Wanita selalu menjadi sumber inspirasi, kalimat pembuka ini mungkin sudah dapat mewakili ke mana arah pembahasan kita pada tulisan ini.

Yaa, pembahasan mengenai wanita mungkin akan selalu ada meskipun tema yang diusung selalu berbeda-beda. Namun pembahasan kali ini bukan tentang siapa wanita yang memiliki follower terbanyak, selebgram yang diendorse produk kecantikan, sosialita kolektor Hermes terbanyak, artis paling kontroversial ataupun persaingan antara ibu sultan Antara dengan salah satu pendangdut ibu kota. bukan, tema tersebut sama sekali bukan urusan kita dan benar-benar tema yang unfaedah.

Tema kita ialah posisi wanita (khususnya remaja putri) dalam pandangan Islam, apakah benar Islam menganggapnya sebagai warga kelas dua yang hak-haknya sangat terbatas serta sengaja diciptakan untuk menyandang status makhluk domestik yang seakan hidup dalam keterpasungan?. Jawabannya: tentu tidak demikian.

Dalam perjalanannya, sejarah telah mencatat bahwa wanita pernah mengalami masa paling kelam yakni pada masa-masa sebelum datangnya Islam atau yang lebih kita kenal dengan istilah masa jahiliyyah. Pada masa ini nasib kaum wanita begitu mengenaskan dan dipandang hina. Mereka tidak dipandang sebagaimana seorang manusia yang utuh, hak sipil mereka dikebiri, harkat dan martabat mereka dinodai, harga diri mereka dilecehkan, kemuliaan diciptakan sebagai wanita dinistakan, bahkan lebih dari itu mereka diperlakukan tak ubahnya barang dagangan bagi walinya sebelum ia menikah, setelah menikah pun penistaan, pelecehan dan penindasan dari suami masih saja dialami wanita pada masa tersebut. Wanita pada saat itu hanya dieksploitasi sebagai obyek pemuas nafsu kaum pria belaka. hal ini diperburuk lagi dengan kondisi mayoritas masyarakatnya yang pada saat itu mengamini mitos bahwa melahirkan anak perempuan merupakan sebuah aib besar dan membawa kesialan, sehingga mereka (kaum jahiliyyah) tidak segan-segan untuk membunuh dan mengubur putrinya hidup-hidup seperti yang dikisahkan dalam surat An-Nahl ayat 58-59. Kaum wanita di masa jahiliyyah bebas keluar rumah tanpa menutupi aurat, bahkan sudah biasa kaum hawa pada waktu itu melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah) dalam keadaan telanjang bulat tanpa sehelai benangpun. Astaghfirullahal adzim.

Dalam aksi maupun diskusi bertemakan perempuan, nampaknya akan selalu dilandasi asumsi bahwa perempuan berada pada lapisan bawah (low-layer), tertindas, dan tidak berdaya dengan bukti faktual sederet kasus seperti KDRT, TKW, PRT, buruh perempuan, human traffic, eksploitasi perempuan dalam bisnis dan sebagainya.

Oleh karenanya, menurut para pengasong feminisme diperlukan perjuangan menuju era emansipasi. Demi merealisasikan gagasan tersebut mulailah dimunculkan upaya enpowerment (pemberdayaan) perempuan. Kemudian agar semua langkah dan pikiran yang mendasarinya berhasil mendapat legitimasi, dicarilah legalitas filsafat dari wacana atau diskursus seputar dunia kewanitaan. Tidak sampai sini saja, mereka juga merasa wajib untuk merobohkan doktrin patriarki semacam “kesibukan wanita hanyalah di seputar sumur, dapur dan kasur” atau bahwa “tugas perempuan adalah masak, macak dan manak”, yang tampaknya sudah diterima secara luas baik oleh kaum adam maupun kaum hawa itu sendiri. Doktrin inilah yang dianggap membuat kaum wanita semakin tertinggal, tertindas, dan hidup dalam keterpasungan.

