Kemunculan wacana fatwa haram golput akhir-akhir ini mendapat tanggapan yang beragam, wacana yang muncul dari sebuah permintaan fatwa oleh Hidayat Nurwahid yang berkapasitas sebagai ketua MPR sekaligus anggota Majlis Syura DPP PKS kepada ormas-ormas Islam terutama MUI itu, ada yang menilai sarat akan muatan politis, ada juga yang menilai itu adalah buntut dari seruan golput yang dilakukan oleh KH. Abdurrahman Wahid yang merasa tidak puas karena langkahnya menuju RI-I dijegal rival-rival politiknya dengan undang-undang persyaratan calon presiden. Hidayat beralasan bahwa umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia harus disadarkan untuk menggunakan hak pilihnya. Salah satu jalan yang bisa di tempuh adalah dengan mengeluarkan fatwa yang mengharamkan golput. "Penting bila ormas-ormas Islam, terutama MUI membuat fatwa tentang haramnya golput dan wajibnya memilih",ujarnya. Keinginan dikeluarkannya fatwa haram ini juga di dukung petinggi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Mereka menyadari, dalam kerangka undang-undang, memilih itu memang tidak wajib, karena hal itu jelas bertentangan dengan kebebasan menentukan pilihan yang telah di jamin undang-undang.

Tanggapan yang berbeda justru keluar dari politikus kawakan partai Golkar, Akbar Tanjung. Dia menilai bahwa desakan untuk mengeluarkan fatwa haram tidak perlu direspon. Dalam pandangannya, politik dan pemilu merupakan persoalan dunia yang bersifat profan dan tidak sakral, "masak urusan pemilu dikaitkan dengan agama. Rasanya terlalu berlebihan kalau hukumnya golput itu haram, pengertian haram itu kan berarti melanggar hukum agama", kata mantan ketua umum HMI itu. Dan ketika ditanya mengenai adakah muatan politis di balik desakan Hidayat Nurwahid tersebut? Jawab Akbar, "Bagaimanapun beliau itu politikus. Jadi, dalam setiap statemen bisa saja terselip muatan politisnya".

Sebenarnya masih banyak lagi tanggapan yang terlontar seputar permintaan fatwa tersebut, entah dari politikus setingkat mereka atau kalangan bawah yang mereka ungkapkan melalui tulisan di surat kabar-surat kabar nasional atau daerah. Dan perlu di ingat juga, fatwa ini sebenarnya sudah pernah dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama’ sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia,. Mungkin fatwa ini perlu dimunculkan lagi setelah melihat fenomena golput yang terjadi lebih dari separo jumlah pemilih sah dalam pilkada-pilkada yang telah dilaksanakan di daerah-daerah.
Terlepas dari semua itu, sebenarnya apakah golput itu?, mengapa memilih golput?, benarkah golput mematikan demokrasi?, dan bagaimanakah para ulama’ menyikapi golongan ini?.
Golput pertama kali diperkenalkan oleh Arief Budiman di masa orde baru. Warna putih yang menjadi nama dari golongan ini bisa mengartikan kebersihan mereka dari kotornya dunia politik di negeri ini, tapi juga bisa mengartikan sebuah kekecewaan dari mereka terhadap partai atau calon, baik legislatif atau presiden dan wakil presiden. Aksi golongan ini pun beragam, ada yang melakukannya dengan tidak ikut datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya atau datang dan mencoblos semua gambar karena takut suaranya di manfaatkan. Banyak alasan yang mereka lontarkan, ada yang karena merasa tidak puas dengan calon-calon yang sudah ada, sudah bosan dengan pemilu dan pilkada yang tidak pernah membawa perubahan berarti dan bahkan ada yang hanya beralasan malas berangkat ke TPS.

Lalu benarkah golput adalah sikap yang tidak bertanggung jawab dan mematikan demokrasi?, hal ini sebenarnya tergantung dari mana dan bagaimana kita memandang. Dari sisi undang-undang, golput it’s no problem!, tapi dibanyak kalangan golput di anggap sebagai sikap yang tidak mencerminkan jiwa nasionalisme, patriotisme, tidak bertanggung jawab dan merusak tatanan demokrasi.

Dan mengenai bagaimana sikap para ulama dalam menanggapi hal tersebut?. Sebelum menuturkan pendapat mereka, terlebih dahulu akan kami paparkan hal-hal yang berhubungan dan mendasari pendapat mereka.

Nashbul Imam (Mengangkat Presiden)
Telah menjadi konsensus para ulama’, mulai dari para sahabat sampai tabi’in bahwa mengangkat imam a’dzom, amir atau khalifah hukumnya adalah wajib. Ini juga bisa ditunjukkan dengan langkah para sahabat yang segera mencari pengganti Rosulullah SAW. setelah beliau wafat. Dan menurut faham aswaja, kewajiban ini adalah secara syar’I, bukan berdasar akal seperti yang dikatakan kaum mu’tazilah. Lalu bagaimana dengan system yang digunakan para ulama’ dalam mengganti atau mengangkat seorang imam?.

Dalam diskursus fiqh siyasah, ada beberapa bentuk suksesi kepemimpinan, mulai dengan cara pembaiatan oleh ahlul halli wal aqdi yang terdiri dari para ulama’, para pemuka atau tokoh-tokoh masyarakat yang telah memenuhi syarat, seperti pembaiatan para sahabat kepada sayyidina Abu Bakar. Lalu dengan system istikhlaf, yaitu dengan di pilih dan di angkat oleh penguasa terdahulu, seperti pengangkatan sayyidina Umar bin Khoththob oleh khalifah Abu Bakar As-Shiddiq di akhir hayat beliau, atau dengan cara imam terdahulu menunjuk orang lain untuk memilih dan mengangkat imam setelahnya, seperti yang dilakukan oleh sayyidina Umar bin Khoththob dengan memilih 6 pemuka sahabat untuk menentukan dan mengangkat pengganti beliau. Metode monarki seperti ini lazimya digunakan di Negara dengan system pemerintahan teokrasi.

Yang terakhir adalah dengan cara istila” atau kudeta kekuasaan. Penguasa dengan cara ini tetap wajib di taati dan diindahkan semua kebijakan-kebijakannya walaupun dia tidak memenuhi syarat–syarat sabagai seorang imam, dan kedudukannya di sisi hukum pun sama dengan imam a’dhom.

Lalu bagaimana dangan status imam atau presiden yang di angkat dengan system pemilihan umum seperti yang terjadi di negeri ini?, bisakah disebut sebagai imam a’dhom?
Sayyid Abdurrohman bin Muhammad bin Husain dalam kitabnya Bughyatul Mustarsyidin berkesimpulan bahwa dari tiga macam suksesi diatas ketika memang kepala negara memenuhi syarat-syarat seorang imam maka dia bisa dikatakan sebagai imam a’dhom, dan jika tidak maka hukumnya sama dengan penguasa dengan jalan kudeta atau penggulingan kekuasaan secara tidak sah atau dalam istilah fiqh di sebut Mutawallin Bi As-Syaukah.

Mereka berkesimpulan seperti itu karena memang dalam Islam, seorang imam harus memenuhi beberapa kriteria. Dr. Yusuf Al-Qordlowy mendefinisikan imam sebagai ‘seorang pengganti rosulullah SAW dalam menjalankan tugas menegakkan hukum-hukum agama Islam dan menjaga serta mengatur urusan duniawi rakyatnya ( Dr. Yusuf Al-Qordlowy, Ad-Siyasah As-Syar’iyyah, Kairo : Mathba’ah Al-Madany, cetakan perdana, 1998, hlm. 48). Maka, agar bisa menjalankan fungsinya dan manjaga amanatnya dengan baik dan benar, seorang imam menurut Ibnu Khaldun harus memenuhi empat kriteria sebagai berikut :
1. Berpengetahuan. Syarat ini mutlak adanya, karena bagaimana mungkin seorang imam bisa menegakkan hukum-hukum Allah jika tidak memiliki pengetahuan.

2. Adil, ini disyaratkan karena imam sabagai decision maker (penentu kebijakan) dituntut untuk bisa membuat kebijakan-kebijakan yang populer dan pro rakyat. Bahkan Al-Qodly Husain mengatakan bahwa ketika kita dihadapkan pada pilihan antara calon yang adil tapi tidak berpengetahuan dan yang berpengetahuan tapi fasiq, maka yang pertama harus diutamakan. Beliau beralasan karena orang yang pertama tadi, walaupun tidak berpengetahuan, tapi karena keadilannya dia akan menyerahkan urusan yang berada di luar kemampuannya kepada ulama’ (Imam As-Suyuthy, Asnal Matholib). Sedangkan Imam Al-Mutawally berkomentar bahwa ketika terpaksa harus mengangkat imam yang tidak memenuhi syarat ini, kita tetap diperbolehkan mengangkatnya, dengan dasar bahwa seorang imam tidak bisa dilengserkan hanya karena alasan fasiq, pendapat ini di dukung oleh Imam Al-Adzro’y, beliau menambahkan bahwa kita tidak mungkin membiarkan negara dalam keadaan vakum.

3. Kapabel. Ini mengingat tugas seorang kepala Negara begitu berat. Nabi SAW bersabda kepada Abu Dzarr Al-Giffary ketika dia meminta beliau untuk berkenan menjadikannya sebagai salah seorang pejabat dipemerintahannya :
"???§ ?£?¨?§ ?°?± ?¥?†?ƒ ?¶?¹???? ?Œ ?ˆ?¥?†?‡?§ ?£?…?§?†?© ?Œ ?ˆ?¥?†?‡?§ ???ˆ?… ?§?„?‚???§?…?© ?®?²?? ?ˆ?†?¯?§?…?© ?¥?„?§ ?…?† ?£?®?°?‡?§ ?¨?­?‚?‡?§ ?ˆ?£?¯?‰ ?§?„?°?? ?¹?„???‡ ?????‡?§"?±?ˆ?§?‡ ?…?³?„?… ???‰ ?µ?­???­?‡ ?ˆ?£?­?…?¯ ?¨?† ?­?†?¨?„ ???‰ ?…?³?†?¯?‡
Artinya :
�wahai Abu Dzarr, sesungguhnya kamu orang lemah sedangkan jabatan merupakan amanat, dan di hari kiamat merupakan kehinaan dan penyesalan. Kecuali bagi orang yang berhak dan mau menunaikan apa yang menjadi amanatnya. (Diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab As-Shohihnya dan Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya).

BACA JUGA :  Risalah Wanita

4. Sehat secara psikis atau mental, dan indrawi, yakni tidak tuna wicara, rungu dan atau tuna netra. Adapun mengenai kesehatan organ yang lain seperti tangan dan kaki, para ulama’ masih berselisih pendapat, menurut Imam Al-Mutawally hal ini tidak di syaratkan, berbeda dengan Imam Al-Mawardi yang tetap mensyaratkan kesehatan organ-organ tadi. Dan pendapat inilah yang di dukung oleh Imam An-Nawawy.

Sebenarnya masih ada beberapa syarat lain, selain yang kami kutip di atas, yang tidak disebutkan oleh Ibnu Khaldun, yaitu syarat harus beragama Islam, syarat ini tidak bisa di tawar lagi, dikarenakan dia mengemban amanat agama Islam dan para pemeluknya. Merdeka, karena seorang imam harus berkharisma dan disegani, dan ini tidak mungkin bisa didapat dari seorang budak. Lalu mukallaf dan laki-laki, disyaratkan harus laki-laki menurut imam As-Suyuthy di antara alasannya adalah karena dia dituntut untuk selalu tampil di depan publik, dan ini jelas bertentangan dengan norma kewanitaan dalam Islam. Nabi SAW bersabda ;
"?„?† ?????„?­ ?‚?ˆ?… ?ˆ?„?ˆ?§ ?£?…?±?‡?… ?§?…?±?£?©"(?±?ˆ?§?‡ ?£?­?…?¯ ?ˆ?§?„?¨?®?§?±?? ?ˆ?§?„???±?…?°?? ?ˆ?§?¨?† ?…?§?¬?‡)
Artinya :
�Tidak akan beruntung suatu kaum yang menjadikan seorang perempuan sebagai pemimpinnya" (HR. Ahmad, Al-Bukhory, At-Turmudzi dan Ibnu Majah)

Sistem Pemilihan Umum di Indonesia
Negara ini termasuk penganut paham demokrasi sekuler yang dikembangkan oleh barat dan tidak sesuai dengan tuntunan syari’at Islam. Karena konsep demokrasi dalam Islam (kalau seandainya yang ada dalam Islam bisa dikatakan sebagai demokrasi. Pen.) ( Penulis merasa perlu menyusuli dengan kata-kata ini karena suatu istilah yang tidak ada dalam Islam dan maknanya pun, baik secara adat atau bahasa, bertolak belakang dengan syareat Islam, maka haram menggunakannya sebagai istilah dalam agama ini, walaupun disifati dengan kata-kata yang berbau Islami. (lihat : As-Syaikh Abdul ‘Aziz Al-badry dalam kitabnya, Hukmul Islam Al-Isytirokiyyah)) jelas bertentangan dengan yang berlaku di Negara ini. Dalam kitab Nidhom As-Siyasah Al-Islamiyyah di sebutkan ada tiga perbedaan prinsipil antara keduanya ;

1. Dalam demokrasi sekuler, umat atau bangsa di batasi dengan persamaan ras, bahasa dan warna kulit yang berada dalam territorial geografis tertentu. Paham seperti ini akan semakin menumbuhkembangkan semangat chauvinisme. Sedangkan dalam Islam, umat atau bangsa berkoridor akidah atau kepercayaan, karena mereka semua masih berada di bawah atap yang satu yaitu Ar-Risalah Al-Muhammadiyyah. Allah SWT berfirman ;

{?ˆ?…?§ ?£?±?³?„?†?§?ƒ ?¥?„?§ ?ƒ?§???© ?„?„?†?§?³ ?¨?´???±?§ ?ˆ?†?°???±?§} ?³?¨?£ : 28

Artinya ;
"Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan"(Q.S. Saba’ : 28)
Jadi setiap orang yang memeluk agama Islam, walaupun ras, warna kulit dan bahasanya berbeda, mereka tetap bangsa yang satu.

2. Tujuan demokrasi barat hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan duniawi dan pencapaian kebahagiaan yang bersifat profan, tanpa adanya perhatian tarhadap kebutuhan spiritual keagamaan para penganutnya. Sedangkan dalam Islam, akhirat menjadi main purpose atau tujuan utamanya, dan pemenuhan kebutuhan duniawi pun harus berorientasi pada kepentingan ukhrowi.

3. Dengan dalih "Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat", demokrasi sekuler menempatkan rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi secara mutlak dan tanpa batas. Mereka bisa membuat dan merubah undang-undang sesuai kepentingan diri mereka sendiri dengan mengabaikan hukum syariat. Sedangkan dalam Islam, syari’ (Allah dan Nabi-Nya) adalah penguasa dari segala penguasa, dan baru ketika tidak ada nash-nash darinya, umat di beri ruang untuk berijtihad sesuai dengan mekanisme yang sudah dirumuskan para ulama’, karena merekalah pewaris ilmu para Nabi.

Golput Dalam Islam
Ketika system pengangkatan kepala Negara berkembang lewat Pemilihan Umum (pemilu) dalam negara demokrasi dengan dasar persamaan hak memilih dan dipilih, maka persoalannya menjadi rancu. Tidak ada perbedaan antara yang baik dan yang kotor, antara yang mengerti dan yang tidak mengerti, serta antara yang laki-laki dan yang perempuan (KH. Moch. Sa’id Abdurrohim, Al-Imam Fi Al-Intikhobil ‘Aam, hlm. 5). Tetapi, meskipun dalam system demokrasi yang di anut bangsa ini terdapat begitu banyak kebobrokan, diantaranya seperti yang sudah kami sebutkan, tetap saja ini tidak bisa merubah hukum kewajiban mengangkat seorang kepala Negara. Karena seperti alasan yang diungkapkan oleh Imam Al-Adzro’y di atas, bahwa kita tidak mungkin membiarkan Negara dalam keadaan vakum (kosong kekuasaan),

Dengan keadaan perpolitikan di Indonesia yang carut marut seperti di atas, di mana calon yang ada banyak yang tidak memenuhi kriteria seorang imam, atau hanya memenuhi sebagian saja, maka hukum kewajiban memilih di sini masih di pilah-pilah;

1. Fardlu kifayah
jika memang di antara calon tidak ada yang memenuhi syarat sebagai seorang kepala Negara atau hanya memenuhi sebagian saja, maka yang menjadi prioritas utama adalah kemaslahatan bagi Islam dan muslimin, dan kalau memang calon yang paling bisa membawa kemaslahatan sudah bisa dipastikan memenangi pemilihan dengan memenuhi kuorum, maka partisipasi kita dalam pemilu hukumnya adalah fardlu kifayah.

2. Fardlu ‘ain
Dalam arti jika calon yang ashlah dan a’dal belum dipastikan jadi maka semuanya wajib memilih yang ashlah dan a’dal, hal ini bisa kita analogikan dengan permasalahan jihad, ketika semisal setiap peduduk di suatu Negara Islam berkewajiban jihad untuk mengusir orang kafir yang menjajah negerinya, dan ternyata kekuatan yang mereka kerahkan belum bisa merealisasikannya, maka kewajiban yang bersifat ‘ainiyyah (mengikat secara personal) akan meluas ke daerah-daerah terdekat. Sedangkan dalam hal pemilu ketika kita dihadapkan pada situasi seperti ini maka tidak mengunakan hak suara (golput) hukumnya adalah haram, karena dapat menguntungkan calon lain yang tingkat kelayakannya kurang dalam sudut pandang agama.
Dari semua penjelasan di atas bisa juga kita tarik kesimpulan bahwa berjalannya suatu pemerintahan tidak bisa kita lepaskan dari campur tangan hukum-hukum syariat. Karena antara keduanya bagaikan dua sisi mata uang. Jadi apa yang dikatakan oleh akbar tanjung di atas merupakan satu bukti jelas akan ketidakpahamannya tentang hukum syariat dan fungsinya dalam system kenegaraan. Komentar ini segendang sepenarian atau setali tiga uang dengan propaganda pemisahan fungsi agama dari Negara yang selalu didengungkan barat dan sekuleris Islam.

Dan kesimpulannya adalah, sikap politik golput dalam konteks politik Islam di Indonesia saat ini tidak bisa dibenarkan secara syar’i. hal ini memandang, ketika golput dilakukan oleh mayoritas masyarakat muslim, maka akan merugikan peran Islam dan umatnya, karena alternatif ini memberi peluang kelompok sekuler untuk menancapkan jarinya dalam perpolitikan Indonesia dan serta merta mempengaruhi gerak kebijakan yang memarginalkan Islam dan masyarakat muslim tentunya. Jadi, apakah pantas kita bersikap golput dalam konteks politik Indonesia saat ini? Marilah kita bersikap arif dan tetap memperjuangkan Islam. Wallohu a’lam bisshowab.[ ]

Artikulli paraprakHIKMAH 4 : Tidak Mengatur
Artikulli tjetërFikih Islam dalam Dinamika Sosial; Sebuah Analisis Dalam Diskursus

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini