HIKMAH-156

Bahaya Riya

?±?¨?…?§ ?¯?®?„ ?§?„?±???§?? ?¹?„???ƒ ?…?† ?­???« ?„?§ ???†?¸?± ?§?„?®?„?‚ ?¥?„???ƒ

"Terkadang sifat riya’ masuk ke dalam hatimu dari arah yang mana makhluk tidak sedang melihatmu ".

Riya’ adalah sifat ingin dilihat manusia akan amal baiknya sehingga mereka akan memujinya dan agar ia dipandang tinggi derajatnya diantara mereka.

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang mempunyai sifat tercela ini dibenci oleh Allah sebagaimana yang telah termaktub dalam dalil-dalil syar’i. akan tetapi dosanya riya’ itu berbeda-beda sesuai dengan macam-macam amal yang telah diperbuat.

Al Imam Al ghozali rahimahullah berkata : riya’ itu aslinya adalah mencari kedudukan diantara hatinya orang lain dengan memperlihatkan kepada mereka amal kebaikannya, hanya saja bahwa kedudukan itu bisa dicari dengan selain ibadah dan bisa dengan ibadah. Dan perlu diketahui, yang dinamakan riya’ itu terkhususkan mencari derajat/kedudukan dimata orang lain dengan memperlihatkan kepada mereka amal-amal kebaikan.

Oleh karena itu, riya’ didevinisikan dengan :?¥?±?§?¯?© ?§?„?¹?¨?§?¯ ?·?§?¹?© ?§?„?„?‡ . Orang yang riya’ ( ?…?±?§?¦???‰) adalah seorang ‘abid (yang melakukan ibadah), dan orang yang diriya’i/dipameri ( ?…?±?§?¦???‰) adalah manusia/orang lain yang diminta untuk melihat dan memujinya, sedangkan sesuatu yang dipamerkan adalah tingkah laku yang dikehendaki orang yang riya’ ( ?…?±?§?¦???‰) untuk diperlihatkan dihadapan manusia/orang lain ( ?…?±?§?¦???‰).

Kemudian Al Ghozali menyebutkan lima macam perkara yang bisa dipamerkan, yaitu ;
1. Badan
2. Perhiasan
3. Ucapan
4. Amal
5. Pengikut dan perkara-perkara yang diluar

begitu juga ahli dunia, yang dipamerkan mereka adalah meliputi lima macam tersebut, hanya saja mencari kedudukan dan niat pamer dengan ibadah itu lebih bahaya dari pada mencari kedudukan dan niat pamer dengan lima macam tersebut yang mana bukan termasuk ibadah.

Jadi, jelas bahwa riya’ yang dibenci oleh Allah adalah sesuatu yang dipamerkan oleh hamba dengan jalan ketaatan/ ibadah, atas dasar ini Al Ghozali mendevinisikan riya’ dengan ?¥?±?§?¯?© ?§?„?¹?¨?§?¯ ?·?§?¹?© ?§?„?„?‡

Seandainya saja kebiasaan seseorang memuliakan orang lain dengan memberikan hadiah disertai niat agar mendapakan kehormatan dan kemanfaatan dari mereka tidaklah berdosa seperti halnya dosa yang diancamkan oleh Allah kepada orang yang riya’ ( ?…?±?§?¦???‰) dikarenakan hal tersebut bukanlah termasuk ibadah / ketaataan.

Adapun dalil-dalil yang menerangkan hal ini adalah:

???ˆ???„ ?„?„?…?µ?„???† (?¤) ?§?„?°???† ?‡?… ?¹?† ?µ?„?§???‡?… ?³?§?‡?ˆ?† (?¥) ?§?„?°???† ?‡?… ???±?¢???ˆ?† (?¦) ( ?§?„?…?§?¹?ˆ?† : ?¤- ?¦)

Artinya : " Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (4)(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (6) Orang-orang yang berbuat riya "

Pada ayat lain Allah juga menerangkan bahwa riya’ merupakan salah satu alamat dari pada kemunafikan, Ia berfirman :
?¥?† ?§?„?…?†?§???‚???† ???®?§?¯?¹?ˆ?† ?§?„?„?‡ ?ˆ?‡?ˆ ?®?§?¯?¹?‡?… ?ˆ?¥?°?§ ?‚?§?…?ˆ?§ ?¥?„?‰ ?§?„?µ?„?ˆ?© ?‚?§?…?ˆ?§ ?ƒ?³?§?„?‰ ???±?¢???ˆ?† ?§?„?†?§?³ ?ˆ?„?§

???°?ƒ?±?ˆ?† ?§?„?„?‡ ?¥?„?§ ?‚?„???„?§ (?§?„?†?³?§?? : ???¤?¢)

Artinya : " Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka1. dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia, dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali2"
1 Maksudnya: Alah membiarkan mereka dalam pengakuan beriman, sebab itu mereka dilayani sebagai melayani para mukmin. dalam pada itu Allah Telah menyediakan neraka buat mereka sebagai pembalasan tipuan mereka itu.
2. Maksudnya: mereka sembahyang hanyalah sekali-sekali saja, yaitu bila mereka berada di hadapan orang.