Islam tidak ketinggalan akan diperankan oleh kaum feminis sebagai kambing hitam dan biang ketertinggalan wanita, ajarannya dituding telah memberi kontribusi besar dalam kemunduran, ketertinggalan dan ketertindasan kaum hawa. Menurut mereka di dalam Islam ajaran-ajarannya terkesan maskulin, tidak akomodatif terhadap persetaraan gender yang mereka gaungkan dan diskriminatif terhadap hak wanita. Dari dulu sampai sekarang yang selalu mereka goreng adalah isu-isu mengenai poligami, fenomena jilbab, hak talak pada suami, hak pembagian warisan yang timpang dan tidak adil menurut mereka, keabsahan syahadah (persaksian) yang kualitasnya hanya separuh dari syahadah laki-laki atau penekanan terhadap peran domestic perempuan serta isu-isu lain mengenai syariat Islam yang berkenaan langsung dengan perempuan akan selalu mereka viralkan demi menguatkan tudingan dan fitnah terhadap syariat Islam.

Benarkah Islam telah sedemikian rupa memasung kebebasan kaum hawa? tidak akomodatif terhadap hak dan peranan perempuan? kemudian bagaimana sebenarnya Islam memberi peranan pada kaum hawa?.

Islam sebagai agama yang hanif tidak pernah memandang sebelah mata atau melakukan diskriminasi gender terhadap wanita, hanya saja Islam telah memberikan teritori khusus bagi kaum hawa dan porsi yang proporsional agar tidak mencederai kemuliaan wanita itu sendiri. Singkatnya, Wanita dan pria ibarat dua bintang yang beredar pada orbit yang berbeda.

Wanita dalam pandangan Islam sesungguhnya menempati posisi yang sangat mulia dan terhormat sehingga tidak mungkin mengalami bias gender. Islam memang terkadang berbicara tentang perempuan dari segi kodratnya seperti permasalahan haid, mengandung, melahirkan serta menyusui, terkadang pula berbicara sebagai manusia secara umum tanpa memandang gender sebagaimana kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, berakhlak mulia, amar makruf nahi mungkar, makan dan minum yang halal dan lain sebagainya. Kedua pandangan tersebut sama-sama bertujuan mengarahkan perempuan secara individual sebagai manusia mulia, serta secara kolektif bersinergi dengan kaum laki-laki dalam bingkai keluarga agar menjadi bagian dari tatanan masyarakat madani.

Anugerah Yang Besar

Islam benar-benar memuliakan kaum hawa sejak mereka dilahirkan ke dunia, selain menghapus stigma negatif dan mindset anak perempuan pembawa sial, Islam juga mengangkat derajat kaum hawa sejak masih usia belia dengan cara menjadikan anak perempuan sebagai salah satu anugerah yang besar bagi orang tuanya dan pelipur lara di kala gundah. hal ini dijelaskan langsung oleh Rasulullah shallallhu alaihi wasallama dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Uqbah bin ‘Amir:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَكْرَهُوا الْبَنَاتِ، فَإِنَّهُنَّ الْمُؤْنِسَاتُ الْغَالِيَاتُ

Artinya: Janganlah kalian semua membenci anak perempuan, karena sesungguhnya mereka adalah sumber kebahagiaan yang mahal harganya.” (HR. Ahmad bin Hanbal).

            Mari kita lihat, Islam sudah menjelaskan peran perempuan sejak masih dalam usia dini sebagai salah satu sumber kebahagiaan. Hal yang demikian dapat kita lihat dari karakter anak perempuan yang cenderung lebih tenang, lebih komunikatif dengan saudara dan orang tuanya, bisa menjadi pendengar yang baik bahkan bisa membantu pekerjaan rumah sang ibu. Namun bukan berarti kita kurang beruntung saat memiliki anak laki-laki, semua punya kelebihan dan tantangan masing-masing dalam mendidik dan mengasuhnya. Semua tergantung dari pola asuh yang diterapkan oleh orang tua.

