HASIL KAJIAN ILMIAH
BIM (BADAN INTELEKTUAL MUHADLOROH) PERDANA
Malam Kamis, 29 Dzulqo’dah 1440 H
DAGING MASA DEPAN TANPA HARUS DISEMBELIH
Deskripsi Masalah
Inovasi demi inovasi terus diciptakan ilmuwan dunia tanpa henti demi menjawab kebutuhan manusia sesuai zamannya. Kali ini penemuan terbaru di bidang kuliner sedang banyak jadi perbincangan. Penemuan ini digadang-gadang jadi cara untuk memproduksi daging di masa depan. Bukan dengan berternak dan menyembelih lagi, orang cuma perlu mengambil sel hewan yang diinginkan lalu menjadikannya daging layak konsumsi.
Daging yang disebut lab-grown meat ini sudah pernah diperkenalkan ke publik 6 tahun lalu. Bentuknya berupa burger yang pembuatannya katanya menghabiskan biaya sebesar $280,000. Tapi saat itu daging ini masih dianggap terlalu kering karena kurangnya kandungan lemak di dalamnya. Baru belakangan ini makin banyak start-up yang mulai mengembangkan daging masa depan ini, lebih baik dari saat pertama kali muncul ke publik. Sekilas bentuknya memang mirip daging-daging pada umumnya. Tapi rasanya gimana ya? Kalau kata Uma Valeti, pendiri start-up Memphis Meats, dilansir VOA, daging ayam yang dia ciptakan rasanya sama kayak ayam pada umumnya sih. Lab-grown meat, seperti namanya, dibuat di laboratorium dengan memanfaatkan sel atau jaringan dari hewan yang kemudian “dipelihara” supaya bisa tumbuh jadi daging. Singkatnya begini, ilmuwan mengambil sel atau jaringan dari tubuh hewan yang ingin dagingnya “dikembangbiakkan”, lalu sel atau jaringan tersebut dilipatgandakan dan dibiarkan “tumbuh” membentuk jaringan otot sampai akhirnya membentuk daging. Bentuknya cukup mirip lo sama daging asli.
Kenapa sih ilmuwan ngotot banget buat menciptakan lab-grown meat ini? Alasannya selain ingin menghapus kekerasan pada hewan dalam industri peternakan, juga buat mengurangi emisi gas rumah kaca. Ternyata hewan ternak turut menyumbang global warming lo via www.bloomberg.com Nggak semua hewan ternak di dunia ini beruntung hidup di lingkungan peternakan yang nyaman, damai, nan sentosa. Banyak banget hewan seperti ayam, sapi, atau kambing yang menerima perlakuan tidak etis dari peternaknya. Entah mereka dipelihara di kandang yang sempit, kotor, dan jauh dari kata higienis, atau tidak mendapat perawatan yang layak.
Alasan itu yang mendorong para ilmuwan menciptakan daging buatan tanpa perlu repot membesarkan hewannya apa lagi “membunuh”nya. Selain itu daging masa depan ini juga diklaim jadi daging ramah lingkungan karena bisa membantu mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari mulut hewan ternak. Dikutip dari Tempo, gas metana dari mulut ternak bisa mempertipis lapisan ozon di atmosfer. Pembuatan lab-grown meat juga katanya sih butuh energi lebih sedikit dibanding mengembangbiakkan hewan-hewan ternak.
Tapi lab-grown meat ini belum bisa dijual bebas karena masih terbentur masalah higienitas. Lembaga makanan di Amerika Serikat masih terus memantau pembuatan daging ini. Sebelum bebas diperjualbelikan, daging buatan dari laboratorium ini harus lolos dulu uji kelayakan. Apalagi pembuatannya di laboratorium, nggak menutup kemungkinan daging malah bisa terkontaminasi suatu zat yang membahayakan konsumennya. Selain itu, munculnya inovasi di dunia ternak ini menimbulkan ketakutan tersendiri di kalangan para peternak, takutnya lama-lama orang jadi beralih ke daging buatan ini.
Sumber : https://www.hipwee.com
Pertanyaan:
Bagaimana hukum membuat dan mengkonsumsi daging buatan seperti dalam deskripsi di atas?
Jawaban:
Membuat
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa proses penyembelihan syar’i terutama udlhiyah tidak benar jika dipahami sebagai satu tidakan penyiksaan terhadap hewan. Penyembelihan secara syar’i terbukti merupakan upaya paling ramah terhadap hewan tanpa menyakitinya. Sebagaimana sabda baginda Nabi:
قال صلى الله عليه وسلم: إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
صحيح مسلم – (10 / 122)
Artinya: “sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat baik terhadap segala sesuatu. Maka jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih”
Hal ini juga didukung dengan adanya pendapat sebagian ulama’ yang menyatakan bahwa praktek udlhiyah (penyembelihan hewan kurban pada perayaan hari raya Idul Adha) wajib dilakukan dalam satu daerah (baca: Fardlu kifayah). Sebagai konsekuensinya, jika dalam satu daerah tidak diselenggarakan udlhiyah maka seluruh penduduk tersebut berdosa. Semakin jelaslah bahwa yanng selama ini Islam lakukan merupakan tindakan yang begitu ramah terhadap hewan konsumsi.
Sementara asumsi banyak kalangan vegetarian ekstrim (kelompok yang menolak atau berpantang dalam mengonsumsi makanan yang berasal dari hewan) bahwa penyembelihan merupakan penyiksaan terhadap hewan adalah asumsi tak berdasar karena hanya didasarkan pada selera subjektif dan pandangan kasat mata belaka. Terbukti dengan adanya kontradiksi dalam pola pemikiran mereka sendiri. Satu sisi mereka menolak penyembelihan dengan dalih penyksaan, namun di sisi yang lain mereka melakukan kloning daging yang proses pengambilan selnya juga merupakan penyiksaan terhadap hewan yang masih hidup.
Penolakan masif terhadap penyembelihan hewan sudah berkali-kali terbantahkan oleh pernyataan Ulama’-Ulama’ Islam sejak dahulu. Salah satunya adalah Imam ‘Izzudin ibn Abdissalam (wafat 760 H). Enam ratus tahun yang lalu beliau telah membantah asumsi rendah tersebut. Melalui pendekatan muwazatul maslahat (komparasi maslahat) beliau menyatakan bahwa mengharamkan penyembelihan daging hewan adalah sikap mendahulukan maslahat yang remeh dibandingkan maslahat yang jauh lebih besar.
فَمَنْ حَرَّمَ ذَبْحَ الْحَيَوَانِ مِنْ الْكَفَرَةِ رَامَ بِذَلِكَ مَصْلَحَةَ الْحَيَوَانِ فَحَادَ عَنْ الصَّوَابِ ؛ لِأَنَّهُ قَدَّمَ مَصْلَحَةَ حَيَوَانٍ خَسِيسٍ عَلَى مَصْلَحَةِ حَيَوَانٍ نَفِيسٍ ، وَلَوْ خَلَوْا عَنْ الْجَهْلِ وَالْهَوَى لَقَدَّمُوا الْأَحْسَنَ عَلَى الْأَخَسِّ ، وَلَدَفَعُوا الْأَقْبَحَ بِالْتِزَامِ الْقَبِيحِ . { فَمَنْ يَهْدِي مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ } ؟ فَمَنْ وَفَّقَهُ اللَّهُ وَعَصَمَهُ أَطْلَعَهُ عَلَى دَقِّ ذَلِكَ وَجُلِّهِ
قواعد الأحكام في مصالح الأنام – (1 / 6)
Artinya: “maka orang-orang kafir yang mengharamkan penyembelihan hewan dengan dalih demi kemaslahatan hewan telah melenceng dari kebenaran. Karena ia telah mendahulukan kemaslahatan hewan yang remeh dibandingkan hewan yang indah (manusia). Jika mereka suci dari kebodohan dan hawa nafsu maka mereka akan lebih mendahulukan yang baik di atas yang remeh. Dan mereka akan menghindari keburukan yang besar dengan melakukan keburukan yang remeh (sebagai solusinya) ‘maka siapakah yang dapat memberi petunjuk kepada orang yang telah disesatkan Allah. Dan tidak ada seorang penolongpun bagi mereka’? maka orang yang diberi pentunjuk dan dijaga oleh Allah akan memahami detail dan agungnya kajian tersebut”.
Maka, berdasarkan kajian pada literatur turats yang telah kami lakukan, hukum pembuatan daging ini adalah haram karena jelas merupakan praktek penyiksaan terhadap hewan yang tidak didasari pada dorongan Syar’i. Adapun berbagai dalih yang diuraikan sebagaimana deskripsi seperti minimalisasi emisi gas rumah kaca masih sebatas maslahat yang asumtif (mauhumah) yang tidak bisa dibandingkan dengan kuatnya pertimbangan dan pandangan Syari’at mengenai maslahat mengkonsumsi daging asli dan penyembelehan hewan.
Di samping itu, Nabi bersabda bahwa keberadaan hewan-hewan ternak yang merumput justru menjadi berkah. Bahkan beliau mengabarkan bahwa jika tak ada hewan-hewan inilah Allah SWT bisa saja menurunkan adzab kepada kita. Maka tuduhan kaum vegetarianis bahwa mulut hewan memperparah pemanasan global tidak mungkin diterima dalam Islam.