?‚?„ ?¥?†?…?§ ?£?†?§ ?¨?´?± ?…?«?„?ƒ?… ???ˆ?­?‰ ?¥?„?? ?£?†?…?§ ?¥?„?‡?ƒ?… ?¥?„?‡ ?ˆ?§?­?¯ ?µ?„?‰???…?† ?ƒ?§?† ???±?¬?ˆ?§ ?„?‚?§?? ?±?¨?‡ ???„???¹?…?„ ?¹?…?„?§

?µ?§?„?­?§ ?ˆ?„?§ ???´?±?ƒ ?¨?¹?¨?§?¯?© ?±?¨?‡ ?£?­?¯?§ (?§?„?†?³?§?? : ????? )
Artinya : " Katakanlah : Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya ".
Dan ada hadits yang paling jelas diriwayatkan oleh Imam Muslim , Turmudzi dan Nasa’i dari haditz Abi Hurairoh menerangkan bahayanya riya’ yang mampu menghapus amal. Dalam Hadits tersebut menyebutkan tiga orang yang pertama kali diputusi haknya oleh Allah di hari kiamat adalah :
1. orang yang terbunuh di jalan Allah ( sabilillah ).
2. orang ‘alim yang mengajar manusia, membaca Al Quran dan megajarkannya
3. orang yang bersedekah dijalan Allah.
kemudian, Allah menanyai mereka satu persatu, kepada orang yang pertama dikatakan : kamu bohong, justru kamu menghendaki supaya kamu dikatakan pemberani, kepada orang yang kedua dikatakan : kamu bohong, justru kamu menginginkan agar kamu dikatakan orang yang ‘alim dan qori’, dan kepada orang yang ketiga dikatakan : kamu bohong, kamu bersedekah hanya ingin dikatakan bahwa kamu orang yang dermawan.
Sebenarnya hikmah yang dipaparkan oleh Ibnu ‘Athoillah bukanlah membahas tentang kesemuanya itu, akan tetapi, yang dibahas beliau adalah sesuatu yang tidak boleh dilewatkan oleh seorang hamba yang sedang salik dalam ibadah menuju wushul ilallah.
Beliau membahas sesuatu yang masih sangat lembut dan samar dikalangan orang awam tentang sifat riya’, karena menurut pemahaman mereka riya’ hanyalah sebatas ketaatan yang dipamerkan kepada orang lain dengan harapan supaya derajatnya terlihat tinggi diantara mereka.
Dalam hikmah tersebut mengisyarohkan bahwa terkadang dikatakan riya’ juga suatu amal ketaatan seorang hamba, walaupun makhluk lainnya tidak sedang melihatnya dan tidak tahu akan amal tersebut. Sebagai contohnya, ketika seorang hamba sedang sholat malam sendirian yang jauh dari orang lain dan tidak ada seorangpun yang melihatnya. Kemudian disela-sela munajatnya terlintas dihatinya : " kalau saja orang lain melihat sholat dan munajatku, niscaya akan tahu betapa tingginya derajatku dan kekhusyu’anku ", ia merasa lezat dan nikmat dengan hal tersebut dan selalu mengharapkan andai saja manusia yang lain mengetahuinya.
Contoh yang lainnya, seandainya seseorang memberikan shodaqoh kepada seorang yang faqir dengan tanpa dilihat oleh yang lainnya kemudian ia merasa bangga bahwa ia telah melakukan kebaikan dan terlintas di hatinya seandainya orang lain melihat amalku ini niscaya mereka akan memujiku dan heran akan sifat dermaku.
Inilah sebagian contoh sifat riya’ yang berpotensi menghapus amal ibadah lainnya walaupun orang lain tidak melihatnya.
Akan tetapi dikecualikan dari hal ini, apabila seorang hamba merasa kesulitan untuk menghindari sifat riya’ yang sangat samar ini dan sulit untuk menolaknya dari hatinya namun ia terus berusaha dengan keras (?…?¬?§?‡?¯?©)supaya amalnya tidak dilihat seseorang sehingga ia bisa selamat dari godaan syaiton dan hawa nafsu yang selalu memerintahkan kepada keburukan dan sifat tercela seperti riya’, tingkahnya seorang hamba ini bisa dikatakan jihad yang baik.
Hendaknya, Janganlah beranggapan bahwa orang-orang yang sudah sampai pada derajat muqorrobin dan a’rifin billah sudah lepas dan hilang total dari nafsu basyariyyahnya, seandainya mereka dikatakan seperti itu niscaya mereka akan pindah menjadi malaikat dan akan terlepas dari perintah Allah yang terkandung dan termaktub dalam surat al hajj ayat 78 :

?ˆ?¬?§?‡?¯?ˆ?§ ???‰ ?§?„?„?‡ ?­?‚ ?¬?‡?§?¯?‡ ?¬( ?§?„?­?¬ : 78)
Artinya : " Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya"
Ada sebagian orang yang sholeh yang mana terkadang hilang nafsunya dan tidak merasa sesuatu kecuali hanya hadir/khudur ke hadirat Allah dan tidak ingat apapun selain Allah . Haliyah ini tidaklah terus dan langgeng dirasakan oleh mereka disetiap waktu, pada suatu saat haliyah mereka akan kembali kepada sifat basyariyahnya, kemudian bermujahadah lagi untuk berusaha selalu muroqobah kepadaNya .
Maka dari itu seyogyanya seorang hamba terus menerus mujahadah di dalam muroqobah dan menghilangkan sifat riya’ yang jelas maupun yang samar sebagaimana yang tersirat dalam hikmah di atas serta mengikhlaskan semua amal ketaatan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Wallahu a’lam.

BACA JUGA :  HIKMAH KE-105 SIAPAKAH KEKASIH ALLAH?

Artikulli paraprakHIKMAH KE- 154 Hikmah hijab terhadap makhluq Allah
Artikulli tjetërKejernihan Salafus Sholeh di Mata Santri Era Globalisasi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini