?…?§ ?£?±?§?¯?? ?‡?…?© ?³?§?„?ƒ ?£?† ???‚?? ?¹?†?¯ ?…?§ ?ƒ?´?? ?„?‡?§ ?¥?„?§ ?ˆ?†?§?¯???‡ ?‡?ˆ?§???? ?§?„?­?‚???‚?©: ?§?„?°?? ???·?„?¨ ?£?…?§?…?ƒ ?ˆ?„?§ ???¨?±?¬?? ?„?‡ ?¸?ˆ?§?‡?± ?§?„?…?ƒ?ˆ?†?§?? ?¥?„?§ ?ˆ?†?§?¯???‡ ?­?‚?§?¦?‚?‡?§: ?¥?†?…?§ ?†?­?† ?????†?© ???„?§ ???ƒ???±

Penjelasan

Salah satu etika dalam makam tajrid adlah tidak puas pada satu amal. Etika ini sangatlah urgen bagi seorang Salik yang ingin benar-benar wushul (dekat) kepada Alloh sWT. Ibnu ‘Ato’illah menjelaskan bahwa etika ini sangat penting untuk menjadi pengontrol bagi orang-orang tyang mengaku dekat dan telah sampai pada makam kewalian yaitu orang-orang yang mampu melakukan hal-hal diluar kebiasaan manusia[1]. Kemudian Ibnu ‘Atho’illah menyampaikan kata-kata hikmahnya "Cita-cita Salik tidak ingin berhenti ketika telah terbuka hatinya kecuali suara kebenaran mengatakan ‘Apa yang kamu cari masih di depanmu’ Dan tidak akan tampak sisi kemuliaan kecuali kebenaran juga mengatakan sesungguhnya kami adalah fitnah, maka janganlah engkau kufur"

Dengan etika tersebut, seorang Salik akan selalu lurus dalam rel-rel kitab Alloh dan dia sunnah Rosululloh tidak akan berhenti untuk malakukan satu amal saja. Dia juga akan semakin tunduk dan patuh pada kitab dan sunnah dalam berbagai eplikasi. Dia akan selamat dari jalan terjal yang tak lain adlah kebingungan yang akan menyeretnya dalam kesesatan.

Dalil

1. Surat Al-Fathir ayat 15 :

?????§ ?£?????‘???‡???§ ?§?„?†?‘???§?³?? ?£???†?’?????…?? ?§?„?’?????‚???±???§???? ?¥???„???‰ ?§?„?„?‘???‡?? ?ˆ???§?„?„?‘???‡?? ?‡???ˆ?? ?§?„?’?????†?????‘?? ?§?„?’?­???…?????¯?? (15)

Artinya :

"Wahai manusia, kalian adalah orang-orang yang butuh pada Alloh SWT, sedangkan Alloh adalah Dzat yang Maha Kaya dan Maha di puja".(QS.Fathir:15)

Alloh SWT menyebut bahwa manusia adalah orang yang butuh kepada-Nya, walaupun sebenarnya semua makhluk selain Alloh pasti butuh padanya. Ini tak lain adalah karena manusialah yang mengaku bahwa meraka itu tak membutuhkan Alloh. Maknanya adalah manusia itu makhluk yang paling membutuhkan Alloh baik dalam dirinya sendiri, keluarga maupun hartanya. Oleh sebab itu shahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata : "Barangsiapa mengenal dirinya itu orang yang butuh dan makhluk yang lemah, maka dia akan tahu bahwa Alloh-lah Tuhan Yang Maha Kaya, berkuasa dan sempurna"{2}.

2. Hadist Nabi SAW :

Artinya :

"Sesungguhnya hatiku merasa haus sehingga aku harus beristighfar kepada Alloh seratus kali sehari"

Dari hadist ini bisa melihat bahwa Rosululloh yang notabene adalah makhluk termulia, namun dengan kerendahan hati beliau menganggap dirinya masih kurang dalam bersyukur kekpada Alloh. Beliau merasa belum mampu memenuhi hak-hak Alloh yang di bebankan kepada diri beliau selaku hamba Alloh. Beliau merasa berdosa, lupa pada Alloh dan durhaka kepada-Nya{3}.