قال صلى الله عليه وسلم : مَهْلًا عَنِ اللهِ مَهْلًا ، لَوْلَا شَبَابٌ خُشَّعٌ ، وَشُيُوْخٌ رُكَّعٌ ، وَأَطْفَالٌ رُضَّعٌ ، وَبَهَائِمُ رُتَّعٌ ، لَصُبَّ عَلَيْكُمُ الْعَذَابُ صَبَّا
مسند أبي يعلى الموصلي – (13 / 166)
Artinya: “seandainya tidak ada pemuda yang khusyuk (beribadah), para sepuh yang ahli ruku’, bayi-bayi yang menyusu dan hewan-hewan yang merumput, tentu Allah akan menurunkan kepada kalian semua bencana yang dahsyat”
Disamping itu, terdapat banyak dampak negatif jika kita memperkenankan proses pembuatan daging imitasi ini. Semisal akan sulit bagi masyarakat luas untuk mendeteksi mana daging yang asli (halal) dan mana daging buatan yang hukum memakannya adalah haram (uraian hukum memakan selanjutnya akan dibahas lebih detail). Tentu tidak akan semudah kita membedakan mana daginmg kambing dan mana daging sapi, mana daging ayam potong dan mana daging ayam kampung. Bahkan tidak akan ada yang dapat memberi jaminan bahwa daging yang tersajikan adalah daging kloning asli dari sapi. Memandang banyak daging-daging imitasi lain yang juga beredar namun tanpa sedikitpun berbahankan sel sapi; seluruhnya adalah hasil rekayasa kimia.
Mengkonsumsi
Adapun hukum mengkonsumsinya juga Haram dikarenakan meskipun hewan yang diproses selnya tersebut merupakan hewan yang layak konsumsi namun proses pembuatannya menyebabkan daging buatan tersebut haram untuk dikonsumsi. Secara aturan fiqih, anggota tubuh yang diambil dari hewan yang masih hidup dihukumi sebagai bangkai. Dan tentu kita semua mengetahui bahwa mengkonsumsi bangkai hukumnya haram.
Uraian di atas didasarkan pada hadist baginda Nabi :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم :يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ يُحِبُّونَ أَسْنِمَةَ الْإِبِلِ وَيَقْطَعُونَ أَذْنَابَ الْغَنَمِ أَلَا فَمَا قُطِعَ مِنْ حَيٍّ فَهُوَ مَيِّتٌ
Artinya: “akan datang di akhir zaman golongan yang suka terhadap punuk unta dan pantat domba. Ingatlah sesuatu yang terpisah dari dari yang hidup adalah bangkai”.
Berlandaskan pada hadist tersebut, dapat kita pahami bahwa setiap anggota tubuh yang terpisah dari hewan yang hidup akan mengikuti hukum najis atau suci ketika hewan itu menjadi bangkai. Anggota tubuh manusia misalnya, akan dihukumi suci karena jika manusia tersebut mati jasadnya dihukumi suci. Berbeda dengan anggota tubuh dari sapi yang akan diambil selnya untuk dikloning. Sel tersebut dihukumi najis karena hukum bangkai sapi adalah najis. (Dalam terminologi Syari’at, sapi yang disembelih disebut madzbuh dan sapi yang mati tanpa disembelih disebut maitah atau bangkai)
Imam al-Damiriy menyatakan:
قال: ( وَالْجُزْءُ الْمُنْفَصِلُ مِنَ الْحَيِّ كَمَيْتَتِهِ ) أي كميتة ذلك الحي لأن الحياة قد زالت منه –إلى أن قال- ونقل اين المنذر علبه الإجماع
النجم الوهاج (1 / 414)
Artinya: “bagian tubuh yang terpisah dari hewan yang hidup dihukumi seperti bangkainya. Karena sifat ‘hidup’ telah hilang dari bagian tersebut … Ibnu al-Mundzir mengutip bahwa telah terjadi konsesus Ulama’ (Ijma’) menganai hukum najis tersebut”
Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj juga menjelaskan:
)وَالْجُزْءُ الْمُنْفَصِلُ مِنَ الْحَيِّ كَمَيْتَتِهِ ) طَهَارَةً وَنَجَاسَةً فَيَدُ الْآدَمِيِّ طَاهِرَةٌ خِلَافًا لِكَثِيْرِيْنَ وَأَلْيَةُ الْخَرُوْفِ نَجِسَةٌ لِلْخَبَرِ الْحَسَنِ أَوِ الصَّحِيْحِ )مَا قُطِعَ مِنْ حَيٍّ فَهُوَ مَيِّتٌ(
تحفة المحتاج (3 / 296)
Artinya: “anggota tubuh yang terpisah dari sesuatu yang hidup disamakan dengan ketika ia mati dalam aspek suci dan najisnya. Maka tangan manusia dihukumi suci berbeda dengan perdapat beberapa Ulama’. Sementara bokong dari anak domba dihukumi najis berdasar hadist yang hasan atau shahih ‘sesuatu yang terpisah dari dari yang hidup adalah bangkai”.
semoga kedepannya juga menyajikan pembahasan mengenai “penyembelihan hewan dengan cara laser dan pembacaan bismilah nya hanya pada awal penyembelihan saja(pada hewan yang pertama)”
terimakasih
insya allah akan kami post….
terimakasih atas masukanya.