Sejarah mencatat, bahwa agama Islam pernah mengalami masa kejayaan dalam bidang hasanah keintelektualan. Terutama pada masa pemerintahan daulah Bani Abbasiyyah dan daulah Bani Umayyah. Kedua kerajaan besar ini banyak menelurkan pemikir-pemikir dan para cendikiawan muslim yang handal dalam memberikan sebuah kontribusi terhadap hasanah keilmuan dunia yang terabadikan dengan catatan tinta emas. Buah keilmuan yang dilahirkan tidak hanya dikomsumsi dan dinikmati oleh umat Islam saja, namun non muslim juga ikut berbondong-bondong untuk menyantap dan meneguk hidangan keilmuan yang disajikan oleh para cendikiawan muslim tersebut.

Mulanya keilmuan Islam hanya ada dua macam, yaitu al-Quran dan al-Hadist. Kedua sumber ini dijadikan sebagai rujukan dalam suatu tindakan umat Islam, baik di dunia maupun di akhirat. Dari keduanya ini, lahirlah berbagai cabang-cabang ilmu keislaman. Misalnya, Tafsir, ilmu Tafsir, ilmu Hadist, Fikih, usul Fikih, Balaghah, Mantiq, Gramatika Arab dan lain-lain. Para cendikiawan muslim selalu semangat dalam mengembangkan ilmu-ilmu tersebut. Kitab-kitab yang asalnya Matan (istilah untuk kitab yang masih ringkas) diperluas pengetahuannya menjadi kitab Syarah (kitab untuk memperjelas isi yang ada di kitab Matan). Kemudian dari kitab syarah diperluas menjadi kitab Hasyiyah (kitab untuk memperjelas isi yang ada di kitab Syarah). Hasil karya mereka telah membanjiri beberapa perpustakaan yang didirikan oleh kerajaan Islam. Hal ini tidak mengherankan, kerena satu ilmuwan saja banyak yang menghasilkan puluhan karya tulis, bahkan ratusan dengan tebal yang berjilid-jilid.

Sungguh luar biasa perhatian para cendikiawan muslim di waktu itu. Satu bidang ilmu agama, misalnya Fikih dan Gramatika Arab terdapat beberapa pendapat dari para ulama yang pakar dalam bidangnya. Pendapat-pendapatnya ulama ini menjadi rahmat untuk umat Islam. Jika imam As-Syafii tidak memperbolehkan hukum dalam suatu permasalahan Fikih, maka imam mujtahid yang lainnya (imam Hanafi, Maliki dan Hanbali) ada yang memperbolehkan. Jika ulama-ulama Kufah (kota di Negara Irak) yang ahli dalam Gramatika Arab mengharuskan bacaan rafa’ terhadap suatu lafal atau kalimat Arab, maka ulama-ulama Basrah (kota di Negara Irak) ada yang memperbolehkan membaca ‘irab yang lainnya, misalnya nasab, jer atau jazm. Dengan bermodal aneka ragam pendapat ini, umat Islam bisa leluasa memilih pendapat yang sesuai dengan kemantapan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan. Perbedaan pendapat ini terjadi disebabkan karena adanya etnis yang berbeda-beda dalam memahami suatu masalah, satu dengan yang lainnya tidak sama, baik dari mujtahid atau orang yang bertaklid.

Perhatian para cendekiawan muslim tidak hanya berhenti pada masalah ilmu agama saja, namun lebih dari itu. Ilmu umum atau sains juga mendapat perhatian yang tidak kalah pentingnya sebagaimana perhatiannya dengan ilmu agama. Ibnu Taimiyah berpendapat, "Islam akan maju bila umatnya mau belajar, tidak hanya ilmu agama, tapi juga ilmu sains."

BACA JUGA :  Manusia Diciptakan untuk Beribadah

Di dalam bidang sains ini, para cendikiawan muslim banyak menorehkan karya tulis yang luar biasa. Banyak pakar-pakar sains yang lahir dari kalangan kaum muslimin yang telah melahirkan buku-buku yang bermanfaat untuk membangun peradaban manusia. Di antara pemikir sains Islam yaitu Ibnu Sina dan Ar-Razi (ahli ilmu Kedokteran), Al-Khawarizmi dan Umar Al-Hayyan (ahli bidang Metematika), dan Jabir Al-Hayyan dan Zakaria Al-Razi (ahli bidang Kimia). Buku-buku yang dihasilkan dari pemikiran mereka banyak dijadikan rujukan oleh orang-orang Barat. Salah satunya adalah Al-Qonun Fit Al-Thib/Canon, salah satu karya yang dihasilkan oleh Ibnu Sina yang dijadikan salah satu buku wajib bagi keilmuan Kedokteran di beberapa Universitas Eropa selama beberapa abad.

Dari prestasi yang luar biasa ini, maka tidak mengherankan kalau di dalam buku, "Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat:Deskripsi Analisis Keemasan Islam," telah menyatakan bahwa semua orang muslim, baik kaya ataupun miskin, tua atau muda, penguasa atau rakyat, Persia atau Arab, bangsawan atau biasa telah menunjukan penghormatan yang besar terhadap cendikiawan atau ilmuwan. Namun, penghormatan mereka tetap lebih besar kepada karya-karya ilmu pengetahuan yang telah ditulis dan disalin ke dalam buku-buku. Ketika buku-buku disalin dengan tulisan tangan oleh penyalin kusus, kesetiaan kepada buku-buku terkenal nyaris sama dengan kesetiaannya terhadap religiutas, hal-hal yang bersifat mistik. (Mehdi Nakosteen, 1996 : 87)

Dengan sejuta prestasi yang telah dihasilkan oleh para cendikiawan muslim di masa silam, hendaknya umat Islam yang hidup di zaman kemunduran ilmu pengetahuan mau berkaca dan berfikir terhadap kemajuan-kemajuan yang telah diraih oleh cendikiawan muslim terdahulu. Buahnya, di dalam diri mereka akan melahirkan suatu kecemburuan yang berimbas akan lahirnya suatu cita-cita dalam dirinya untuk mengembalikan masa keemasan Islam yang telah sirna, suatu zaman di mana para cendikiawan muslim bersemangat membara dalam menggeluti suatu cabang keilmuan. Mereka tidak hanya membaca dan memahami akan suatu ilmu yang ada di dalam buku, akan tetapi mereka juga berkeinginan untuk meninggalkan suatu karya tulis agar supaya dipahami dan dipelajari oleh generasi setelahnya. Dengan berkarya ilmu akan selalu berkembang dan dikembangkan. Karya tulis dapat mengikat ilmu pengetahuan yang berserakan di benak fikiran kita. Dengan karya tulis, kita telah mengabadikan suatu cabang ilmu pengetahuan. Semoga kita termasuk orang-orang yang dapat melahirkan karya tulis.

Artikulli paraprakKeunggulan Berdakwah dengan Tulisan
Artikulli tjetërKeramat dan Fitnah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini