•IV. Karakteristik Fiqh Islam

IV.a.Bersumber Dari Wahyu Ilahi

Fiqh Islam berbeda dari hukum-hukum positif, karena sumbernya adalah wahyu Allah Swt yang dituangkan dalam Al Quran dan Sunnah Nabi, karena itu dalam mengambil kesimpulan hukumnya, setiap mujtahid terikat secara kuat dengan teks-teks dari kedua rujukan tersebut, yakni Al Quran dan Sunnah Nabi, berikut apa yang lahir dari kedua sumber utama tersebut dan yang diisyaratkan oleh spirit Syari’at, tujuan-tujuannya, kaidah-kaidahnya, dan prinsip-prinsip universalnya. Dengan demikian fiqh lahir tumbuh dan berkembang dengan sempurna. Strukturnya kokoh dan pilar-pilarnya tangguh sehingga menyempurnakan dasar-dasar dan segenap pondasinya serta mengokohkan prinsip-prinsipnya di zaman Rasulullah Saw dan sewaktu wahyu masih turun. Allah berfirman :

?„?’?????ˆ?’?…?? ?£???ƒ?’?…???„?’???? ?„???ƒ???…?’ ?¯?????†???ƒ???…?’ ?ˆ???£?????’?…???…?’???? ?¹???„?????’?ƒ???…?’ ?†???¹?’?…???????? ?ˆ???±???¶???????? ?„???ƒ???…?? ?§?„?’?¥???³?’?„???§?…?? ?¯?????†?‹?§ [?§?„?…?§?¦?¯?©/3]

" Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu ".

Setelah itu tidak ada yang tersisa kecuali menerapkan syari’at sesuai dengan kemaslahatan manusia yang sejalan dengan tujuan-tujuan utama ditetapkannya syariat Islam.

IV.b. Komprehensif Dan Memenuhi Tuntutan Hidup Manusia

Fiqh Islam berbeda jauh dari hukum-hukum dan undang-undang buatan manusia, karena meliputi tiga dimensi hubungan dalam hidup manusia:

1. Hubungan manusia dengan Tuhannya 2. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri 3. Hubungan manusia dengan masyarakat.

Lebih jauh lagi, fiqh Islam diperuntukkan bagi kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat. Dan cakupan fiqh Islam meliputi wilayah agama dan negara. Fiqh Islam berlaku umum untuk seluruh umat manusia dan bersifat abadi sampai hari kiamat. Hukum-hukumnya saling menguatkan dan mengukuhkan satu sama lain, baik dalam bidang akidah, ibadah, etika maupun muamalah, demi mewujudkan puncak keridlaan dari Allah Swt, ketenangan hidup, keimanan, kebahagian, kenyamanan dan keteraturan hidup bahkan memberikan kebahagian kepada dunia secara keseluruhan. Semua itu dilakukan melalui kesadaran hati nurani, rasa tanggung jawab atas kewajiban, perasan selalu dipantau oleh Allah dalam seluruh sisi kehidupan, baik ketika sendirian maupun di hadapan orang lain, serta dengan memuliakan hak-hak orang lain.

Untuk mewujudkan cita-cita luhur dan tujuan mulia seperti itu, diciptakanlah hukum-hukum yang bersifat praktis, yakni dalam wilayah fiqh. Hukum-hukum fiqh ini berhubungan dengan semua hal yang keluar dari seorang mukallaf, baik berupa ucapan, perbuatan dan transaksi maupun pengelolaan barang. Semuanya itu meliputi dua jenis hukum berikut ini:

1. Hukum-hukum ibadah :

Hukum-hukum ini meliputi hukum-hukum bersuci, shalat, puasa, haji, zakat, nadzar, sumpah dan berbagai ibadah lainnya yang bertujuan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Dalam Al Quran sendiri terdapat 140 ayat yang menerangkan masalah ibadah.