Akses Pendidikan Yang Sama

            Saat menginjak usia sekolah berarti seorang anak perempuan sedang mendalami perannya sebagai penuntut ilmu. Dalam Islam baik wanita maupun pria sama-sama memiliki hak untuk menuntut ilmu, lebih-lebih ilmu agama. Andaikan benar tuduhan bahwa wanita dalam Islam dibatasi akses pendidikannya, mana mungkin muncul Sayyidah Aisyah radiyallahu anha yang meriwayatkan sekitar 2210 hadis, sehingga menduduki peringkat ke empat dari para shabahat nabi yang paling banyak meriwayatkan hadis, bahkan dikatakan bahwa seperempat hukum Islam telah diambil dari Sayyidah Aisyah radiyallahu anha. Saat kita ngaji hadis tentu akan kita temukan banyak sekali shahabiyat (sahabat nabi dari kalangan perempuan) yang menjadi perawi hadis. bahkan dari generasi setelahnya muncul tokoh-tokoh wanita cerdas selevel Hafsah binti Sirrin, Aisyah binti Thalhah dan Ummu Al-Banin ‘Atikah. Dalam bidang ahli hukum ada nama Ummu Isa binti Ibrahim (328 H/939) dan Amah al-Wahid (377 H/987 M. putri dari hakim Abu Abdullah Al-Husain Al-Muhamili). Di bidang tasawuf kita kenal nama Rabiah al-Adawiyah yang dijadikan tempat bertanya dan berdiskusi oleh para ulama sekelas Imam Sufyan As-Tsauri. Sejarah wanita-wanita hebat dalam bidang pendidikan atau bidang yang lain dapat kita temukan dalam kitab Akhbarun Nisa’ karya Imam Ibnu Jauzi atau kitab biografi lain yang di dalamnya terdapat pembahasan tentang perempuan.

BACA JUGA :  ANCAMAN LIBERALISME, SALAFY-WAHABI, SEKULARISME TERHADAP EKSISTENSI AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH (BAGIAN II)

Berbicara tentang pendidikan perempuan saya jadi ingat Mohammad Hatta yang dalam satu kesempatan mengatakan: “Jika kamu mendidik satu laki-laki maka kamu mendidik satu orang, Namun jika kamu mendidik satu perempuan, maka kamu mendidik satu generasi,”.

Pendidikan tidak selamanya identik dengan ijazah dan akademisi, namun ada yang lebih urgent yakni nama baik instansi tempat belajar, track record para pengajarnya yang bagus dan juga lingkungan yang aman bagi kaum hawa. kita patut bersyukur berada di tengah- tengah lingkungan pesantren yang tidak usah ditanyakan lagi kualitas tiga aspek di atas.

Pergaulan Yang Sehat

Pada usia remaja anak perempuan harus bisa berperan sebagai pribadi yang bisa menjaga dirinya dari pergaulan yang tidak sehat bagi mental dan psikis mereka, hal ini dikarenakan pada usia ini mereka rata-rata mereka labil, gampang baper dan bucin. Lingkungan pergaulan paling sehat bagi mental dan psikis remaja putri ialah pesantren salaf yang setiap harinya diisi dengan kegiatan ilmiah, teman satu circle yang kooperatif serta tidak ada gangguan dan rayuan dari lawan jenis. Lingkungan pergaulan yang Islami, sehat bagi mental dan fisik remaja putri bukan hanya hak pribadinya, namun juga termasuk kewajiban dan tanggung jawab orang tua dalam mengupayakan masa depan yang cerah dan sehat untuk putrinya. Rasulullah Shallallhu alaihi wasallama telah menjanjikan kedudukan yang mulia bagi mereka yang mengupayakan pendidikan dan lingkungan pergaulan yang sehat bagi putri-putrinya melalui sebuah hadis riwayat Abu Sa’id al-Khudri:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ كَانَ لَهُ ثَلَاثُ بَنَاتٍ أَوْ ثَلَاثُ أَخَوَاتٍ أَوْ ابْنَتَانِ أَوْ أُخْتَانِ فَأَحْسَنَ صُحْبَتَهُنَّ وَاتَّقَى اللَّهَ فِيهِنَّ فَلَهُ الجَنَّةُ»

Artinya: Barang siapa yg memiliki 3 orang anak wanita, atau 3 orang saudara wanita atau 2 orang anak wanita atau pun 2 orang saudara wanita, lalu ia berlaku baik kepada mereka dan juga bertakwa kepada Allah subhanahu wa taala berkenaan dengan apa yangg ada pada mereka, maka baginya adalah Surga.” (HR. Tirmidzi).

           Kalaupun sebagian pihak mempermasalahkan kehidupan di pesantren putri yang kurang sehat sehingga terdapat santri yang sakit-sakitan ketika di pondok, uang dan barang-barang pribadi yang kerap hilang atau keluhan lainnya yang menyudutkan pesantren, maka perlu mereka ketahui bahwa pesantren bukan hanya tempat menuntut ilmu saja namun juga merupakan miniatur hidup bermasyarakat yang di dalamnya terdapat banyak karakter, ada yang memang rentan terhadap penyakit, ada yang pandai menjaga barang-barangnya, dan ada pula yang dengan senang hati dan tanpa beban moral memakai serta mengambil barang temannya. Andaikan kita hitung kira-kira lebih banyak mana jumlah santri putri yang sakit-sakitan atau yang sehat, segar dan bugar?, pertanyaan ini juga berlaku pada kasus santri yang mengaku sering kehilangan barangnya di pesantren.

           Adanya Permendikbudristek Ri Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi Pasal 5 Ayat 2 yang berbunyi “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 meliputi: menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban” semakin menguatkan kesimpulan kami bahwa pergaulan di pesantren merupakan lingkungan pergaulan paling aman bagi remaja putri. Undang-undang tersebut hanya melarang pelecehan seksual yang terjadi di kampus serta tidak mendapatkan ijin dari korban, artinya jika dilakukan atas dasar suka sama suka maka tindakan-tindakan di atas tidak masuk kategori pelecehan seksual yang dapat dipidanakan dan sama halnya dengan melegalkan perzinahan yang dilakukan atas dasar suka sama suka. Naudzubillah.

Perempuan selalu dituntut hati-hati dalam menentukan sikap dan memilih jalan hidupnya, karena jika salah langkah yang terkena dampak tidak hanya dirinya sendiri, melainkan satu keluarga akan mendapat stigma negative dari masyarakat kita. Dalam surat al-Maryam ayat 28 Allah subhanahu wa taala berfirman:

يَاأُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا

Artinya:” Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.” (QS. Maryam:28).

Ayat ini menceritakan tentang cibiran yang dialami oleh Sayyidah Maryam saat mengandung Nabi Isa Alaihissalam. Bila kita perhatikan ayat di atas, yang menjadi sasaran cibiran dan cemoohan bukan hanya Sayyidah Maryam tapi juga ayah, ibu serta orang-orang shalih di sekelilingnya mendapat bagian cemoohan dan cibiran, meskipun sejatinya mereka dalam posisi yang benar.

Masih banyak sekali sebenarnya cara Islam dalam menjaga dan memuliakan kaum wanita baik dalam mendalami perannya sebagai istri, sebagai ibu, bahkan sebagai warga negara yang baik semuanya sudah diatur oleh Islam.

Yang perlu selalu diingat, dalam memberikan hak kepada pria dan wanita, Islam memegang prinsip keadilan bukan persamaan belaka (sebagaimana prinsip-prinsip dasar HAM versi Barat). Islam akan memberikan hak yang sama kepada pria dan wanita sepanjang hal tersebut menjamin terciptanya keadilan diantara keduanya. Dan sebaliknya jika persamaan itu justru mengakibatkan kaburnya rasa keadilan, maka dengan tegas Islam memilih untuk menanggalkan persamaan tersebut. Wallahu A’lam Bisshowab.

Oleh : Ust. Faishol Amin

Artikulli paraprakHukum Permainan Capit Boneka
Artikulli tjetërHukum Mystery Box

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini