Terlebih dahulu, telitilah diri sendiri. Cari tahu mengapa do’a kita tak ditanggapi. Boleh jadi kita tidak mengindahkan adab berdo’a, yang termasuk di dalamnya yaitu minta segera dikabulkan hingga berkata-kata, "Ah, untuk apa berdo’a. Aku sudah berkali-kali berdo’a, tapi hasilnya tak sedikitpun nyata!!"
Yang seperti ini bukan di sebut do’a, akan tetapi thalab (menuntut). Karenanya, di sini Syekh Ibnu Atho’illah As-Sakandary menggunakan kata yang beraasal dari kata dasar thalaba pada untaian mutiaranya:
Do’a merupakan hak yang sudah sepatutnya dilakukan seorang hamba sebagai bentuk ibadah dan pengakuan diri atas penghambaannya. Allah berfirman:
Jadi, do’a sudah menjadi salah satu bentuk ibadah itu sendiri. Do’a adalah ibadah, ibadah adalah do’a. keduanya tak bisa di pisahkan.
Dari keterangan ini, kita tahu bahwa do’a bukanlah sekedar batu loncatan. Bukan juga sebuah perantara untuk permintaan kita. Dikabulkan atau tidak, – seperti ibadah pada umumnya – berdo’a tetap merupakan kewajiban atas kita.
Adapun ababila kita menginginkan suatu perkara yang akan tercapai dengan syarat melakukan perkara lain, ini di sebut thalab. Dan yang menjadi syaratnya disebut wasilah (perantara).
Seseorang mempunyai impian menjadi presiden, misalnya. Kemudian, agar dapat terwujud, dia melakukan suatu hal, seperti mendatangi dukun, paranormal, memberi sesaji, dll. Dan salah satunya jalan adalah dengan berdo’a.
Akan tetapi, yang seperti ini belum bisa dikatakan do’a atau ibadah secara murni. Sebab orang tersebut menjadikan do’a sebagai perantara agar impiannya tercapai. Do’a dikatakan ibadah jika memang dilakukan karena ghayah (pengakuan secara totalitas atas kehambaan diri), bukan untuk wasilah.
Sebuah identitas diri tidak membutuhkan persyaratan. Menjadi seorang laki-laki tidak disaratkan harus menjadi penduduk suatu daerah tertentu. Begitu juga hubungan antara do’a dengan kaya dan faqir. Semua sudah menjadi ketetapan Allah. Menjadi kaya tidak disyaratkan harus berdo’a. Sudah sepatutnya kita tidak salah dalam memahami firman Allah di bawah ini: ?§?¯?¹?ˆ?†?? ?£?³???¬?¨ ?„?ƒ?… dengan berkata, "Aku mau berdo’a, asalkan diijabahi. Kalau tidak, ya aku enggan berdo’a."
Berdo’alah karena kita memang membutuhkan-Nya. Agaknya kurang sopan menjadikan do’a hanya sebagai perantara untuk maksud kita. Sebab yang akan diijabahi Allah bukanlah thalab, melainkan do’a. Dan do’a yang dikabulkan tetunya do’a yang dihiasi adab.
Termasuk sebuah adab adalah berhusnudzon ketika berdo’a. Allah berfirman dalam hadits qudsynya :
Pencinta Allah yang sejati, pasti tak akan mampu meninggalkan berdo’a. Karena mereka benar-benar merasa membutuhkan-Nya. Mereka tak sanggup hidup tanpa Rahman Rahim-Nya. Di samping itu, sebuah kebahagiaan bagi mereka adalah ketika mereka berdo’a mengakui kelemahan serta kekurangan yang dimiliki.
Ada sya’ir yang menarik. Membahas tentang pengakuan penyairnya yang mendapatkan kenikmatan tersendiri di saat dia mampu merendah di depan kekasihnya. Cucuran air mata yang biasanya melambangkan kesedihan, justru ia rasakan sebagai kepuasan tersendiri.
Syi’ir di atas agaknya tidak mengada-ada. Karena memang seperti itulah yang dirasakan si penyair. Ia menuturkan bahasa yang benar-benar mengalir dari lubuk hatinya.
Ini yang terjadi antara makhluk dengan sesama makhluk. Tidak bisa tergambarkan bagaimana jika hal tersebut dialami antara makhluk dengan Sang Khaliq. Tak ada nikmat di atas bermunajat dan menangis di hadapan Allah.
Jika ada seorang mukmin yang berdo’a, Allah tidak akan cepat-cepat mengabulkan permintaannya. Akan tetapi Dia akan menangguhkannya. Sebab Allah "merasa" senang mendengar munajat hamba-Nya tersebut.
Berbeda dengan do’a orang yang durhaka. Allah justru akan mempercepat terkabulnya permintaan mereka. Sebab Allah tidak senang mendengar rintihan mereka.|
Bagi yang faham tentang hal ini dan mampu menjadikan do’anya sebagai bagian dari munajat, maka akan mampu keluar dari lisannya beberapa kalimat munajat di bawah ini:
Wallahu A’lam.
?