2. Hukum-hukum muamalah

Hukum-hukum muamalah meliputi berbagai macam transaksi, pengelolaan barang dagangan, hukuman, perdata dan pidana, jaminan dan sebagainya yang bertujuan mengatur hubungan sesama manusia, baik secara individual atau kolektif. Hukum-hukum muamalah meliputi cabang-cabang berikut ini:

1. Hukum-hukum perdata (al Ahkam al Ahwal al Syakhshiyyah)

Hukum ini mencakup hukum-hukum dalam keluarga sejak awal hingga akhir, seperti: pernikahan, perceraian, garis keturunan, nafkah dan warisan, dan sebagainya bertujuan mengatur hubungan suami istri dan kerabat masing-masing

2. Hukum-hukum sipil (al-Ahkam al-Madaniyyah)

Hukum ini berkaitan dengan muamalah individu satu sama yang lain, kerja sama saling menguntungkan, seperti jual beli, sewa menyewa, pegadaian, ansuransi, koperasi, utang piutang, memenuhi komitmen dan sebagainya yang bertujuan mengatur hubungan beberapa individu dalam bidang materi dan memelihara hak. Berkenaan dengan hukum-hukum sipil ini, secara keseluruhan di temukan ada sekitar 70 Ayat dalam Al Quran.

3. Hukum-hukum pidana (al-Ahkam al-Jina’iyyah).

Hukum ini berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh seseorang berupa tindakan kriminal berikut hukumnya. Hukum-hukum ini bertujuan memelihara kehidupan manusia dan hartanya, harga-diri atau kehormatannya, dan juga hak-haknya. Demikian pula, hukum-hukum ini juga mengatur hubungan antara pihak yang dirugikan dengan pelaku kejahatan, hubungannya dengan umat, dan juga memelihara ketertiban dan keamanan. Ditemukan sekitar 30 ayat tentang hukum-hukum pidana dalam Al Quran.

4. Hukum-hukum acara pidana (ahkam al-Murafa’at Au al-Ijza’at al-Madaniyyah Au al-Jina’iyyah)

Hukum ini berkenaan dengan peradilan, dan cara-cara penetapan salah-benar melalui kesaksian, dakwaan, sumpah, keterkaitan hubungan, dan sebagainya. Hukum-hukum ini dimaksudkan untuk prosedur hukum-hukum acara pidana demi menegakkan keadilan manusia. Ditemukan sekitar 20 ayat tentang hukum-hukum ini dalam Al Quran.

5. Hukum-hukum konsitusi (al-Ahkam al-Dusturiyyah)

Hukum ini berkaitan dengan sistem hukum dan prinsip-prinsipnya. Hukum-hukum ini bertujuan menentukan hubungan antara pihak yang mengadili (al-hakim) dengan pihak yang diadili (al-mahkum). Demikian pula, berbagai aturan dalam hukum-hukum ini bertujuan menentukan segenap hak dan kewajiban individu dan kelompok.

6. Hukum-hukum internasional (al-Ahkam ad-Duwaliyyah )

Hukum ini berkaitan dengan pengaturan hubungan negara Islam dengan negara-negara lain di dunia dalam keadaan perang maupun damai. Hukum-hukum ini juga mengatur hubungan kaum non-muslim dengan pemerintah Islam serta meliputi masalah jihad dan berbagai perjanjian yang bertujuan membatasi macam dan bentuk hubungan dan kerjasama serta sikap saling menghargai di antara berbagai negara di dunia.