Fenomena itulah yang melatarbelakangi Rosululloh SAW untuk selalu istighfar memohon ampunan Alloh SWT. Suatu ketika Rosululloh SAW bermunajat kepada Alloh seraya berdo’a : "Ya Alloh, engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain engkau. Engkau telah menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu. Aku akan selalu menepati janji-Mu semampuku. Aku berlindung dengan-Mu dengan keni’matan yang telah engkau berikan dan juga dosa-dosaku, maka ampunilah aku. Tiada yang mampu mengampuni dosaku kecuali Engkau"{4}.

Dari dua dalil diatas maka wajiblah bagi seorang Salik untuk beramal sebanyak[-banyaknya dan tidak mudah puas dengan satu amal. Salik harus merasa bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah, makhluk yang kurang, makhluk yang sangat membutuhkan ampunan Alloh SWT. Dia tidak boleh meras puas dan bangga bahwa sia telah mampu menjadi salah satu hambayang sholeh. Hal ini hanyalah tipu daya syaitan. Jika dia mau berfikir bahwa Rosululloh saja makhluk yang paling mulia disisi-Nya masih merasa kurang, maka dia pasti juga akan merasa butuh untuk beristighfar dan memohon ampun kepada Alloh SWT.

Aplikasi

1. Contoh

Salah satu contoh etika yang kelima dalam makam tajrid ini adalah seorang hamba yang dalam masa lalunya tersesat dari jalan Alloh. Hamba itu selalu menuruti hawa nafsunya dan maksiat kepada Alloh. Lalu dia mendapatkan hidayah oleh Alloh SWT dan kembali pada jalur Islam. Dia mulai melaksanakan perintash Alloh dan menjauhi larangannya. Sholat, puasa dan beribadah pun mulai dia kerjakan.

Jika sebelumnya syaitan mampu membujuk-bujuk, menipunya dengaan melakukan dosa dan menerjang larangan-larangan Alloh, maka sekarang setelah dia mendapat hidayah dan kembali kejalan yang lurus. Syaitan tidak akan menggodanya dengan cara yang sama. Namun dengn segala kepintaranya syaitan akkan melakukan cara-cara lain untuk kembali menyesatkan hamba Alloh tadi.

Syaitan membujuknya dengan berkata "Sekarang kamu telah menjadi hamba Alloh yang sholeh, sholat fardlu dengan sempurna dan puasa ramadlan dengan sabar. Lihatlah orang-orang sekitarmu yang masih terjerumus dalam kemaksiatan sedangkan kamu telah menjauhinya. Apakah kamu tidak merasa bahwa sekarang telah menjadi waliyulloh yang dengan dekat dengan-Nya?

Apakah hamba Allioh tadi terlena dengan tipu daya syaitan ini dan menyerap seperti tadi sehingga menjadi keyakinan dirinya, maka dia akan kembali pada jalur kesesatan sebagaimana sebelum mendapat hidayah. Bahkan kesesatan kali ini sangat besar bahayanya karena ujub (Kesombongan) yang timbul pada dirinya merupakan ancaman bagi kerusakan dirinya. Hal ini tak lain adalah penyakit yang paling parah dalam hatinya dan inilah yang disebut Alloh sebagai dosa bathin (tak terlihat).

Syaitan memang memasang perangkap yang berbeda pada tiap individu. Perangkap ini disesuaikan dengan tingkat dan posisi individu tadi. Orang yang telah beribadah dibujuk dengan penyakit ujub dan sugesti bahwa dia telah menjadi makhluk Alloh yang mulia, sholeh dan telah menjadi wali-Nya, dan jika menjadi orang yang rugi dan tekah merusak semua amal ibadahnya{5}.

2. Kebodohan Salik

Perasaan salik bahwa dirinya sudah mulia dan mendapat apa yang telah dicita-citakan adalah suatu kebodohan. Kenaoa dia berpikir bahwa untuk melaksanakan hak-hak Alloh itu ada batasnya. Kenapa dia tidak berkkaca pada Rosululloh yang telah mendapat derajat ‘ulya, dihadapan Alloh saja masih meras kurang dakam memenuhi hak-hak-Nya.

Jika memang dalam beramal itu ada batasnya, apakah mungkin bagi Nabi atau wali untuk bebas dari nikmat-nilmat yang telah diberikan Alloh kepadanya?

BACA JUGA :  HIKMAH KE 79 : KETULUSAN MENGHAMBA

Jalan lurus yang telah ditempuh Salik merupakan anugrah dan pertolongan alloh swt. Mulut yang dia gerakkan untuk bersyukur, mata yang dia gunakan untuk melihat, telinga yang digunakan untuk mendengar dan kaki yang dia gunakan untuk berjalan, kesemuanya merupakan augrah dan pemberian Allh swt. Begitu juga kekuatan untuk dapat sholat dengan sempurna, harta yang dia shodaqohkan dan akal yang dia gunakan utuk berfikir adalah juga pemberian dan pertolongan Alloh swt.

Dan ketika seorang hamba semakin dekat dengan Alloh, maka Alloh akan menambah nikmat dan anugrah kepadanya. Lalu bagaimana mungkin dia dimudahkan untuk melaksanakantugas-tugas Alloh dengan sempurna, sementara dia sangat ceroboh dengan merasa telah menjadi orang yang mulia{6}.

Seorang Salik yang baru mendapat hidayah dan baru mengenal Allioh memang tidak bisa memikir lebih jauh hal tersebut. Ironinya dia hanya berasumsi bahwa dirinya telah menjalankan kewajiban kkepada Alloh dan telah sholat fardlu pada waktunya. Dari sinilah syaitan dengan mudah menyesatkannya dengan bisikan-bisikan dan tipu daya.

3. Ilaj (Penyembuhan Salik)

Jalan yang lurus harus ditempuh oleh Salik agar terhindar dari penyakit diatas tiada lain adalah dengan perpegang teguh dengan ucapan Ibnu ‘Atho’illah "Salik harus menjawab bisikan syaitan dengan mengatakan ‘Bagaimana munkin aku bisa wushul (sampai) ke derajat yang dekat dengan Alloh ? dimasa dulu aku selalu melakukan kesalahan-kesalahan dan sekarang aku juga masih tenggelam dalam kecerobohan. Aku hanya sholat fardlu dan puasa romadlon, sementara kesunnatan-kesunnatan tidak aku lajujan. Apakah saya sudah khusyu’ dan melupakan dunia ketika aku sholat ? apakah aku telah menjauhi hal-hal yang diharamkan Alloh ? lalu seberapa besar taatku kepadaAlloh jika dibandingkan dengan nikmat dan anugrahnya. Saya selalu tenggelam dalam perjalanan awal, sementara hasratku untuk mencari ridlo Alloh selalu jauh dan menjauh didepanku{7}.

Inilah makna ucapan Ibnu ‘Atho’illah, cita-cita Salik tak ingin berhenti ketikka telah terbuka hatinya kecuali suara kebenaran mengatakan "Apa yang kamu cari masih didepanmu"

Jika salik mampu menghindari bisikan syaitan dan mengambil jalan diatas (Ubudiyyah) hal itu akan menjaganya dari tipu daya syaitan. Bahkan dia akan semakin tambah dalam beribadah dan taat kepada Alloh. Sia tidak akan semakin puas dengan amal-amal fardlu saja, namun akan melakukan amal-amal sunnah, merutinkan dzikir dan membaca Al-Qur’an. Dia juga akan merasa dirinya kurang sehingga dia mulai melakukan Qiyam Al-Lail dan jika sholat seakan-akan dia akan meninggalkan dunia ini{8}.

Dengan cara ini pula ketika Salik semakin dekat dengan Alloh maka dia semakin merasakan keagungan dan besarnya kekuasaan Alloh. Dia juga akan merasa bahwa dirinya adalah hamba yang kurang dan lemah di hadapan Alloh dan perasaan ini akan selalu tertancap di dalam dirinya smapai mati.

Jalan lain yang harus ditempuh salik adalah dengan selalu berdzikir kepada Alloh dengan sungguh-sungguh, mengangan-angan sifat-Nya dan kebaikan yang telah diberikan Alloh terhadapa hambanya. Dengan kata lain dia harus mendalami ma’rifatulloh dengan metode Al-Qur’an sebagaimana yang telah dilakukan para ulama’ bukan metode yang di demonstrasikan oleh para orientalis.

Jika kita mau melihat keadaan prang-orang sholeh setelah Nabi Muhammad SAW, yaitu orang-orang yang menempuh dan mengikuti sunnah Nabi maka kita akan menemukan bahwa semakin mereka ma’rifat dan dekat kepada aAlloh maka mereka semakin merasa hina dan bertambah takut kepada Alloh.

Disebutkan di dalam biografi Abdulloh ibn Mubarok bahwa suatu ketika beliau menuju air zam-zam saat beliau haji, lalu beliau berkata "Ya Alloh, Abdulloh bin muammil menceritakan hadist kepadaku dari Ibnu Zubaeir dari shohabat Jabir, dari Rosululloh SAW, beliau bersabda : "Air zam-zam diminum sesuai tujuannya", Ya Alloh , saya meminimya untuk dahagaku dihari kiamat. Setelah itu abdulloh bin Mubarok .

Seandainya kita yang meminum air zam-zam dan mengetahui hadist tersebut pasti kita akan meminta keinginan dan kebahagiaan dunia kita. Lalu apa perbedaan antara kita dan Ibnu Mubarok ?.

Perbedaannya adalah kita merasa telah memenuhi hak-hak Alloh, kita telah berdakwah, mengajar dan beribadah. Lalu kenapa kita takut dahaga dihari kiamat ? pasti kita akan mendapat pahala dan dimuliakan oleh Alloh. Oleh karena itu kita meminta kebutuhan duniawi.

Adapun Ibnu Mubarok, semakin dekat dan ma’rifat kepada Alloh, maka beliau semakin merasa kurang dan belum memenuhi hak-hak Alloh. Jadi, ketika beliau berada pada makam yang mustajab (do’a terkabulkan) maka beliau tidak meminta hal-hal duniawi melainkan hanya memikirkan kelak di hari qiamat. Jadi, ketika berdo’a beliau berkata "Ya Alloh saya meminum air zam-zam agar engkau menjagaku dari dahaga di hari qiamat.

Ibnu ‘Atho’illah menceritakan bahwa suatu ketika ada seorang pejabattinggi dating kepada ayahnya. Setelah dipersilahkan duduk, pejabat tersebut berkata pada ayahnya "wahai Syekh, doakanlah aku, karena aku ini orang durhaka", kemudian dijawab oleh ayah beliau "Apakah kamu menjadi orang baik dengan berkata seperti itu ? Apakah benar kamu itu orang jelek ? jika memang demikian maka mintalah rahmat dan ampunan kepada Alloh SWT. Kemudian ayah beliau berbicara tentang hak-hak Alloh yang wajib dilaksanakan seorang hamba dan tentang lemahnya hamba tadi dalam menjalankannya. Ayah beliau juga menyuruhnya agar selalu rendah diri ketika beribadah dan melaksanaknnya dengan sungguh-sungguh{9}.

Memang kesempurnaan itu tidak ada batasnya, dan hak-hak Alloh akan selalu dipuncak Salik. Oleh karena itu, Salik tidak boleh terbujuk oleh syaitan dan selalu ingat apa yang telah dijabarkan oleh Ibnu ‘Atho’illah. Salik harus meyakini bahwa semakin dia bertambah taqwa maka Alloh akan semakin menambah anugrahnya dan Salik juga harus yakin bahwa dia membutuhkan rahmat dan ampunan Alloh SWT.


[1] . Hikam Al-‘Atho’iyyah. Hal 282.
[2] . Tafsir Ash-Showy (Al-Hidayah). Hal 383.
[3] . Opcit. Hal 287.
[4] . Ibid. hal 287.
[5] . Ibid. Hal 283.
[6] . Ibid. Hal 286.
[7] . Ibid. Hal 284.
[8] . Ibid. Hal 285.
[9] . Ibid. Hal 289.

Artikulli paraprakAhmad bin Baz, tentang Fatwa-fatwa Ayahnya Abdul Aziz bin Baz
Artikulli tjetërHIKMAH 23 : Dunia adalah Godaan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini