Fikih sebagai genre disiplin ilmu dalam kajian Islam menempati peran yang sangat signifikan, karena fikih sebagai operasional normatif mempunyai andil urgen (penting) dalam membentuk sosio-kultural masyarakat Islam semenjak masa keemasannya. Kita dapat melihatnya dalam historitas terkontruksi-nya masyarakat Islam yang teratur secara syar’i; baik secara ekonomi, social, cultural, dan politik—walau dalam perkembangannya terpengaruh factor eksternal yang nantinya menimbulkan banyaknya persepsi dalam sikap politik masyarakat muslim waktu itu. Dalam pengamatan para pakar, keteraturan kontruksi social masyarakat Islam yang berdasarkan syari’at (Al-Qur’an dan Sunnah) belum pernah terwujud di belahan dunia manapun (Salah satu pakar yang mengatakan hal ini adalah Syekh Sa’id Hawa dalam Al-Islam).
Kemudian dalam perkembangannya, ilmu yang membahas tentang hukum atau qonun yang mempunyai relasi mengikat dengan aktivitas manusia ini, menempati peran penting pada akhir abad ke-2 Hijriyah. Fiqih sendiri dalam Islam adalah keharusan yang tidak bisa ditawar, atau bisa dikatakan harga mati. Hal ini memandang peran fiqih yang mengatur tata hidup manusia, sehingga hidup yang dijalaninya selaras dengan apa yang telah digariskan oleh syari’ serta tidak melenceng, dan juga memandang perlu adanya norma-norma kehidupan yang mengusung konsep jalbul masholih dan dar’ul mafasid, sehingga human-relation-nya manusia dapat tertata tanpa manimbulkan kerugian terhadap pihak lain.
Awalnya, sebelum menjadi genre tersendiri dalam kajian Islam, terutama kajian hukum dalam Islam, fiqih (dalam pengertian) hanyalah keputusan hukum para shahabat yang diadopsi langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah atau keputusan hukum yang disarikan dari sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah dengan memandang maslahah yang ada, yang mana belum mudawwan (terbukukan). Hukum-hukum yang di-istinbathkan oleh para fuqoha shahabat, seperti Abdulloh ibn Abbas, Sayyidatina ‘Aisyah, Umar ibn Khotob dan shahabat yang lain, lahir dari adanya dialektika antara realita peristiwa dengan tuntutan adanya hukum-hukum yang membatasi agar tujuan legislasi dalam Islam tetap terjaga.
Sebagai contoh pembukuan administrasi Negara pada masa kholifah Umar ibn Khotob. Kholifah Umar dalam hal ini mempunyai prespektif perlunya pembukuan adminstrasi Negara yang rapih agar income dan pembelenjaan Negara tidak terjadi devaluasi atau surplus, sehingga kemaslahatan umum—dalam hal ini Negara—tetap terjamin tanpa menimbulkan efek dalam prespektif syar’i.
Contoh lain, penyeragaman bacaan Al-Qur’an pada masa kholifah Utsman ibn Affan. Dalam hal ini juga, beliau mempunyai tendensi yang mana juga disetujui oleh para pembesar-pembesar shahabat. Dalam pandangannya, perlu adanya penyeragaman bacaan Al-Qur’an, karena kekhawatiran adanya tahrif dan maksud inti dari Al-Qur’an. Penyeragaman ini disebabkan beberapa factor, di antaranya: wilayah kekuasaan Islam yang semakin meluas, hingga banyak para shahabat yang menetap di daerah kekuasaan Islam di luar semenanjung Arab serta terkontaminasi bahasa dalam proses aviliasi dengan masyarakat setempat hingga menyebabkan logat yang mereka gunakan dalam melafalkan Al-Qur’an mengalami perubahan bacaan.
Namun yang ironis dan menjadi problem tersendiri bagi umat Islam, adalah sikap acuh tak acuhnya terhadap fiqih—yang notabene adalah norma-norma yang disarikan dari Al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan tak sedikit pula yang bersikap konfrontatif, dan mengatakan bahwa fiqih dalam kehidupan modern sudah tidak relevan, fiqih hanyalah akan memasung gerak pemikiran umat muslim modern menjadi stagnan dan jumud.
Ada juga yang mendakwakan adanya rekontruksi syari’at dan fikih dan perlu adanya penafsiran ulang terhadap syari’at, karena interpretasi yang pernah diproduksi oleh ulama salaf tidak mencerminkan kekinian. Dalam pandangan mereka interpretasi yang ada tidak bisa diaktualisasikan sebagai interpretasi yang relevan dengan kehidupan modern. Namun metode yang digunakan bukanlah metode yang sudah menjadi consensus ulama selama berabad-abad. Mereka malah menggunakan metode filsafat barat yang sifatnya tidak konstan dan masih mengalami progresifitas yang masih menjadi diskursus.
Kita lihat saja konsep interpretasi yang mereka tawarkan, yaitu hermeneutika. Hermeneutika adalah metode interpretasi yang pernah digunakan untuk menafsirkan Bibel ketika dihadapakan dengan kekinian, hingga akhirnya Bibel terombang-ambing dalam skeptisisme obyektif, di samping teks Bibel yang problematic. Hermeneutika sendiri mempunyai corak tersendiri dalam pandangan setiap filsuf. Schleiermacher misalnya, seorang teolog asal Jerman yang pertama kali menggunakan metode ini guna menafsirkan Bibel. Dia berpandangan bahwa hermeneutika disetarakan dengan exegesis sebagaimana tafsir dan ilmu tafsir. Atau Carl Barten yang mengatakan bahwa hermeneutika adalah suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata, atau teks kejadian dalam waktu dan budaya lampau dapat dipahami dan dimengerti serta menajdi lebih bermakna secara eksistensial dalam situasi kekinian. Lain halnya dengan Gadamer yang mana dia berpendapat bahawa dalam hermeneutika, si penafsir melakukan interaksi dengan teks sebagai sebuah dialektika, hingga setiap jawaban adalah relatife dan tentatife kebenarannya.
Sebenarnya kalau kita mau menlik lebih jauh, esensinya bukan demikian. Selama ini, kalau kita menilik literatur fikih atau cabang ilmu syari’at yang lain mencerminkan dinamika yang mengagumkan. Para penulis-penulis semenjak awal perkembangan fikih membukukan dinamisasi fiqih dalam realita social masyarakatnya. Kitab Majmu’ karya Imam Nawawi misalnya. Dalam kitab tersebut Imam Nawawi menuangkan hasil tarjih dan fatwa-fatwanya berkaitan dengan realita yang selalu berubah. Dalam kitabnya yang lain "Fatawi Imam Nawawi", juga Imam Nawawi memberikan solusi hokum berkaitan dengan kejadian dan peristiwa pada masanya. Sebagai contoh permasalahan Khoroj (pajak bumi). Dalam hal ini ketika si wajib pajak mempunyai kewajiban membayar zakat dan khoroj, maka kedua-duanya harus di bayarkan, karena dalam pandangan Imam Nawawi obyeknya sudah berbeda.Khoroj obyeknya adalah tanahnya sedangkan sepersepuluh dari wajib zakat adalah hasil panen tanaman. Dan masih banyak contoh lainnya yang perlu kita tilik, agar kita tidak terjebak dalam asumsi.
Atau kita juga dapat melihat kitab Bughyatul Mustarsyidin karya Sayyid Ba’alawy Al-Hadromy yang terhitung sebagai ulama muta’akhirin. Dalam kitab ini beliau meredaksikan hasil-hasil istinbat para ulama tentang problem yang dihadapi umat Islam dalam konteksnya. Sebagai contoh tentang masalah ada kewajiban atau tidak taat pada imam (pemimpin Negara) dalam hal yang sesuai dengan syari’at atau tidak sesuai, misalnya. Dalam hal ini beliau menjelaskan perbedaan pandangan para ulama tentang wilayah yang harus dita’ati oleh rakyat atas perintah imamnya. Contoh-contoh diatas masih dalam kisaran syafi’iyyah. Kalau kita juga mau melihat dan meneliti lebih lanjut dalam madzhab-madzhab selain syafi’iyyah kita dapat melihat dinamika fikih dalam realita sosio-cultural beserta progresifitas dan mobilitasnya.
Hematnya, penulis hanya ingin menunjukkan relevansi fikih dalam kekiniaan serta tetap eksis dalam tantangan modernitas. Kita sebagai pewaris dari tradisi berpikir dalam kajian hukum Islam (fikih) harus memaknai esesnsi fikih dan perlu adanya revivalitas fikih yang telah dikembangkan ulama-ulama Indonesia atau timur tengah. Salah satunya yang harus tetap kita jaga adalah metode diskusi ‘Bahtsu Al-Masa’il’ dengan menggunakan semangat qiro’atul ‘ashriyyah bit turots wa litturots. Selamat mengembara dalam lautan fikih yang luas. [The Fikr ’09]