7. Hukum-hukum ekonomi dan keuangan (al Ahkam al Iqtishadiyyah wa al Maliyyah)

Hukum-hukum ekonomi ini berhubungan dengan hak-hak individu dalam urusan materi dan komitmen mereka dalam sistem moneter. Hukum-hukum ini mengatur hak-hak negara dan berbagai kewajiban moneternya. Di atur juga tentang sumber-sumber pemasukan kas negara dan penggunaannya. Hukum-hukum ini juga mengatur berbagai transaksi keuangan antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin dan juga hubungan antara negara dan setiap individu rakyatnya. Dalam hukum-hukum ini, diatur juga ihwal serta kekayaan negara secara umum maupun khusus seperti masalah hasil perang (ghanimah) dan sebagainya, barang tambang, baik yang belum di olah maupun sudah di olah, dan sumber-sumber penghasilan alam yang di usahakan, dan sebagainya. Hukum-hukum ini juga berlaku pada harta masyarakat seperti zakat, sedekah, nadzar, harta pinjaman dan harta keluarga semisal nafkah, warisan, wasiat. Diatur pula ihwal harta milik individu semisal keuntungan dari hasil perdagangan, sewa menyewa, koperasi, keuntungan dari jasa yang di benarkan oleh syari’at, hasil produksi, dan juga sanksi materi seperti kafarat, fidyah dan denda.

8. Akhlak (al Akhlaq) atau etika (al Adab)

Berupa perilaku terpuji dan perilaku tercela. Wilayah etika inilah yang membatasi kebinalan dan kebuasan manusia serta mengantarkannya menuju suasana dan nuansa yang penuh keutamaan di antara manusia, saling menolong, dan saling menyayangi sesama mereka. Dan yang menyebabkan cakupan wilayah fiqh meluas adalah hadits-hadits yang mengupas berbagai permasalahan ini.

IV.c. Bercorak Religius Dan Mengandung Sisi Halal Dan Haram

Fiqh Islam berbeda dengan undang-undang dan hukum positif dari aspek pemikiran halal dan haram, bahwa setiap perbuatan atau perilaku sipil dan yang terjadi dalam muamalah disifati dengan sisi halal dan haram. Atas dasar itu, hukum muamalah memiliki dua corak. Pertama: hukum muamalah bersifat duniawi dan berpijak pada perbuatan dan tindakan yang tampak dan tak berhubungan dengan apa yang tersembunyi dalam batin manusia. Inilah hukum legal. sebab, seorang hakim menetapkan hukum berdasarkan apa yang sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya. karenanya, seorang hakim tidak boleh membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar secara nyata. Ia juga tidak boleh menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal secara nyata. Dan keputusan seorang hakim bersifat mengikat (mulzim) dan harus dipatuhi. ini berbeda dari fatwa. Kedua: hukum muamalah bersifat ukhrowi dan berpijak pada hakekat sesuatu dan realitas, sekalipun tidak tampak oleh mata sebagian orang. Hukum ini berlaku dalam urusan yang melibatkan seorang hamba dengan Tuhannya (Allah). inilah yang disebut hukum Ilahi (al-hukmu al-dayyani). Hukum inilah yang dipegangi oleh seorang ulama pemberi fatwa yang berati-hati, dan fatwa sendiri adalah berita atau pemberitaan tentang hukum syariat yang tidak mengikat.

Pemisahan hukum muamalah ke dalam duniawi dan ukhrowi ini bersumber dari sebuah Hadits Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh imam Malik, Imam Ahmad dan para imam penyusun kitab-kitab Hadits yang ada enam (al-kutub as-sittah). Diriyawatkan oleh Imam Bukhori bahwa Nabi Saw. Bersabda:

"Aku hanyalah seorang manusia biasa. Dan kalian mengadukan perselisihan di antara kalian kepadaku. Boleh jadi, argumentasi sebagian dari kalian lebih cerdas dan lebih jelas dari sebagian lainnya. Kemudian aku menetapkan hukum berdasarkan apa yang kudengar dari kalian. Barangsiapa kutentukan kemenangan baginya dengan mengambil hak seorang muslim, maka yang demikian itu adalah sepercik api neraka. Hendaklah ia mengambilnya atau meninggalkannya "

Sementara itu, yang menyebabkan munculnya dua corak itu adalah bahwa, syariat Islam adalah wahyu dari Allah yang mengandung pahala dan siksa ukhrawi. Dengan demikian, syariat Islam merupakan sebuah sistem spiritual dan sekaligus sipil duniawi. sebab, syariat Islam memang dilahirkan untuk kemasalahatan dan kebaikan dunia dan akhirat sekaligus atau untuk agama dan dunia sekaligus.

