya pembangunan jalan Daendlels yang menghubungkan antara Banyuwangi dan Banten. Setiap jarak jalan ini apabila sudah mencapai 7 KM, maka akan ada pos. Pos-pos ini di waktu itu sebagai tempat peristirahatan bagi orang yang berjalan. Pos-pos itu sekarang sudah tidak ada lagi. Semuanya sudah dibongkar. Yang terakhir dibongkar adalah pos yang ada di Sarang. Kayu-kayunya di waktu itu digunakan untuk membangun kantor Koramil. Syaikhina Maimoen Zubair termasuk salah satu panitianya.

Terakhir, Syaikhina Maimoen berpesan agar kita mempertahankan pesantren. Pesantren ini merupakan nikmat Allah yang agung. Kenikamatan ini tidak akan hilang kecuali manusianya sendiri yang merubahnya. Allah berfirman:

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّراً نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

"(Siksaan) yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri[621], dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui." (QS. Al Anfaal : 53)

Sarang, 17 Februari 2013

Catatan: Artikel ini disarikan dari ceramah Syaikhina Maimoen Zubair Pada acara Haul MUS 2006.

Artikulli paraprakCintailah Allah dan Rasul-Nya
Artikulli tjetërMukjizat di Balik ke-Ummi-an Rasulullah Saw

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini