Berbicara soal ilmu, tidak bisa terlepas dari siapa yang membawanya. Apalagi keterkaitan ilmu dengan si empunya tampak terlihat dalam lingkup pesantren.
Ta’lim al-muta’allim atau bisa dipahami dengan proses belajar mengajar, menuntut adanya guru sebagai orang yang mentransfer ilmu (sender) dan murid yang menjadi penerima ilmu (receiver) itu sendiri. Dan semua hal ini bisa kita lihat dalam dunia pesantren pula, dimana terdapat Kyai atau Syaikh yang berkedudukan mengajar dan santri yang belajar kepadanya.
Selaras dengan kondisi ini, terjadi pula pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat-sahabat beliau. Gambaran global yang bisa dikemukakan dari zaman keemasan tersebut adalah, perhatian yang begitu besar dari para sahabat dalam menjaga eksistensi sunnah. Meliputi seluruh aktifitas Nabi muhammad SAW, baik itu berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan dari beliau. Mereka para sahabat menyaksikan tindak-tanduk, gerak-gerik dalam hal ibadah maupun kebiasaan sehari dari Nabi Muhammad SAW.
Sampai-sampai kegigihan mereka para sahabat begitu tampak dalam memperoleh ilmu secara umum dari Nabi Muhammad SAW. Seolah tak ingin melewatkan kesempatan berharga, para sahabat rela bergantian dalam menghadiri majlis Nabi Muhammad SAW. Berawal dari kesepakatan yang terjadi sebelumnya dari salah satu sahabat pada sahabat yang lain, sebab-sebab tak bisa hadir berkenaan pekerjaan sebagai mata pencaharian. Namun sekali lagi, itu tidak menyurutkan semangat menggelora di dalam dada untuk tetap mencari ilmu pada Nabi Muhammad SAW. Jadi mereka memang tahu betul terhadap siapa mereka mengambil ilmu tersebut.
Oleh karena itu ada atsar masyhur yang berbunyi ;
إنَّ هذَا العِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْا دِيْنَكُمْ . رواه الترمذي
“ Sungguh ilmu ini (Sunnah) merupakan manifestasi agama, oleh sebab itu perhatikanlah dari siapa kalian mengambil (ilmu) agama kalian”.
Berkaca dari apa yang sudah ketahui dari kesungguhan para sahabat radhiyallahu ‘anhum terhadap ilmu, sudah sebaiknya bagi santri seluruhnya mampu berbuat lebih dengan waktu yang ada guna ber-mulazamah kyai atau Syaikh-nya. Karena dengan seseorang nyantri di pesantren berarti secara otomatis pula jiwa-raganya dikerahkan, dicurahkan untuk mencari ilmu kepada kyai yang memang sudah sesuai dengan kriteria seseorang yang diambil ilmunya. Ini tak lain karena silsilah keilmuan ini secara beruntut mulai dari Nabi Muhammad SAW, sahabat, turun hingga para Ulama’ seperti sekarang ini, hingga akhir zaman kelak.