BACA JUGA :  DALIL KESUNNAHAN PUASA TARWIYAH DAN ARAFAH

Buah dari perbedaan kriteria akan tampak, misalnya dalam urusan perceraian, sumpah, utang piutang, pembebasan utang, pemaksaan untuk membayar hutang, dan sebagainya. Berdasarkan kriteria itu pula, tugas dan wewenang hakim dan mufti pastilah berbeda. Seorang hakim menetapkan putusan hukum berdasarkan data yang tampak saja, sementara seorang mufti menentukan putusan mengunakan pendekatan data yang tampak dan abstrak sekaligus. Dan jika keduanya berbeda, maka keputusan hukumnya di sandarkan pada data dan batin (abstrak), bila ada indikasi yang kongkret dan jelas ke arah situ. Misalnya saja, jika ada orang membebaskan orang berutang tanpa memberitahukannya terlebih dahulu, kemudian ia mengangkat dakwaan kepada orang yang berutang seraya menuntut agar utangnya di bayar, maka keputusan hakim mestilah berupa penetapan uang, sementara fatwa seorang mufti melarang hal itu karena sesungguhnya terjadi pembebasan utang.

Adanya kecendrungan dimensi religius internal yang berperan dalam penetapan hukum ini berdampak positif dalam menyempurnakan corak otoritatif dan penghormatan atas sistem yang di tetapkan Syari’at Islam. Selain itu, ia juga akan ikut memelihara hak-hak manusia dan aspek materi yang hanya diperhaikan oleh undang-undang atau hukum positif. Sebab sudah jelas bahwa Syari’at islam mencakup dua pertimbangan sekaligus: pertimbangan legal dan juga pertimbangan ukhrawi.

IV.d. Hubungan Fiqh Dan Akhlaq

Berbeda dengan undang-undang dan hukum positif, fiqh Islam di pengaruhi oleh prinsip-prinsip akhlak. Bahkan, akhlak merupakan pelengkap dan penyempurna fiqh. Sementara itu dalam hukum positif, sasaranya hanya asas mufakat belaka, yakni upaya memelihara tata aturan dan ketenangan masyarakat, meskiun peran agama dan moralitas harus terabaikan, bahkan tersingkirkan.

Fiqh Islam sangat memperhatikan terpeliharanya keutamaan, kemulyaan, dan keluhuran akhlak. Oleh karena itu, ibadah di syari’atkan untuk mensucikan jiwa, menjernihkan hati dan menjauhkan dari berbagai kemungkaran. Riba diharamkan untuk memupuk jiwa kerjasama, saling menolong, dan saling menyayagi diantaaara sesama manusia. Diharamkanya riba juga dimaksudkan untuk melindungi orang-orang yang membutuhkan bantuan dari kekuasaan para pemilik modal. Larangan penipuan, pemalsuan dalam transaksi, larangan memakan harta secara tidak sah, dan juga larangan merusak perjanjian atau kontrak karena ketidaktahuan dan sebagianya disyari’atkan untuk menyebarkan rasa cinta kasih, mempertebal kepercayaan, mencegah perselisihan di antara manusia, mengangkat derajat manusia dari kotoran-kotoran materi, dan memelihara serta menghormati hak-hak orang lain. Begitu pula disyariatkannya melaksanakan transaksi bertujuan untuk memenuhi janji. Khomr diharamkan untuk memenuhi barometer kebaikan dan kejahatan, yakni akal.

Jika agama dan akhlak saling menguatkan dan di sertai pengalaman aktif, maka kesalahan individual dan sosial akan terealisasi dengan baik, dan kebahagiaan pun mudah terwujud. Tentu saja, jalan keabadian dalam kenikmatan di akhirat pun terbentang demikian luas. Cita-cita akan keabadian di akhirat sudah menjadi tumpuan segenap harapan umat manusia sejak dulu kala. Oleh karena itu, puncak tujuan dari fiqh Islam (baca: Syariat Islam) akan tercapai, yakni kebahagian manusia di alam dunia sekarang ini maupun di alam kembali yang abadi di akhirat nanti. Fiqh Islam mencita-citakan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat sekaligus. Kemudian, peran dan pengaruh agama dan akhlak akan membuat Fiqh Islam lebih ditaati, dihormati dan diamalkan, sementara hukum dan undang-undang positif malah dijahui dan tidak ditaati oleh masyarakat.

IV.e. Balasan Melanggar Syariah Bersifat Duniawi Dan Ukhrawi

Fiqih Islam sangat berbeda dengan undang-undang dan hukum positif. Sebab, hukum positif buatan manusia hanya memberlakukan dua macam hukum atau sanksi atas pelaku pelanggaran di dunia dan akhirat sekaligus. Di dunia, balasan ini merupakan hukuman tertentu (al-hudud) dan hukuman tidak tertentu (at-ta’zir) yang diberlakukan atas perbuatan-perbuatan lahiriah yang tampak oleh mata manusia. Sementara itu, hukum ukrawi diterapkan atas perbuatan-perbuatan batin atau hati yang tak tampak oleh mata manusia seperti dengki atau iri hati, dendam dan keinginan membahayakan orang lain.

Hukuman atau sanksi ukrawi juga berlaku atas perbuatan lahiriah yang belum dijatuhkan didunia ini, baik karena diabaikan dan tidak diberlakuakannya hudud diberbagai negaara di era modern sekarang, lantaran tidak bisa dibuktikan secara lahiriah maupun karena perbuatan itu tidak dketahui oleh pemerintah. Demikian pula dalam Fiqh Islam, ada balasan positif dan balasan negatif. Sebuah balasan dinilai positif karena merupakan pahala atas ketaatan pada perintah dan sebuah balasan dinilai negatif karena pahala diberikan ketika seseorang menjahui larangan, maksiat dan menahan diri dari perbuatan terlarang. Sementara itu, undang-undang dan hukum positif hanya menentukan balasan negatif atas pelanggaran hukum atau peraturan tanpa adanya pahala sewaktu melakukan dan mengikuti kaidah-kaidah hukum itu.

IV.f. Fiqh Islam Lebih Memihak Kepentingan Kolektif

Fiqh Islam memperhatikan kemaslahatan individual maupun kolektif secara keseluruhan. Karenanya, tidak ada suatu kemaslahatan individu atau pun kolektif yang melampui kemaslahatan lainnya. Akan tetapi, jika ada benturan antara dua kemaslahatan itu, maka kemaslahatan kolektif akan di utamakan ketimbang kepentingan individu. Demikian pula, jika terjadi benturan antara kemaslahatan dua individu, maka yang didahulukan adalah kemaslahatan orang yang lebih banyak menderita. Ini sejalan dengan kaidah, "tidak boleh ada kemadlorotan dan menimbulkan kemadlorotan" (ladhororo wala dhiroro) dan juga kaidah, "jika ada dua kemadlorotan lebih besar ditolak kemadlorotan yang lebih kecil" (yudfa’ akbar al dhororain bi al akhaff minhuma).

Beberapa contoh dari terpeliharanya kemaslahataaan umum atau kolektif adalah di syariatkan berbagai macam ibadah seperti sholat, puasa, dihalalkannya jual-beli, diharamkanya riba dan monopoli perdagangan, disyariatkannya penetapan harga secara paksa, untuk mencegah ulah para spekulan. meski ada sedikit perbedaan pendapat dikalangan para ulama, dan juga di tegakkannya hudud atas perbuatan munkar yang sangat membahayakan, mengatur urusan keluarga, memelihara hak-hak tetangga, memenuhi janji dan sebagiannya. Begitu pula halnya disyariatkannya jual-beli secara paksa untuk memenuhi kemaslahatan umum, memperluas jalan, dan memperlebar aliran sungai.

Sementara itu, salah satu contoh pembatasan hak individu yang menimbulkan kemadlorotan kepada masyarakat atau mungkin menimbulkan kemadlorotan yang lebih besar lagi adalah istri tidak harus taat kepada suaminya manakala suaminya memadlorotkan istrinya, sebagimana di sebutkan dalam firman Allah:

???„???§ ?????…?’?³???ƒ???ˆ?‡???†?‘?? ?¶???±???§?±?‹?§

" Janganlah kalian (suami )rujuki mereka (istri) untuk memberi kemadorotan. Sebab, dengan demikian, kalian menganiaya mereka," (QS Al-baqoroh : 231).

Contoh lainnya dalam masalah ini adalah tidak perlu mentaati hakim (pemerintah) yang memerintahkan untuk melakukan perbuataan maksiat atau kemungkaran. Penentangan ini dilakukan demi kemaslahatan umum, sebab, kewajiban taat hanya dilakukan dalam rangka perbuatan baik. Dalam sebuah Hadist yang di riwayatkan dari imam Ahmad, Nabi Muhammad SAW. Bersabda;

"seorang muslim harus mendengar apa yang disukai atau di bencinya selama ia tidak di perintahkan untuk berbuat maksiat, ia tidak perlu mendengarkan dan tidak perlu mematuhi.

IV.g. Fiqih Islam Relevan Dan Bisa Di Terapkan Sepanjang Zaman

Prinsip-prinsip dasar fiqih tidak pernah berubah-ubah seperti suka sama suka dalam berbagai transaksi atau jual beli, menolak mudorot, menghindari perbuatan dosa, memelihara hak, dan juga menerapkan tanggung jawab individual. Sementara itu, dimensi fiqih yang berpijak pada qiyas atau anologi dan bertujuan memelihara kemaslahatan dan adat istiadat (yang baik) bisa berubah dengan berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman, kemaslahatan manusiadan ligkungan yang berbeda dalam konteks ruang dan waktu selama-selama hukum berada dalam wilayah yang sesuai dengan tujuan-tujuan syariat (maaqashid asy-syari’ah) prinsip-prisipnya yang benar.Hal ini berlaku kusus dalam bidang muamalah dan tidak dalam bidang akidah dan ibadah mahdhah.Inilah yang dimaksud dengan kaidah: "Hukum berubah sesuai dengan perubahan zaman" (taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azman)

•II. Penutup

Kehadiran fiqh mutlak dibutuhkan untuk mengatur kehidupan manusia, Eksistensinya yang selalu relevan sepanjang zaman mampu untuk menjawab masalah-masalah kekinian dan juga untuk membentengi diri dari rongrongan aliran-aliran sesat yang tidak sesuai dengan faham ahlissunnah wal jama’ah.

Wallahu a’lam bi al showab

Sarang, 8 R. Tsani 1430 H.

Referensi : Al Quran al Karim, Sunan Abi Dawud, Sunan al Tirmidzi, Musnad Ahmad, I’lam al Muwaqqi’in liibni al Qoyyim al Jauziyah, Tarikh al madzahib al Islamiyah li Syaikh Muhammd Abu Zahro, Syari’atullah al Kholidah li Sayyid Muhammad ‘Alawi al Maliki, al Risalah al Islamiyah li Syaikh Muhammad Najih.

Artikulli paraprakFIQH ISLAM, Antara Fakta Dan Sejarah Bag. 1
Artikulli tjetërHIKMAH 59: TIDAK MEMANDANG AMAL

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini